Fitur horoskop di FaceBook, buatku, selama ini ngaco. Yah, just hiburan aja. Nah horoskop hari Senin ini nggak kayak adat biasanya. Bilangnya gini nih:
Inung,
You have strongly romantic energies right now. If you are single, a friend may introduce you to someone, but they may just as easily suddenly confess a romantic interest in you themselves. There could be a profoundly healing and positive change in your love life.
*strongly romantic energies right now: Absolutely fact! setelah jalan2 di hari minggu ke satu titik di Ibukota dengan catatan di pedometernya menunjuk angka 10.317 langkah dan jarak 4,1mil/ sktar 7 km. qeqeqe
*they may just as easily suddenly confess a romantic interest in you themselves: yeah meski bukan 'mereka' (jamak) karena sebenarnya satu orang saja yang sebelumnya berteman sekarang malah ... jump to up level relationship :)
*There could be a profoundly healing and positive change in your love life: OMG! its next true thing. Healing? yeah setelah sekian peristiwa kemarin ituh. Dan, satu perubahan ini moga membawa sesuatu yg happening, yg today bgt.
Kata simbahku dulu, horoskop atau primbon atawa semacamnya boleh dibilang utak-atik gathuk, kebetulan aja pas. Selebihnya, jalani saja! ^-^
Met hari Senin, love this Monday...
Monday, February 16, 2009
Monday, February 9, 2009
Drive!
Soal ambisi, drive dalam hidup dan dalam bekerja kadang dan malah sering, aku se[erti kehabisan bensin.
Yeah I’m lack of it, konyol memang karena sering mengulur waktu memulai kerjaan, gamang mau mulai dari mana but ketika lantas aku mendobrak kegamanganku, toh semua baik-baik saja. Dead line terlewati dengan sukses, hasil evaluasi oke dan nggak jarang dapet compliment.
Dan tanpa aku sadari, ketika sedang kerja aku begitu menikmatinya dan lupa blass dengan keraguanku sendiri sebelumnya. Tanpa suplemen, tanpa minuman eletrolit kerasa banget kalo semangat mengalir deras dari ujung rambut, sel-sel otak seperti teraliri listrik tegangan rendah, semriwing, mengembangkan senyum di bibir, meronakan wajah memupus pucat, menggerakkan jemari di keyboard dan kemudian kata demi kata, analisis demi analisis menari dari data dan transkrip interview sebelumnya.
Sayang, ketika kau memulai menulis artikel atau edisi yang baru lagi aku kembali mulai dari level terendah: minim mood dan negatif thinking, ragu gape nggak dapet hasil baik. Macem-macemlah dan nggak pengen berpanjang-panjang soal ini karena perasaan negatif lebih kerasa sebagai candu, bikin males bangun pagi, enggan memulai langkah kaki pertama dan membekukan otak serta mematikan rasa.
Kata kuncinya emang satu, ambisi! Yup, ini emang pemasok semangat nomer satu, ngalahin kecap nomer satu manapun dan bikin yang nggak enak-enak menyingkir karena penetrasi rasa optimis. Hmm, aku mencium kesegaran sekarang. Selain karena kini hujan deras yang kata BMG bakal seharian dan merata di penjuru Jakarta, juga lebih karena I have drive dan nggak sekedar tahu soal ambisi secara kognitif. Detik ini juga, ngerasain banget secara afeksi dan bertekad mengisi jadi hari-hariku.
Jadi inget kata-kata penuh semangat dari anak-anak Gaul: tetap semangat mas, apapun yang terjadi dan dimanapun kita berada! Plus, inget betul sama sobatku, NC Kartiman, yang mampu bangkit karena punya determinasi liat ketika satu fase hidupnya menggelinding deras terbentur tebing. Oya, masih terngiang jelas, seorang Nino berujar pendek: “Ayolah, kita semua bisa lebih baik!” Ya dia hanya berujar lima kata itu dan aku tahu banget konteksnya. Drive!*
Yeah I’m lack of it, konyol memang karena sering mengulur waktu memulai kerjaan, gamang mau mulai dari mana but ketika lantas aku mendobrak kegamanganku, toh semua baik-baik saja. Dead line terlewati dengan sukses, hasil evaluasi oke dan nggak jarang dapet compliment.
Dan tanpa aku sadari, ketika sedang kerja aku begitu menikmatinya dan lupa blass dengan keraguanku sendiri sebelumnya. Tanpa suplemen, tanpa minuman eletrolit kerasa banget kalo semangat mengalir deras dari ujung rambut, sel-sel otak seperti teraliri listrik tegangan rendah, semriwing, mengembangkan senyum di bibir, meronakan wajah memupus pucat, menggerakkan jemari di keyboard dan kemudian kata demi kata, analisis demi analisis menari dari data dan transkrip interview sebelumnya.
Sayang, ketika kau memulai menulis artikel atau edisi yang baru lagi aku kembali mulai dari level terendah: minim mood dan negatif thinking, ragu gape nggak dapet hasil baik. Macem-macemlah dan nggak pengen berpanjang-panjang soal ini karena perasaan negatif lebih kerasa sebagai candu, bikin males bangun pagi, enggan memulai langkah kaki pertama dan membekukan otak serta mematikan rasa.
Kata kuncinya emang satu, ambisi! Yup, ini emang pemasok semangat nomer satu, ngalahin kecap nomer satu manapun dan bikin yang nggak enak-enak menyingkir karena penetrasi rasa optimis. Hmm, aku mencium kesegaran sekarang. Selain karena kini hujan deras yang kata BMG bakal seharian dan merata di penjuru Jakarta, juga lebih karena I have drive dan nggak sekedar tahu soal ambisi secara kognitif. Detik ini juga, ngerasain banget secara afeksi dan bertekad mengisi jadi hari-hariku.
Jadi inget kata-kata penuh semangat dari anak-anak Gaul: tetap semangat mas, apapun yang terjadi dan dimanapun kita berada! Plus, inget betul sama sobatku, NC Kartiman, yang mampu bangkit karena punya determinasi liat ketika satu fase hidupnya menggelinding deras terbentur tebing. Oya, masih terngiang jelas, seorang Nino berujar pendek: “Ayolah, kita semua bisa lebih baik!” Ya dia hanya berujar lima kata itu dan aku tahu banget konteksnya. Drive!*
Wednesday, February 4, 2009
Obrolan Ranjang
Setelah mematikan lampu kamar Omi, anak kami yang sulung, istriku masuk kamar dan beberes berkas-berkas yang bakal dibawanya ke rumah sakit besok. Seperti biasa, dia cuek aja mondar-mandir menghalangi pandanganku ke arah tv kamar.
Jangan sekali-kali memasang tampang sebal atau mengeluh ‘eh-eh’ sambil memiring-miringkan badan ketika dia melintas di depan layar kaca 21 inchi itu. Gondok juga sih apalagi kalau pas ada kemelut di depan gawang Chelsea atau atau dialog kunci di saluran HBO.
Nggak usah mengeluh pun kalau ia menangkap lirikan mataku ke arahnya, hmm sudah pasti ia akan cemberut. Baginya memasang tv di kamar adalah ide terburuk di rumah kami. “Berisik!” katanya waktu menolak usulku meski aslinya dia gampang tertidur dan tahan dengan macem-macem gangguan suara.
Alasan sebenarnya, “Bikin nggak asik ngobrol,” cetusnya mengingatkanku kesukaan dia mengobrol berdua malam-malam tentang apa saja. Kadang setelah bangun tidurpun di Sabtu pagi usai subuh pun kami mengobrol. Lain ceritanya kalau Minggu, aku malah baru membangunkannya setelah aku bersiap mengantar anak-anak ke kolam renang Gelanggang Remaja Bulungan, pagi-pagi.
Kelar menutup restleting tas kerja, ia berbaring di sebelahku. Matanya berkedip-kedip ke arah TV, bigmatch Chelsea versus Liverpool. Daripada tayangan film dan dokumenter, ia lebih kompromi jika aku memilih channel olahraga. Katanya sih karna bisa di-mute dan ia juga bisa ehmm tubuh atletis berbalur keringat, salah satu alasannya menerima rayuan gombal jadi pacarku, duluuu. “Wii, seksi,” celetuknya lirih suatu ketika aku selesai joging di Senayan, sambil memperhatikan leleran keringat di leher dan kaos basahku. Sejak saat itu aku hapal ‘kode etik’: tidak melap keringat kalau ia menemaniku olahraga atau ketika ehm, bercinta.
“Mas,” katanya sambil menendang-nendang selimut dari dalam mencari posisi yang pas buat kakinya.
“Yap,” sahutku sambil mengangkat selimut buat memudahkannya mendapatkan posisi wuenak. Oya, serta merta juga aku tidak memperhatikan tv sejenak dan mengalihkan perhatian padanya.
“Kapan itu, aku ngobrol sama mbak Tanti, ibunya Maya temennya TK Omi.”
“Ohh, trus?” mataku melirik tv sekilas, masih 0-0.
“Dia crita, bukannya ngadu lho, kalau Maya sama Putri lagi berantem gara-gara anakmu tuh.”
“We-e-e-e, koq bisa?” perhatiannku sekarang 100% buatnya.
“Juga gara-gara Mas juga. Tahu kan, Omi udah bisa origami dari buku yang Mas belikan bulan kemarin. Inget to? Lha ya itu, waktu pelajaran bebas di kelasnya, Omi bikin origami burung, ayam, naga, kucing, macem-macem lah…”
“Yee, cerita berantemnya dimana?” tanyaku tidak sabar. Menyela ceritanya sebenarnya sebuah pantangan, untungnya ia hanya memonyongkan bibirnya dan menahan gerutu.
“Temen-temennya yang lihat langsung merubungnya. Putri yang liat pertama kali tapi Maya duluan yang minta diajarin. Ya gitu deh, rebutan.”
“Ooo, namanya anak kecil ngeliat lipatan-lipatan kertas ya pasti pengen,” komentarku sambil kembali memperhatikan tv. Drogba bikin gol, 1-0 buat klub London itu.
“Heeh, dengerin dulu ah!” suaranya ketus pertanda cemburu pada tv.
“Berantemnya sih biasa yang bikin geleng-geleng gurunya dan mbak Tanti yang nungguin tuh waktu Putri ngomel dan bilang kalo dia lebih berhak diajarin Omi karna sebelumnya Putri lebih dulu naksir ketimbang Maya dan temen-temen yang lain!”
Aku ketawa tertahan sambil memutar badanku menghadap ke istriku, menepuk-nepuk pinggangnya. Kata ibunya Omi ini lagi, sekarang dua bocah yang rumahnya berseberangan itu lagi diem-dieman dan ogah berjalan beriringan sepulang dari TK, salah satu dari mereka akan menunggu ‘rivalnya’ berjalan duluan dan sekarang keduanya malas bermain di halaman rumah masing-masing. “Jijay kalo liat Maya!” istriku mengutip mbak Tanti yang menirukan kejengkelan Putri.
“Tapi kan ada bagusnya, Omi yang dulu kayaknya pemalu sekarang malah gampang akrab sama temen-temen sebayanya. Direbutin lagi,” ujarku menarik premis.
“Anakmu tuh!” sahut istriku yang jemarinya memainkan kancing piyamaku. Bibirnya dimonyongkan sedikit.
“He-he-he, sama gantengnya to?!”
“Itu mah lebay. Tapi soal Omi dikerubutin cewek itu kan turunan dari kamu! Ya khan?” sekarang jarinya menarik piyamaku yang kancing sudah terbuka satu. Kalau sudah begini, biasanya aku cuma mengejapkan mataku ke langit-langit kamar yang berpendar oleh monitor tv sambil mesam-mesem menunggu terlepasnya semua kancing.
***
Dulu, masalah begini pernah bikin istriku meradang. Aku menikahinya setelah mengenalnya tidak lebih dari setahun di Jakarta dan dia juga bukan dari lingkaran pergaulan teman-teman Jogja yang bekerja di ibu kota. Benar-benar kenalan baru, ia mengenalku sebagai lelaki 31 tahun, asal Jogja, dan awalnya ia mengira aku pendiam. “Tampang nipuuu, cuma butuh 10 hari buat keluar aslinya. Bahaya deh!” tulisnya di wall FaceBook-ku suatu waktu setelah ikrar pacaran.
Aku mengenalnya juga baru setelah pindah ke sini, seorang perempuan dokter gigi yang kalau lagi serius lupa tersenyum, berwajah bulat dan malas berolahraga. Hal yang sama lainnya adalah kami buta tentang masa lalu masing-masing terutama siapa pacar-pacar sebelumnya dan lingkungan pergaulan kami. Tidak ada temanku yang jadi temannya dan begitu pula sebaliknya.
Berbeda sekali dengan cewk-cewekku sebelumnya di Jogja yang lingkaran sosialnya erat. Meski awalnya tidak kenal tapi ternyata, misalnya, dia adalah temannya kawan pacar sobatku. Atau, satu kos dengan kakak angkatan. Bisa dibilang tidak ada yang bisa berserita tentang aku padanya, ya semata-mata karena tidak teman lamaku yang menjadi kawannya.
Sebulan setelah menikah, dia meradang karena celetukan Akbar temen sekampusku waktu berkunjung bareng istrinya, Sinta yang juga teman se-organisasi pers kampusku. Dua orang suami-istri ini memang jodoh terutama soal kontrol mulut keduanya yang bisa membuka ‘aib’ orang semudah membuka kran air dan airnya pun menyembur merembes kemana-mana.
Sebagai pengantin baru, istriku digodain udah ngapain aja selama pacaran denganku. Sinta menimpali sok akademis, “Kamu tuh sebagai individu tunggal, pasti lurus-lurus aja. Tapi kalau ngeliat tampang mesum pangeranmu ini… hmm pasti deh- paaasti’ deh!”
Aku sendiri sih cengengesan dari dalam rumah usai sholat Ashar. Giliran Akbar bikin panas kuping, “Eh kamu dulu terkesima ya waktu Itong keliatannya doyan sholat? Dia tuh pake peci komplit baju koko pun tetep aja kayak siapa tuh… bintang film Mandarin yang selalu kebagian peran kriminal-cabul-pemerkosa. Jamannya film-film The Girl from Kanton atau Peng Tan, he-he-he.”
Biasanya kalau teman-temanku mengerjaiku, aku dan istriku cuma senyum-senyum tapi di sela-sela percakapan hangat kami berempat hari Minggu itu sinar mata istriku sekilas seperti memvisualisasikan omongan dua provokator itu. Bergantian Akbar dan Sinta menirukan gaya najis bapaknya Omi ini kalau lagi gombal dengan cewek:
“Met pagi Bela!”
“Eh mas, pagi juga”
“Udah denger kabar pagi ini?”
“Haa, kabar apa emang mas?” (Akbar bilang, kalau sudah begini biasanya si cewek merhatitin omongan dan penasaran)
“Pagi ini… kamu muanis bangetttthhhh!”
“Halaah! #%$^&(*@!”
Atau, Sinta mengutip curhatan temen ceweknya yang siang sebelumnya merasa kelepek-kelepek:
“Dulu itu kita kenalannya disini atau di fakultas sih?”
“Wah dah lupa Mas, kayaknya disini deh kan kita lain fakultas.” (Kami tergelak merujuk rayuanku yang sama sekali jayus, lha wong nggak sefakultas kok bisa berasumsi kenalan di fakultas)
“Oh iya ya, waktu kenal pertama dulu kan kayaknya kamu sebel banget sama aku karena ngira aku merebut pesanan mie ayammu yang ternyata hanya tersisa satu mangkok terakhir. Aku was-was banget lho liat tampang cemberutmu hi-hi-hi.”
“Hiks-hiks-hiks, kok kamu masih inget to mas, jadi malu!”
“Aku sih nggak nginget-inget tapi emang dasar nggak bisa ngelupain!”
“Arggghhhhh… ! %$&*9()@#!$”
Sampai tamu istimewa kami itu pamit pulang sepertinya istriku biasa saja, terbahak ketika waktunya ngakak, tersenyum nyengir saat merasa malu-malu kering. Pindah ke dapur untuk mencuci gelas dan piring kotor bareng di dapur pun, ia hanya diam. Radangannya baru keluar setelah ia mematikan lampu kamar, menyalakan lampu kecil, menarik selimut dan berbaring miring menatapku lekat-lekat.
”Jangan tidur!” ketusnya mulai bermetamorfosis jadi super galak. “Ayo! Ceritain yang belum dibilang sama mereka tadi soal kamu dulu… bla-bla-bla!!!”
Nah, gini deh kalau istriku sudah memanggilku dengan ‘kamu’ dan bukannya ‘mas’ atau ‘ayah’, tidak ada pilihan lain selain menuruti kemauannya itupun tidak semua bisa aku ingat karena sudah bertahun-tahun lalu. Tidak terhitung tarikan nafasnya yang kemudian berhembus di mukaku, tatapan matanya lekat-lekat menerka-nerka seberapa jujurku padanya. Hembusan panjang nafasnya yang terakhir berujung dengan memutar badan tidur memunggungiku dan menepis tanganku yang biasanya memeluk pinggang rampingnya.*
Jangan sekali-kali memasang tampang sebal atau mengeluh ‘eh-eh’ sambil memiring-miringkan badan ketika dia melintas di depan layar kaca 21 inchi itu. Gondok juga sih apalagi kalau pas ada kemelut di depan gawang Chelsea atau atau dialog kunci di saluran HBO.
Nggak usah mengeluh pun kalau ia menangkap lirikan mataku ke arahnya, hmm sudah pasti ia akan cemberut. Baginya memasang tv di kamar adalah ide terburuk di rumah kami. “Berisik!” katanya waktu menolak usulku meski aslinya dia gampang tertidur dan tahan dengan macem-macem gangguan suara.
Alasan sebenarnya, “Bikin nggak asik ngobrol,” cetusnya mengingatkanku kesukaan dia mengobrol berdua malam-malam tentang apa saja. Kadang setelah bangun tidurpun di Sabtu pagi usai subuh pun kami mengobrol. Lain ceritanya kalau Minggu, aku malah baru membangunkannya setelah aku bersiap mengantar anak-anak ke kolam renang Gelanggang Remaja Bulungan, pagi-pagi.
Kelar menutup restleting tas kerja, ia berbaring di sebelahku. Matanya berkedip-kedip ke arah TV, bigmatch Chelsea versus Liverpool. Daripada tayangan film dan dokumenter, ia lebih kompromi jika aku memilih channel olahraga. Katanya sih karna bisa di-mute dan ia juga bisa ehmm tubuh atletis berbalur keringat, salah satu alasannya menerima rayuan gombal jadi pacarku, duluuu. “Wii, seksi,” celetuknya lirih suatu ketika aku selesai joging di Senayan, sambil memperhatikan leleran keringat di leher dan kaos basahku. Sejak saat itu aku hapal ‘kode etik’: tidak melap keringat kalau ia menemaniku olahraga atau ketika ehm, bercinta.
“Mas,” katanya sambil menendang-nendang selimut dari dalam mencari posisi yang pas buat kakinya.
“Yap,” sahutku sambil mengangkat selimut buat memudahkannya mendapatkan posisi wuenak. Oya, serta merta juga aku tidak memperhatikan tv sejenak dan mengalihkan perhatian padanya.
“Kapan itu, aku ngobrol sama mbak Tanti, ibunya Maya temennya TK Omi.”
“Ohh, trus?” mataku melirik tv sekilas, masih 0-0.
“Dia crita, bukannya ngadu lho, kalau Maya sama Putri lagi berantem gara-gara anakmu tuh.”
“We-e-e-e, koq bisa?” perhatiannku sekarang 100% buatnya.
“Juga gara-gara Mas juga. Tahu kan, Omi udah bisa origami dari buku yang Mas belikan bulan kemarin. Inget to? Lha ya itu, waktu pelajaran bebas di kelasnya, Omi bikin origami burung, ayam, naga, kucing, macem-macem lah…”
“Yee, cerita berantemnya dimana?” tanyaku tidak sabar. Menyela ceritanya sebenarnya sebuah pantangan, untungnya ia hanya memonyongkan bibirnya dan menahan gerutu.
“Temen-temennya yang lihat langsung merubungnya. Putri yang liat pertama kali tapi Maya duluan yang minta diajarin. Ya gitu deh, rebutan.”
“Ooo, namanya anak kecil ngeliat lipatan-lipatan kertas ya pasti pengen,” komentarku sambil kembali memperhatikan tv. Drogba bikin gol, 1-0 buat klub London itu.
“Heeh, dengerin dulu ah!” suaranya ketus pertanda cemburu pada tv.
“Berantemnya sih biasa yang bikin geleng-geleng gurunya dan mbak Tanti yang nungguin tuh waktu Putri ngomel dan bilang kalo dia lebih berhak diajarin Omi karna sebelumnya Putri lebih dulu naksir ketimbang Maya dan temen-temen yang lain!”
Aku ketawa tertahan sambil memutar badanku menghadap ke istriku, menepuk-nepuk pinggangnya. Kata ibunya Omi ini lagi, sekarang dua bocah yang rumahnya berseberangan itu lagi diem-dieman dan ogah berjalan beriringan sepulang dari TK, salah satu dari mereka akan menunggu ‘rivalnya’ berjalan duluan dan sekarang keduanya malas bermain di halaman rumah masing-masing. “Jijay kalo liat Maya!” istriku mengutip mbak Tanti yang menirukan kejengkelan Putri.
“Tapi kan ada bagusnya, Omi yang dulu kayaknya pemalu sekarang malah gampang akrab sama temen-temen sebayanya. Direbutin lagi,” ujarku menarik premis.
“Anakmu tuh!” sahut istriku yang jemarinya memainkan kancing piyamaku. Bibirnya dimonyongkan sedikit.
“He-he-he, sama gantengnya to?!”
“Itu mah lebay. Tapi soal Omi dikerubutin cewek itu kan turunan dari kamu! Ya khan?” sekarang jarinya menarik piyamaku yang kancing sudah terbuka satu. Kalau sudah begini, biasanya aku cuma mengejapkan mataku ke langit-langit kamar yang berpendar oleh monitor tv sambil mesam-mesem menunggu terlepasnya semua kancing.
***
Dulu, masalah begini pernah bikin istriku meradang. Aku menikahinya setelah mengenalnya tidak lebih dari setahun di Jakarta dan dia juga bukan dari lingkaran pergaulan teman-teman Jogja yang bekerja di ibu kota. Benar-benar kenalan baru, ia mengenalku sebagai lelaki 31 tahun, asal Jogja, dan awalnya ia mengira aku pendiam. “Tampang nipuuu, cuma butuh 10 hari buat keluar aslinya. Bahaya deh!” tulisnya di wall FaceBook-ku suatu waktu setelah ikrar pacaran.
Aku mengenalnya juga baru setelah pindah ke sini, seorang perempuan dokter gigi yang kalau lagi serius lupa tersenyum, berwajah bulat dan malas berolahraga. Hal yang sama lainnya adalah kami buta tentang masa lalu masing-masing terutama siapa pacar-pacar sebelumnya dan lingkungan pergaulan kami. Tidak ada temanku yang jadi temannya dan begitu pula sebaliknya.
Berbeda sekali dengan cewk-cewekku sebelumnya di Jogja yang lingkaran sosialnya erat. Meski awalnya tidak kenal tapi ternyata, misalnya, dia adalah temannya kawan pacar sobatku. Atau, satu kos dengan kakak angkatan. Bisa dibilang tidak ada yang bisa berserita tentang aku padanya, ya semata-mata karena tidak teman lamaku yang menjadi kawannya.
Sebulan setelah menikah, dia meradang karena celetukan Akbar temen sekampusku waktu berkunjung bareng istrinya, Sinta yang juga teman se-organisasi pers kampusku. Dua orang suami-istri ini memang jodoh terutama soal kontrol mulut keduanya yang bisa membuka ‘aib’ orang semudah membuka kran air dan airnya pun menyembur merembes kemana-mana.
Sebagai pengantin baru, istriku digodain udah ngapain aja selama pacaran denganku. Sinta menimpali sok akademis, “Kamu tuh sebagai individu tunggal, pasti lurus-lurus aja. Tapi kalau ngeliat tampang mesum pangeranmu ini… hmm pasti deh- paaasti’ deh!”
Aku sendiri sih cengengesan dari dalam rumah usai sholat Ashar. Giliran Akbar bikin panas kuping, “Eh kamu dulu terkesima ya waktu Itong keliatannya doyan sholat? Dia tuh pake peci komplit baju koko pun tetep aja kayak siapa tuh… bintang film Mandarin yang selalu kebagian peran kriminal-cabul-pemerkosa. Jamannya film-film The Girl from Kanton atau Peng Tan, he-he-he.”
Biasanya kalau teman-temanku mengerjaiku, aku dan istriku cuma senyum-senyum tapi di sela-sela percakapan hangat kami berempat hari Minggu itu sinar mata istriku sekilas seperti memvisualisasikan omongan dua provokator itu. Bergantian Akbar dan Sinta menirukan gaya najis bapaknya Omi ini kalau lagi gombal dengan cewek:
“Met pagi Bela!”
“Eh mas, pagi juga”
“Udah denger kabar pagi ini?”
“Haa, kabar apa emang mas?” (Akbar bilang, kalau sudah begini biasanya si cewek merhatitin omongan dan penasaran)
“Pagi ini… kamu muanis bangetttthhhh!”
“Halaah! #%$^&(*@!”
Atau, Sinta mengutip curhatan temen ceweknya yang siang sebelumnya merasa kelepek-kelepek:
“Dulu itu kita kenalannya disini atau di fakultas sih?”
“Wah dah lupa Mas, kayaknya disini deh kan kita lain fakultas.” (Kami tergelak merujuk rayuanku yang sama sekali jayus, lha wong nggak sefakultas kok bisa berasumsi kenalan di fakultas)
“Oh iya ya, waktu kenal pertama dulu kan kayaknya kamu sebel banget sama aku karena ngira aku merebut pesanan mie ayammu yang ternyata hanya tersisa satu mangkok terakhir. Aku was-was banget lho liat tampang cemberutmu hi-hi-hi.”
“Hiks-hiks-hiks, kok kamu masih inget to mas, jadi malu!”
“Aku sih nggak nginget-inget tapi emang dasar nggak bisa ngelupain!”
“Arggghhhhh… ! %$&*9()@#!$”
Sampai tamu istimewa kami itu pamit pulang sepertinya istriku biasa saja, terbahak ketika waktunya ngakak, tersenyum nyengir saat merasa malu-malu kering. Pindah ke dapur untuk mencuci gelas dan piring kotor bareng di dapur pun, ia hanya diam. Radangannya baru keluar setelah ia mematikan lampu kamar, menyalakan lampu kecil, menarik selimut dan berbaring miring menatapku lekat-lekat.
”Jangan tidur!” ketusnya mulai bermetamorfosis jadi super galak. “Ayo! Ceritain yang belum dibilang sama mereka tadi soal kamu dulu… bla-bla-bla!!!”
Nah, gini deh kalau istriku sudah memanggilku dengan ‘kamu’ dan bukannya ‘mas’ atau ‘ayah’, tidak ada pilihan lain selain menuruti kemauannya itupun tidak semua bisa aku ingat karena sudah bertahun-tahun lalu. Tidak terhitung tarikan nafasnya yang kemudian berhembus di mukaku, tatapan matanya lekat-lekat menerka-nerka seberapa jujurku padanya. Hembusan panjang nafasnya yang terakhir berujung dengan memutar badan tidur memunggungiku dan menepis tanganku yang biasanya memeluk pinggang rampingnya.*
Subscribe to:
Posts (Atom)