Showing posts with label ugm. Show all posts
Showing posts with label ugm. Show all posts

Friday, May 13, 2016

(tentang) Jogja (lagi).


Alun-alun Kraton Jogja, Malioboro dan Kantor Pos. # inung gunarba


DI ujung Indonesia, saya bersua lagi dengan rekan kerja. Kami saling kenal sudah lama, kenal nama saja dan dulu belum sempat berbincang.
Baru di sore itu, kami ngobrol lagi. Ealah ternyata kami satu kampus dulu-dulunya, satu fakultas malah.

Bedanya, kami berlainan angkatan. Ketika saya ngantri pendaftaran ulang masuk UGM, dia barusan wisuda.

Beda lainnya: saya lahir di Jogja, dari main kelereng sampai mainin hati orang juga di kota itu :P.

Sedangkan dia bermarga Batak, lahir di Tapanuli, SD di sana, jaman SMP-SMA di beberapa pesantren juga di Sumatera Utara.

Oiya, bersama meriung di ruangan yang sama adalah beberapa petinggi industri otomotif dan salah satu pembantunya Pak Joko.

Ketika Pak Dirut bertanya pada kakak angkatan saya itu tentang bagaimana rasanya to kuliah dan tinggal di Jogja (dia bertanya karena dulu hampir kuliah di Jogja, tapi nasib mengantarnya ke Bandung, "Papa nyuruh milih Bandung". Sepertinya beliau masih penasaran hehehe)

Nah, jawaban dari senior saya itu bikin saya termangu. Juga merenung.

Katanya: "Jogja mendidik saya bagaimana membawa diri."

Dulu tinggal dimana? sistem asrama ya? Pak CEO bertanya lagi.

"... sengaja memilih tinggal di kampung, lingkungan perkampungan. Kos sih iya, tapi bukan yang di rumah kos. Saya ngekos di rumah biasa."

Obrolan lantas kemana-mana. Ujungnya sudah tak kembali ke pangkal.

Kepada saya, dia melanjutkan cerita pernah tinggal di Karangkajen, agak jauhlah dari kampus.

Kamarnya di sayap rumah yang punya. Jadi tetap ketemu muka, ngobrol dengan lingkungan sekitar.

"Pernah juga di Pogung dan Kali Malang, deket IKIP sekarang UNY ya. Sama juga, nyampur dengan Pak RT dll."

"Karena Jogja, alhamdulillah, saya bisa diterima di lingkungan mana-mana. Kalau orang bilang, mata uang yang bisa diterima dimana-mana itu kejujuran, kalau saya tambahin satu lagi: unggah-ungguh."

Dia juga ngingetin: jangan tanya teorinya ya, karena dia sendiri tidak tahu, susah... "tapi saya rasa karena pengaruh lingkungan jaman kuliah dulu. Membawa diri yang gimana, kalau yang saya rasakan ya dari segi bagaimana kita memperlakukan orang lain, juga soal memegang dan membayar kepercayaan. Modal saya dari dulu hanya kepercayaan dan unggah-ungguh."

Di ujung Indonesia itu, saya bersyukur :)
###

Friday, February 19, 2010

New York-New York

Di selasar bandara Juanda, Surabaya, kita bersua lagi. Aku, perempuan dari masa lalumu, bersirobok denganmu yang dulu kujatuh cintai. Dengan terbahak.

Ya dengan terbahak aku mencintaimu. Konyol, orang bilang. Luweh, kataku! Biarin.

Ya, kutulis di topi kertas Ospekmu.
Tentu, dengan spidol hitam Snowman.
Pasti, kau masih ingat itu.
Mungkin, kita lupa tanggalnya.
Yang jelas, hari terakhir inagurasi di GSP UGM

"Ina love Oji, miracle in 3 days!"

Dan, kau terbelalak membacanya. Kita pun sama-sama terbahak sesudahnya.

Lima belas tahun kemudian, minggu pertama Februari kemarin, kita kembali terbahak.


Dulu dan kini

Kubilang kau masih seperti dulu. Kau jawab, aku sudah berubah.

Okelah, kita berbalas komen. Lisan tak perlu membuka FB untuk berceloteh di wall.

Kau tampak muda. Tepatnya segar dan tetap saja sumringah. Sepertinya kau dilahirkan untuk tersenyum setiap bertutur.

Kau bilang dirimu seorang wartawan. Oh, kataku, bisa jadi karena itulah kau selalu luwes. Terbiasa bertemu orang. Tuh kan, kau menjawabnya dengan senyuman meringis garing.

Ah, kau tak tahu, senyuman dan perlakuanmu itu yang membuatku kedanan. Tergila-gila. You drive me crazy, rutuk batinku dulu dan kini.

Gantian kamu. Menurutmu, seorang Ina semasa masih mahasiswi Hubungan Internasional jauh berbeda dengan Ina yang kini diplomat.

Apanya, tanyaku, sambil mencodongkan mukamu ke arahmu. Daguku kini tepat di atas tengah meja Dunkin Donuts yang sejatinya sudah tak begitu lebar.

Tak kau perhatikan kan, kedua tanganku bersedakep terlipat di bibir meja. Bolehlah kubilang, itu untuk mengimbangi degupku.

Katamu, aku kini begitu berwibawa, matang dan berparas teduh. Mungkin bawaan kerjaan.

Aku sedikit membelokkan pandangan ke langit-langit. Sedikit tersanjung. Dasar perempuan.

Lalu, menurutmu, ada satu hal padaku yang tak juga berubah. Kau katakan itu dengan menggeleng-gelengkan kepalamu. Ada raut kecewa disitu. Bola mataku membinar, seolah bertanya: apanya?

Selaluuuu cantikkkkk!

Ha-ha-ha... Aku terbahak. Kukira kau akan berkata tentangku yang sudah tidak asyik lagi.

Aku tertawa untuk dua hal. Pertama, ya tadi itu, karena lega.

Kedua, lima belas tahun yang lalu, kau pernah merayuku dengan kata-kata dan bahasa tubuh yang persis. Kau menjebakku untuk kedua kalinya. Dan aku menikmatinya. Uhh...

Limabelas menit lagi aku harus boarding. Dan kau sudah dua tiga kali melirik jam tangan.


Present of us

Tak ada obrolan tentang masa lalu selama sisa waktu itu. Kita sama-sama bertukar kabar gembira tentang orang-orang yang kita cintai.

Anakku sudah masuk TK, kindergarten gitu deh. Suamiku mengajar. Gelar master dari Princeton membantunya menjadi dosen di Philadelphia. Sementara aku jadi orang kantoran di Kedutaan RI di New York.

Dan kau, istrimu telah memberimu dua buah hati. Ketemu dimana, tanyaku tak kuasa menahan penasaran. Brastagi, Sumatera Utara.

Garuda yang hendak membawaku ke Jakarta telah merapat. Belalai garbarata pun melekat di pintunya.

Kau kembali melirik arloji dan pamit sebentar menjawab telepon. Kita pun akhirnya saling berpamitan di tengah suara gemuruh mbak-mbak mengumumkan agar penumpang tujuan Jakarta segera masuk ke perut pesawat.

Menghitung mundur, siang ini aku sudah harus sampai di Cengkareng dan langsung ke Deplu di Gambir.

Esok harinya, aku melintas di atas Lautan Pasifik menuju negeri Paman Sam. Di sana, kata suamiku, anakku Raya tengah sibuk melukis dengan pastel pemandangan taman-taman di New York.

Di atas barisan pohon oak, di antara mega-mega, ia menulis: I love u, Mom.***

19022010

Thursday, January 7, 2010

Cinta Boleh Menunggu



Januari lima tahun lalu



Dua pijar memancar dari kedua mata mereka, ketika bertatapan di halaman rumah saya di Jogja. Jarak mereka dengan saya tak sampai lima langkah. Tak susah pula menangkap gelagat suka diantara laki-perempuan adik angkatan kuliah saya itu.

"Menunggu seseorang?" Tanyaku memergoki si laki begitu gelisah. Pandangan matanya seperti melompati Metro TV yang dari tadi didepannya. Tatapannya bukan pada Nazwa Shihab tapi pada pintu ruang tamu.

Ia menggeleng tersenyum nyengir. Sedikit gelagepan ketika tak mampu menyangkal tapi malu mengiyakan. Saya tersenyum juga, ia menunggu seseorang, bisik batin saya. Tak perlu bertanya lagi, toh saya pernah muda, ia sedang menikmati debar jantung dalam penantian.

Sepuluh menit kemudian, setelah menyeduh teh, lelaki 20 tahun itu menghilang dari ruang tengah. Olala, rupanya ia bergeser ke halaman depan. Seorang perempuan muda, sebaya dengannya, melangkah mantap masuk pekarangan.

Langkahnya meragu ketika melihat saya melongok di pintu. Saya memang cuma berniat melongok sebentar, mencari tahu dimana tamu saya itu. Kembali ke ruang tengah, saya sempat melihat dari jendela mereka berbincang rapat. Di saat itulah saya lihat binar mata mereka, saling menyerusuk. Ah indahnya masa muda, batinku.

***
Dua tiga hari berselang, di tempat berbeda, tanpa diketahui satu sama lain, keduanya bertutur lirih. Masing-masing mengaku pada saya kalau saling tertarik tapi tidak menyatakan terus terang satu sama lain.

"Mengapa tidak kau katakan saja padanya?" Tanyaku ketika si lelaki berbagi cerita dan menyodorkan Gudang Garam-nya di kantin Sastra. Ia nyengir saja. Ah anak muda, masih saja kau menunggu waktu, batinku.

"Disalip di tikungan, tahu rasa kau!" Akhirnya terucap lisanku agar ia tersentak. Malah jawabnya terkekeh mengerling pada saya, "Kalau ada yang menyalip, aku tahu persis siapa itu Bang."

***
Bagaimana caranya membuat seorang lelaki menyatakan cinta pada perempuan. Ini bukan buku self help atau judul artikel di Kosmopolitan. Inilah pertanyaan si perempuan setelah sukses menyeret saya ke selasar Fakultas Ekonomi. "Ndak taulah, aku kan bukan laki-laki itu. Kalau aku sendiri yang kau jatuh cintai, ndak perlu menunggu lama untuk ambil langkah duluan he-he-he," jawab saya ngawur.

***
Tanggal satu Januari 2010 kemarin mereka menikah di kota sebelah timur Solo. Sebaris kalimat pendek mampir di email dan inbox FB saya: Makasih mas, udah mau jadi teman berbagi cerita, kapan nyusul? Qe3 ntar ya kami ceritain gimana akhirnya kami jadian :D seru deh pokokna...
****

Friday, July 3, 2009

Ex Heartbreaker

“Tau ndak Mas?”
“Ndak je jeng!”
“Aku kie arep crito je!”
“Hehehe, lha piye to?”
“Aku ketemu meneh… sama bangsat satu kae hihihi…”
“Katamu ‘bangsat’, koq malah cekikikan? Ngumpatnya gak tulus!”
“Sik to… pancene ngono je arek-e. Rasah sok cemburu, gak ilok!”

Lola, pastinya bukan nama paspor, lantas bercericit sepanjang lunch-break pas acara diskusi panel tadi siang. Ia sendiri bekerja di government affair (GA- bukan general affair lho) di perusahaan asing produsen makanan di bilangan TB Simatupang.

Kemarin pagi, waktu acara Press-Con, ia ketemu dengan lelaki dari masa lalunya. Sepanjang ia bercerita, umpatan jawa-timurannya pun meletup-letup hampir di setiap penggal kalimat yang keluar dari bibir mungil ber-lipgloss. Tarikan nafasnya turun naik mengikuti bangun rasa hatinya yang (kembali) kasmaran. Tisu makan yang telah kucel terus saja ia kremes-kremes, saking gemesnya pada subyek curhatannya.

Katanya sih, si Bangsat-Cute, demikian ia menjulukinya *aq baru tahu ada begundal yg manis qe3* aslinya bernama Bangkit … … . Sekarang ia berkarir di Jakarta, sama-sama GA, di perusahaan asing kondang spesialis pakan ternak.

Pertemuan mereka setelah 3 tahun tak bersua itu bergulir mengalir, saling tanya kabar dan tukeran kartu nama. Standar lah. Tukeran nomer HP ndak, tanyaku iseng. “Gak, wong nomere isih sama kok. Paling-paling ngeluarin HP masing-masing buat nunjukin aktualisasi qe3,” katanya tanpa bermaksud nyindir diriku yang berHP jadul, Motorola C381.

Jebolan HI UGM ini lalu lebih banyak berbusa-busa soal kelakuan dia dan Bangkit duluuu… yang membuatnya sebel gimana gitu. Lola masih ingat betul bahasa tubuh mereka berdua. Ia haqul yaqin mereka saling tertarik meski masing-masing udah punya pacar. “Chemistry kita udah deket lho. Tenan!” klaimnya sambil menggigit bibir. Ia akui kalau selalu jaim sedangkan dimatanya, Bangkit cenderung jelalatan.

“Beda sama pacarku yang adem, cool. Ganteng sih tapi aku kan pengennya dibandelin juga qe3,” ceplos Lola. Aku menelan ludah, weleh-weleh bocah iki!

Sayangnya, mereka toh tetap bersama pasangan masing-masing. Patah hati dong, ledekku. Ia hanya mengangkat bahu. Usai kuliah kelar, semua bubar jalan. Lola dan pacarnya masih di Jogja, Bangkit menyeberang ke Balikpapan.

“Bener-bener lost contact. Tapi emang gak ada alasan buat komunikasi. Lha wong gak pernah ngobrol beneran. Paling-paling dia yang nggombal, curi-curi pandang. Kalo aku ya sok gak sengaja nyenggol tangannya hihihi,” Lola kembali terkikik.

“Pacarmu?”
“Gak pernah marah tuh.”
“Emang pernah ngeliat kelakuanmu?”
“Ya gak lah. Curiga sih sempet hehehe tapi bukan Lola kalo ga pinter ngerih-erih (nenangin).”

Acara makan siang hampir selesai dan aku belum sholat dhuhur, juga Lola. Sambil berjalan sepanjang koridor menuju mushola, kutanya bagaimana perasaannya setelah ketemu dengan Bangkit kemarin itu. Ia menjawab runtut.

“I’m free now. Pacarku teges-teges gak iso ninggalin Jogja. Aku mau gimana sama Bangkit, cuma persoalan ujung jari,” katanya sambil memperlihatkan nomer seluler Bangkit di layar Nokia E71-nya.*

Wednesday, September 24, 2008

Xtravagansa!!!


Silaturahmi Mantan Aktivis Mahasiswa dan Aktivis Pers Mahasiswa se-UGM, di Rg. Granada -Univ. Paramadina, Jakarta, Senin 22 September 2008

Pantengin tampang-tampang sumringah lainnya yang sempat terekam Nikon-nya Mardian dan Canon PowerShot tercinta, di http://www.flickr.com/photos/inung_gunarba/ atau http://inungitong.multiply.com/photos/album/2/