Showing posts with label cinta. Show all posts
Showing posts with label cinta. Show all posts

Thursday, January 7, 2010

Cinta Boleh Menunggu



Januari lima tahun lalu



Dua pijar memancar dari kedua mata mereka, ketika bertatapan di halaman rumah saya di Jogja. Jarak mereka dengan saya tak sampai lima langkah. Tak susah pula menangkap gelagat suka diantara laki-perempuan adik angkatan kuliah saya itu.

"Menunggu seseorang?" Tanyaku memergoki si laki begitu gelisah. Pandangan matanya seperti melompati Metro TV yang dari tadi didepannya. Tatapannya bukan pada Nazwa Shihab tapi pada pintu ruang tamu.

Ia menggeleng tersenyum nyengir. Sedikit gelagepan ketika tak mampu menyangkal tapi malu mengiyakan. Saya tersenyum juga, ia menunggu seseorang, bisik batin saya. Tak perlu bertanya lagi, toh saya pernah muda, ia sedang menikmati debar jantung dalam penantian.

Sepuluh menit kemudian, setelah menyeduh teh, lelaki 20 tahun itu menghilang dari ruang tengah. Olala, rupanya ia bergeser ke halaman depan. Seorang perempuan muda, sebaya dengannya, melangkah mantap masuk pekarangan.

Langkahnya meragu ketika melihat saya melongok di pintu. Saya memang cuma berniat melongok sebentar, mencari tahu dimana tamu saya itu. Kembali ke ruang tengah, saya sempat melihat dari jendela mereka berbincang rapat. Di saat itulah saya lihat binar mata mereka, saling menyerusuk. Ah indahnya masa muda, batinku.

***
Dua tiga hari berselang, di tempat berbeda, tanpa diketahui satu sama lain, keduanya bertutur lirih. Masing-masing mengaku pada saya kalau saling tertarik tapi tidak menyatakan terus terang satu sama lain.

"Mengapa tidak kau katakan saja padanya?" Tanyaku ketika si lelaki berbagi cerita dan menyodorkan Gudang Garam-nya di kantin Sastra. Ia nyengir saja. Ah anak muda, masih saja kau menunggu waktu, batinku.

"Disalip di tikungan, tahu rasa kau!" Akhirnya terucap lisanku agar ia tersentak. Malah jawabnya terkekeh mengerling pada saya, "Kalau ada yang menyalip, aku tahu persis siapa itu Bang."

***
Bagaimana caranya membuat seorang lelaki menyatakan cinta pada perempuan. Ini bukan buku self help atau judul artikel di Kosmopolitan. Inilah pertanyaan si perempuan setelah sukses menyeret saya ke selasar Fakultas Ekonomi. "Ndak taulah, aku kan bukan laki-laki itu. Kalau aku sendiri yang kau jatuh cintai, ndak perlu menunggu lama untuk ambil langkah duluan he-he-he," jawab saya ngawur.

***
Tanggal satu Januari 2010 kemarin mereka menikah di kota sebelah timur Solo. Sebaris kalimat pendek mampir di email dan inbox FB saya: Makasih mas, udah mau jadi teman berbagi cerita, kapan nyusul? Qe3 ntar ya kami ceritain gimana akhirnya kami jadian :D seru deh pokokna...
****

Monday, October 26, 2009

Penantian Bodoh

"Kerudungnya ia lepas ketika pelayan Warung Nasi Ampera berlalu dari meja kami," kata Madi padaku via gmail.

Minggu sore itu, katanya eh tulisnya, mereka akhirnya duduk satu meja. Bukan berhadapan seperti waktu di KFC Cikini waktu malam Tahun Baru lalu, kini bersisihan di meja nomor dua dari sudut.

Madi mengirim email panjang setelah ajakannya chatting kutolak. Bukannya sibuk, tapi aku males 'ngobrol pake jari', mending sekalian nelpon. Nah, opsiku ganti ia tepis. "Aku lagi melow bang. Abang pasti ketawa kalo dengar suaraku yang lagi... Ah, aku kirim email aja. Sebelom jam 12 pasti dah ada di inbox. Ntar aku sms kalo dah aku kirim ya!" Janjinya.

...
(Aku terbahak begitu membuka emailnya, sebelumnya kusangka ia akan bercerita dengan lugas, eh malah layaknya 30% cerpen, 40% reportase dan 30% seperti emergency call.

Bising lalu lintas seperti mèntal, tak mampu menembus pintu dan dinding kaca. Hanya klakson Patas P6 sesekali sukses menerobos hingga ke dalam. Lalu lalang mobil pada 5 hari usai lebaran memang masih lengang.

Blasss, belum ada mobil plat hitam omprengan melintas mengantar pulang orang-orang kantoran Kuningan pulang ke Bekasi. Mereka biasanya tancap gas menuju pintu tol Tebet begitu keluar dari tikungan Kuningan-Mampang jika semua kursi terisi. Kalau belum, mereka akan menyisir hingga depan Hero, meski jarang terjadi.

Sambil menaruh tas selempangku di kursi, kulirik Riri yang agak sibuk merapikan bawaannya: dompet, hape dan tas postman berisi netbook Dell-nya. Kerudungnya ia lepas ketika pelayan Warung Nasi Ampera berlalu dari meja kami tadi. *Emang Riri masih pakai jilbab? Pikirku. Untungnya Madi menulis kemudian...*

Sebenarnya bukan jilbab, lebih tepatnya selendang yang ia lebarkan dan dipakai menutupi rambut sebahunya. Waktu melihatnya turun dari Blue Bird, kukira ia kembali memakai jilbab eh ternyata selendang dari tenunan Lombok. Kini, selendangnya ia lilitkan di lehernya, tepatnya
jadi syal.

Aku jadi inget sama komentar Abang soal syal: aktivis LSM sekarang bergaya pake syal sebagai dresscode. Biar kelihatan suka sibuk utak-atik proposal dan laporan proyek eh program sampai larut malam he-he-he.

Waktu Riri bilang kalo celetukan abang itu celetukan sentimen eh abang ngeles tapi malah bikin dia makin sewot: kalau nggak gitu ya pakai syal karena sering diskusi soal politik, sosial, energi dan lingkungan di StarBuck yang ACnya adem bin boros listrik wakakak....

TbC, 2 b continue

--
Dikirim dari perangkat seluler saya

Wednesday, June 17, 2009

Gerimis Romantis!

Siang ini, penanda sms datang nyaring berdering. Olala, dari Ade Titi Hanih:

Mas, di kantor lagi mati lampu hiks3 ujannya malu-malu, gerimis romantis…

Ah… gerimis romantis! Seketika kuterabas jendela kamar kos Kalimalang, tanpa ganti baju dan tetap bercelana pendek, di pertigaan Pasar Ciplak anganku meloncat menumpang Mikrolet 19. Ndak sampai 5 menit, aku sudah ganti moda dan segera terlena oleh kursi-kuris butut Mayasari Bakti P6 jurusan Kampung Rambutan-Grogol. Lepas dari Gedung MPR-DPR dan Manggala Wanabakti, aku berdiri bersiap turun.

“Mana?” tanya kernet lalu menebak, “Slipi?”

“Ya tapi mau terusan ke Kedoya!” tukasku yang bersaing dengan deru bayu dari arah selatan ketika bus melaju di atas flyover.

“Ohh, ntar turun Slipi, ganti M11 lalu naik Metromini 92 di pertigaan Relasi. Atau ikut aja sampe Grogol, naik 92 juga,” terang kernet layaknya Duta Tranportasi Jakarta 2009.

“Turun depan saja. Kalo naik 92 dari Grogol, ntar kelamaan!” kataku.

“Emang ‘napa buru-buru?”

“Menjemput cinta!”
***