Showing posts with label juanda. Show all posts
Showing posts with label juanda. Show all posts

Monday, January 7, 2019

Heli diary (1), Surabaya - Kediri PP

Kokpit helikopter, menuju Kediri.

Dua hari sebelum berangkat ke Surabaya, saya sudah diberitahu kalau rombongan kami akan diterbangkan menggunakan helikopter. Meski sudah tahu, tetap saja dag-dig-dug karena nantinya itu akan menjadi pengalaman pertama terbang bersama si baling-baling besi.

Akhirnya, Hari-H pun sampai juga. Kami berangkat dari bandara Halim, Jakarta ke Juanda, Jawa Timur menggunakan pesawat komersial. Rehat hanya 15 menit di ruang transit VIP, kemudian diarahkan ke helipad.

Helikopternya berwarna merah dan putih. Pilot menyambut kami dan para kru membantu memasang sabuk keselamatan serta headse over the ear. Itu lho, headset yang menutupi seluruh telinga agar suara bising mesin heli tidak terlalu memekakkan telinga.

Kami berenam. Ditambah pilot dan kopilot, jadi total 8 orang di dalam heli.

Benar saja. Begitu mesin dihidupkan dan baling-baling berputar, suaranya memang keras. Cenderung kering.

Jadi kalau kebayang suara heli itu seperti di film-film action yang kedengarannya ngebas... uwuuk uwuuk uwwwuuukkk ... ezeekkk zheekkk zheekkkkk.... itu tidak pas dengan aslinya yang cempreng banget. Kasar malahan.

Helikopter take off dengan nungging terlebih dulu ke depan. Rada bergoyang-goyang ke kiri kanan pula. Saya yang pertama kali naik heli (dan mungkin beberapa penumpang lainnya), berusaha memasang ekspresi tenang meskipun juga nahan napas, tentu saja berdoa :)

Setelah 10 meteran atau ketinggian dua lantai rumah, mulai deh stabil dan makin tinggi makin stabil. Selanjutnya terbang bergerak maju meninggalkan helipad. Tampak di bawah para protokoler dan pengantar mendongakkan kepala memastikan kami berangkat dengan lancar. Syukurlah.

Helikopter terbang di ketinggian sekitar 200-300 meter. Mula-mula lansekap perkotaan Surabaya dan Sidoarjo tampak jelas dan berangsur pedesaan.



Lumpur Sidoarjo
Lintasan terbang melewati pula kawasan Lusi, Lumpur Sidoarjo. Belasan jepretan dari Canon merekam gambar yang dibidik lensa Tamson 18-270mm.

Zoom in zoom out bekerja sempurna. Gambaran lansekap terekam di memory. Saya menjadi makin paham betapa luas lahan terdampak.

Rel kereta dan lalu lintas jalan di samping Lusi juga terlihat dari helikopter. Ya, aktivitas warga berjalan terus.

Laju helikopter terus mengarah ke selatan, atau tepatnya barat daya. Pemandangan sawah semakin banyak mendominasi.

Di mana-mana tampak hijau. Berselang-seling dengan hijau kebun dan tera kota atap rumah-rumah.

Makin mendekati Kediri, kota tujuan kami, helikopter berangsur terbang rendah. Di pabrik rokok legendaris dan yang menjadi ikon kota ini, kami pun mendarat dengan selamat. Alhamdulillah. Hari itu saya jadi tahu bagaimana rasanya naik heli hehehe

Usai 2 jam di pabrik itu, kami kembali menggunakan helikopter yang sama ke Juanda. Kali ini saya tidak deg-degan lagi hehehe.

Oiya, rombongan lain yang menggunakan jalur darat ke Surabaya memerlukan waktu 2,5 jam. Sedangkan kami cukup 30 menit. Itu hanya sekadar untuk komparasi sih hehehe.

Salam dari udara :)

Yang berikutnya, numpang baling-baling besi di Koreaaa... dari Incheon ke Gwangyang.

Friday, February 19, 2010

New York-New York

Di selasar bandara Juanda, Surabaya, kita bersua lagi. Aku, perempuan dari masa lalumu, bersirobok denganmu yang dulu kujatuh cintai. Dengan terbahak.

Ya dengan terbahak aku mencintaimu. Konyol, orang bilang. Luweh, kataku! Biarin.

Ya, kutulis di topi kertas Ospekmu.
Tentu, dengan spidol hitam Snowman.
Pasti, kau masih ingat itu.
Mungkin, kita lupa tanggalnya.
Yang jelas, hari terakhir inagurasi di GSP UGM

"Ina love Oji, miracle in 3 days!"

Dan, kau terbelalak membacanya. Kita pun sama-sama terbahak sesudahnya.

Lima belas tahun kemudian, minggu pertama Februari kemarin, kita kembali terbahak.


Dulu dan kini

Kubilang kau masih seperti dulu. Kau jawab, aku sudah berubah.

Okelah, kita berbalas komen. Lisan tak perlu membuka FB untuk berceloteh di wall.

Kau tampak muda. Tepatnya segar dan tetap saja sumringah. Sepertinya kau dilahirkan untuk tersenyum setiap bertutur.

Kau bilang dirimu seorang wartawan. Oh, kataku, bisa jadi karena itulah kau selalu luwes. Terbiasa bertemu orang. Tuh kan, kau menjawabnya dengan senyuman meringis garing.

Ah, kau tak tahu, senyuman dan perlakuanmu itu yang membuatku kedanan. Tergila-gila. You drive me crazy, rutuk batinku dulu dan kini.

Gantian kamu. Menurutmu, seorang Ina semasa masih mahasiswi Hubungan Internasional jauh berbeda dengan Ina yang kini diplomat.

Apanya, tanyaku, sambil mencodongkan mukamu ke arahmu. Daguku kini tepat di atas tengah meja Dunkin Donuts yang sejatinya sudah tak begitu lebar.

Tak kau perhatikan kan, kedua tanganku bersedakep terlipat di bibir meja. Bolehlah kubilang, itu untuk mengimbangi degupku.

Katamu, aku kini begitu berwibawa, matang dan berparas teduh. Mungkin bawaan kerjaan.

Aku sedikit membelokkan pandangan ke langit-langit. Sedikit tersanjung. Dasar perempuan.

Lalu, menurutmu, ada satu hal padaku yang tak juga berubah. Kau katakan itu dengan menggeleng-gelengkan kepalamu. Ada raut kecewa disitu. Bola mataku membinar, seolah bertanya: apanya?

Selaluuuu cantikkkkk!

Ha-ha-ha... Aku terbahak. Kukira kau akan berkata tentangku yang sudah tidak asyik lagi.

Aku tertawa untuk dua hal. Pertama, ya tadi itu, karena lega.

Kedua, lima belas tahun yang lalu, kau pernah merayuku dengan kata-kata dan bahasa tubuh yang persis. Kau menjebakku untuk kedua kalinya. Dan aku menikmatinya. Uhh...

Limabelas menit lagi aku harus boarding. Dan kau sudah dua tiga kali melirik jam tangan.


Present of us

Tak ada obrolan tentang masa lalu selama sisa waktu itu. Kita sama-sama bertukar kabar gembira tentang orang-orang yang kita cintai.

Anakku sudah masuk TK, kindergarten gitu deh. Suamiku mengajar. Gelar master dari Princeton membantunya menjadi dosen di Philadelphia. Sementara aku jadi orang kantoran di Kedutaan RI di New York.

Dan kau, istrimu telah memberimu dua buah hati. Ketemu dimana, tanyaku tak kuasa menahan penasaran. Brastagi, Sumatera Utara.

Garuda yang hendak membawaku ke Jakarta telah merapat. Belalai garbarata pun melekat di pintunya.

Kau kembali melirik arloji dan pamit sebentar menjawab telepon. Kita pun akhirnya saling berpamitan di tengah suara gemuruh mbak-mbak mengumumkan agar penumpang tujuan Jakarta segera masuk ke perut pesawat.

Menghitung mundur, siang ini aku sudah harus sampai di Cengkareng dan langsung ke Deplu di Gambir.

Esok harinya, aku melintas di atas Lautan Pasifik menuju negeri Paman Sam. Di sana, kata suamiku, anakku Raya tengah sibuk melukis dengan pastel pemandangan taman-taman di New York.

Di atas barisan pohon oak, di antara mega-mega, ia menulis: I love u, Mom.***

19022010