PENGALAMAN dan kemampuan menulis sebenarnya tidak melulu mengulik artikel, esai atau liputan. Jika masih mengalami kesulitan dalam menulis artikel, menulis resensi bisa jadi pilihan, bahkan solusi.
Saya masih ingat ketika tahun 2000 alias 10 tahun lalu mengikuti tes wawancara pekerjaan atau aktivitas tulis-menulis termasuk analisis data, saya ditanya soal pengalaman menulis.
Sejatinya, menulis artikel opini, feature atau esay merupakan kesempatan berharga. Kita mendapati tulisan jenis ini di media massa. Pada umunya, koran harian memberi tempat di halaman empat.
Cuma, tak jarang kita kurang percaya diri menulis opini. Kemampuan analisis dan kelincahan bahasa yang cerdas menjadi tantangan. Saya menyebutnya tantangan dan bukan hambatan lho :D
Saya pun merasakan hal yang sama. Pembacaan data lemah dan kurang tajam mengulik fakta. Tapi, dorongan untuk menulis di media massa juga besar. Untuk ini, saya perlu berterima kasih pada kawan-kawan kampus dan mentor-mentor kepenulisan.
Menyiasati hal ini, alih-alih hanya menjadi penonton dan pembaca tulisan orang lain, kita juga memiliki kesempatan menuangkan buah pikiran di koran atau majalah. Tulislah resensi buku!
Kita sendiri diuntungkan dengan atmosfer reformasi pasca 1998. Dalam konteks perbukuan, buku-buku jauh lebih leluasa menggelontor ke publik. Harganya relatif terjangkau dengan aneka tema.
Media massa pun menyediakan porsi bagi publik untuk mengirim resensi buku. Rata-rata pada edisi Minggu atau akhir pekan. Malah Koran Jakarta menyediakan porsi telaah pustaka setiap hari di halaman 4.
Dari diskusi dengan teman, kita bisa memulai meresensi dengan memilih buku yang bertema menarik dan disesuaikan dengan media massa tempat kita mengirim artikel.
Media nasional tentu lebih demen tema buku yang memiliki gaung luas seperti politik, ekonomi, sejarah, sosial atau budaya.
Kategori di atas juga berlaku bagi media lokal namun mereka akan makin tertarik ketika buku kita memiliki keterkaitan dengan daerah segmen pembaca. Misalnya, buku soal Keraton Yogyakarta dan Merapi tentu menarik bagi Kedaulatan Rakyat, Bernas dan Harian Jogja yang terbit di kota pelajar itu.
Mari kita memulai langkah ini:
- Baca bukunya qe3
- Simak latar belakang buku yang terbaca pada kata pengantar. Ini juga untuk melihat sudut pandang penulis, garis besar buku dan batasan pembahasan buku.
- Baca juga cover belakang buku, lazimnya disitulah inti buku. Jika kurang mewakili, paling tidak, dikupas keistimewaan buku atau cuplikan hal unik.
- Mulai meresensi dengan menulis satu kalimat inti buku. Misalnya, “buku ini memberi pilihan kita memahami kemaritiman Indonesia dari sejarah kerajaan Sriwijaya”.
- Pada kalimat-kalimat selanjutnya, sampaikan secara eksplisit isi buku.
- Menghidupkan tulisan resensi, kita bisa juga mengutip kalimat asli. Tentu dengan memakai kaidah pengutipan karya tulis. Jika kutipan satu alinea, jadikan alinea tersendiri. Jika hanya satu kalimat, pakailah huruf miring plus keterangan halaman.
- Sisipkan pula kepada siapa saja segmen buku ini. Atau, siapa saja yang perlu membaca buku. Sering kita jumpai penerapan hal ini dengan tulisan, “Inspirasi dan detil perjalanan membuat buku ini patut mengisi rak lemari para pendaki gunung, pecinta lingkungan dan para motivator”.
- Kemukakan keistimewaan buku. Bisa kita gali dari hal unik dan pembeda dari buku bertema sama.
- Sebutkan identitas penulis buku. Kita bisa menyisipkannya secara singkat dengan kalimat, “Buku karya si Anu ini….” Atau “Sebagai hacker, Ujang mampu memaparkan…” Hal ini mampu memberikan gambaran pembaca atas latar belakang penulis.
- Bahkan, pemaparan penulis buku bisa jadi bahasan resensi kita lebih khusus, bisa tertuang dalam satu dua alinea. Misalnya, karena latar belakang penulis buku kita nilai sangat mempengaruhi analisis dan gaya bahasa buku. Seperti jika penulis adalah direktur kantor intelijen, mantan kriminal carding, asisten pribadi presiden yang bertugas 30 tahun dan lain-lain.
Selain itu, hal non teknis kepenulisan yang membantu adalah:
1. Hitung jumlah karakter rubrik resensi dari media massa sasaran kita. Kompas berbeda dengan Republika, Solo Pos tak sebanyak Jawa Pos. Artinya, tiap media berbeda dan kita menyesuaikan.
2. Sodorkan artikel pada teman kita. Mintalah pendapatnya soal artikel kita.
3. Segera kirim via email, sampaikan langsung atau pos.
Sekali saja artikel kita dimuat di media massa, hal itu telah menjadi monumen bagi aktivitas intelektual kita. Mengisi rekam jejak kita. Apapun profesi kita, pengalaman menulis menjadi nilai tambah. Plus ada honornya qe3
Bahkan setelah itu, kita bakal termotivasi untuk menulis resensi berikutnya dan bahkan artikel opini, esai, serta liputan bebas.
Tentang monumen bagi aktivitas intelektual, sebaris kalimat dari bahasa Yunani atau latin, maaf saya lupa aslinya, memiliki makna kurang lebih: yang terucap akan menguap dan yang tertulis akan abadi. Scripta manent.
Sssttt... apakah kita mesti membeli buku yang akan kita resensi? Bukankah resensi juga mengandung keterbaruan buku?
qe3 Buku yang saya resensi pertama kali adalah buku pinjeman dari kawan kuliah. Kita bisa memanfaatkan perpustakaan sekolah atau kampus. Sayang, tak jarang perpustakaan kurang cepat menambah koleksi dengan buku baru. Maka, beli buku tetap merupakan opsi. Toh, kita beli buku memang untuk dibaca kan? qe3
Semoga bermanfaat!
asswrwb...naa..ini dia nih.., tulisan bermutu dari sang penulis.., krn sdh luamaa bgt ga nulis apapun di blogku, aku jd minder mau komen...success 4 u... pak!
ReplyDeletehebat tulisannya. jadi ingin belajar penulisana
ReplyDeleteArtikel yang amat menarik. Sebuah 'panduan' menulis resensi yang singkat, aplikatif dan amat bermanfaat bagi kita. Menulis resensi salah satu pilihan yang perlu dicoba dan ditekuni. Ada kepuasan tersendiri bila resensi yang kita kirimkan ke media massa kemudian dimuat. Trims sharingnya. Salam sukses selalu dari lereng Gunung Lawu.
ReplyDelete+ Mbak Tiwi: saya bolak-balik ke 'rumah' mbak tapi 'pekarangannya' lagi kosong qe3 Met beraktivitas dan hepi blogging, mbak :)
ReplyDelete+ Kang Pakies: monggo dikopas, sebuah kehormatan bagi saya *haiyaaa... hehehe*
+ Ibnu Muksin: resensi di media bisa pula dimulai dari memuatnya di blog, mari belajar bersama :)
+ Masbro Doni: matur nuwun sampun mampir ke teras halaman samping :) salam dari Palmerah *kebayang bener kaki gunung Lawu dari sisi Timur, jadi kangen Temanggung dengan lereng Sumbing-nya :)*
wah keren
ReplyDeletechika lagi belajar juga nih buat resensi^^
abis chika biasanya cuma buat2 tulisan ngaco aja
trus ama puisi :D
+ Chika: let's learn together, sebelas-duabelas ama nulis di blog kan qe3
ReplyDeletewah klimatna jelas
ReplyDeletejdi g bosen yg baca :)
bole tukeran link g kang ?
link akang sudah terpasang
mhon balasanna n dtunggu mampirnya :D
+ Acid: Barusan mampir ke Acid_Site qe3 nongkrongin gameboy-nya :D
ReplyDeleteLink sudah terpasang, di Jelajah-Blogroll. Trims ya :)
makasih untuk pelajarannya ya Pak ^_^
ReplyDeletereferensi untuk menyampaikan tuLisannya Lebih terpercaya, dari pada saya cuma mengarahkan untuk menuLis dan menuLis termasuk tuLisan yang ngacopun enggak apa2 yang penting udah bisa menuLis. huahahaha...
ReplyDeleteIt is simply matchless theme :)
ReplyDeletewah..keren pak Inung ilmunya. terima kasih :)bermanfaat banget buat saya yg baru belajar meresensi.
ReplyDeletetrims kakak Ema. sekadar sharing, sekalian biar saya juga nggak lupa hehehe
Deletemantap!!
ReplyDeletebermanfaat