Minggu, 27 Juli 2008 kemarin, saya bersama tiga karib berbelanja ke PIK-Perkampungan Industri Kecil Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur. Sebenarnya kami berencana jalan-jalan kesana hari Sabtu tapi karena kesibukan masing-masing maka lawatan kami mundur sehari. Wanto, salah satu teman, yang mengusulkan untuk berbelanja ke PIK ini. Kami mengiyakan apalagi setelah Wanto meyakinkan bahwa harga disana miring daripada di mall bahkan kaki lima Jatinegara sekalipun. Saya yang telah mendengar tentang keberadaan PIK sebelumnya, juga penasaran.
Terletak di kelurahan Penggilingan, kawasan ini dapat kita tempuh dengan mudah karena berada di pinggir jalan Penggilingan-Cakung. Kebetulan kami bermotor berangkat dari rumah kos di kawasan Pasar Ciplak, tak jauh dari jalan Inspeksi Kali Malang-Halim. Setelah melalui simpang tiga Kodim-Jatinegara, kami belok kanan menyusuri Jalan Bekasi Timur Raya-melewati Penjara Cipinang- lurus memasuki Jalan I Gusti Ngurah Rai. Melintasi flyover Klender, Mall Klender (Ramayana), simpang empat Buaran, Rumah Susun Klender, maka kami segera belok kiri melalui flyover Penggilingan. Bisa juga kami melewati bawah flyover namun jalanan agak menyempit karena Metromini 42 dan bajaj ngetem di kelokan itu dan juga mesti melewati lintasan rel.
Satu setengah kilometer dari flyover Penggilingan sampailah di jalan masuk PIK di sebelah kiri jalan. Di kanan-kiri jalan masuk, jajaran toko menggelar beragam produksi PIK. Seratusan meter dari mulut jalan, berdiri bangunan bergaya mall. Papan namanya menyebut PGP: Pusat Grosir Penggilingan. Mungkin akan menjadi mallnya PIK. Belum beroperasi namun sepertinya tak lama lagi akan makin meramaikan kawasan ini dan menaikkan image atawa gengsi PIK.
Jika membawa kendaraan, Anda bisa parkir di salah satu halaman toko lalu berjalan kaki dari satu toko ke toko yang lain, outlet satu ke outlet selanjutnya. Di bagian depan kawasan ini, pajangan sepatu mendominasi toko-toko. Sepertinya memang telah ditata. Luas toko dan outletnya pun terhitung lega. Makin ke dalam, cenderung mengecil. Harga sewanya mungkin lebih mahal dari pada bagian dalam, maklum lebih strategis. Dalam harga, jangan khawatir. Harga toko bagian depan dan dalam tetap bersaing dan masih bisa ditawar. Di Mall Ambasador sepertinya sulit menemukan barang yang bisa ditawar karena telah dibanderol dengan harga pas.
Kami berjalan kaki ke pertokoan bagian dalam untuk mencari jaket, celana dan kaos. Di bagian dalam, suasana perkampungan lebih terasa. Selain memang luas, tersedia pula ruang terbuka seperti lapangan badminton dan taman. Pepohonan perindang pun berjajar di sepanjang jalan yang menembus hingga sudut-sudut PIK. Jalan lingkungan lurus-lurus membentuk kompleks ini berbentuk kotak-kotak layaknya perumahan. Ruas jalan relatif lebar sekitar 4 hingga 6 meter. Kantor polisi juga ada disana, menjamin keamanan terjaga dan terkendali. Meskipun demikian, kita lebih baik tetap waspada dengan kendaraan dan barang bawaan.
Setelah memilih-milih di dua toko sebelumnya, Wanto akhirnya membeli jaket dan celana outdoor. Masing-masing berharga Rp 85 ribu dan Rp 25ribu, terhitung miring dari pada jika kita belanja di luar PIK. Setahu saya jaket oudoor seperti itu dibanderol seratusan ribu keatas. Sedangkan harga celananya saya taksir Rp 50 ribu. Saya sempat melihat celana gunung selutut berlabel Rp 15 ribu. Bentuk dan bahannya persis dengan celana yang saya beli di toko outdoor di Jogja seharga Rp 35ribu.
Soal merk, beberapa merk merupakan ‘tembakan’. Ini untuk menghaluskan istilah pembajakan. Antara lain, The North Face dan Mountain Hard Wear. Sebagian lagi merk milik para pengusaha sendiri. Perihal kualitas, menurut pedagang, bisa diandalkan lah. Bahan jaket terbilang halus dan dari beragam jenis. Parasit di bagian luar untuk menahan guyuran/percikan air hujan dan bahan katun tebal di bagian dalam untuk memberikan rasa hangat melawan tusukan hawa dingin di malam hari dan di ketinggian gunung. Jaket motor yang sedang trend sekarang terpajang di tiap toko yang menjual pakaian. Harganya juga labih murah daripada di pusat perbelanjaan lainnya, antara Rp 80ribu hingga 130ribu. Menurut pedagang, jaket-jaket di kakilima hingga supermarket kelas menengah pun berasal dari PIK ini. Pendek kata, harga lebih murah dan kualitas telah teruji standar supermarket.
Karib saya, Eko, mempunyai agenda membeli sepatu. Ia sebenarnya yang paling serius berbelanja. Dua teman saya lainnya, Wanto dan Alis tidak terlalu berencana belanja. Sebelum berangkat, mereka hanya berancang-ancang: jika ada barang bagus dan terhitung murah mungkin akan membelinya. Dibanding Eko, Wanto dan Alis malah terlebih dulu memenuhi tangannya dengan tas belanjaan. Mungkin karena sejak dari rumah Eko telah berencana membeli sepatu dan membayangkan desainnya sehingga Eko terlihat lebih memilih-milih.
Di sebuah toko sepatu, Eko tertarik dengan sepasang sepatu warna beige yang trendi. Memang bukan sepatu kantor/formal seperti yang ia rencanakan sebelumnya. Desain sepatu tersebut rupanya mampu merubah rencana sistematis nan logis: sepatu formal untuk ngantor. Sayang harganya pun sesuai dengan desainnya, Rp 225ribu. Relatif mahal di kantong Eko yang seorang CPNS golongan 3B di Medan Merdeka Barat.
Setelah sempat melihat-lihat sepatu di toko yang lain, Eko berkata bahwa ia telah jatuh cinta pada sepatu beige tadi dan akan membelinya jika bisa ditawar maksimal Rp 150ribu. “Bujet sepatu yang aku ancang memang segitu,” katanya dan lantas minta ditawarkan. Kami pun balik ke toko tadi. Kebetulan si pemilik toko sedang beberes di dekat rak sepatu tadi. Wah bisa langsung menawar ke decision makernya nih, pikir saya.
Si Bapak pemilik toko berambut putih rapi, sekitar 60an. Saya menyapa si Bapak, komplit dengan senyuman. Eko berdiri di belakang saya dengan mimik kasmaran. Kami coba menawar dengan harga Rp 125ribu (tak lupa tersenyum hehehe). Si Bapak mendongak dan menghentikan beberes. Waduh jangan-jangan jadi galak nih mendengar tawaran segitu,’ pikir saya. Ternyata, Si Bapak berkata, “Sama-sama enak saja, kan nawarnya sudah segitu, saya kasih Rp 150ribu.” Saya lega karena sesuai dengan bujet Eko. Saya masih coba menawar lagi Rp 140ribu. Terus terang saya tidak terlalu berharap Si Bapak akan melepas sepatu pada harga sekian namun tetap saya tawar agar lebih yakin saja bahwa Rp 150ribu memang harga final.
Eko yang sedari tadi telah memegang sepatu beige itu dan langsung mencobanya. Ukurannya ternyata terlalu besar untuk kaki Eko yang mungil. Dia minta ukuran 38 namun stoknya tidak ada. Si Bapak menyodorkan sepatu coklat tua yang karakter desainnya mirip dengan si beige. Merknya pun sama, Amro. Eko langsung oke-oke saja karena sama-sama trendi meski bukan pilihan pertama.
Setelah sepatu dan uang berpindah tangan, saya sempat bertanya tentang alamat toko yang tertera di tas kresek tempat kotak sepatu Eko. Tertulis alamatnya di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Saya mengira kalau Si Bapak mempunyai cabang di Pasar Senen atau semacam outlet kedua di sana. Si Bapak lalu bertutur bahwa tas kresek ini adalah sisa stok tokonya terdahulu di Pasar Senen yang turut terbakar habis. Tahun `1996, tuturnya, lantai dasar hingga lantai 5 Pasar Senen dilalap si jago merah, habis sudah barang dagangan namun tidak begitu dengan asanya. Sejak itu, ia pindah di PIK sebagai peruntungan berikutnya.
Sebelum kami pamit, usai sepenggal kisah tadi, Si Bapak mengulurkan tangannya dan mengucapkan sesuatu yang tidak begitu di jelas bagi telinga saya. Saya bengong sedangkan Eko masih sibuk dengan sepatu barunya yang langsung ia pakai. Si Bapak mengulangi lagi dan menggoyangkan tangannya pertanda mengajak jabat tangan. “Berkah. Semoga menjadi berkah ya Dik,” katanya lirih. Oh, berkah rupanya yang tadi diucapkannya, kami pun berdua menyalami Si Bapak komplit pula dengan senyum tersungging. Alhamdulillah dan semoga berkah bagi Si Bapak dan Eko.*
Sumber Peta: Peta Digital Jakarta Jabotabek ver. 2.0, Gunther W. Holtorf, 2005