Seingetku, belasan tahun lalu, ketika meliat kawan lari, otakku sibuk menerka-nerka alasan dia melakukannya 1-2-3 kali seminggu. "Oh mungkin dia ingin kurus, kali-kali buat persiapan naik gunung, travelling, atau terapi fisik kah...? dll dst...."
Aku sendiri, pada tahun-tahun pertama menjejak trek parkir barat GSP UGM, memang membuktikan: lari bikin daya tahan lebih baik, dari gampang flu dan pusing (aku selalu punya bekal obat sakit kepala di tas). Flu bisa menerjang tiap 3 bulan, tiap kena perlu 10hari- 2 minggu untuk sembuh.
Setelah lari, flu 'hanya' mampir 6 -8 bulan sekali, dan pulih total dalam 4-7 hari. Ini untuk flu berat, kalau ringan hanya 2-3 hari.
Lari juga membuat pendakian ke Gunung Merbabu (3067mdpl) di usia 30 tahun, terasa menyenangkan. Tanpa tusukan nyeri di betis, paha dan punggung pasca pendakian.
Cerita dari kawan juga senada. Divonis dokter sebagai pengidap bronchitis + sesak nafas di usia 20 tahun, mengonsumsi obat setiap usai makan hingga umur 35 tahun, dia lantas mencoba lari.
Tiga tahun pertama butuh kerja keras karena dihimpit fisik yang lemah dan ditambah, istilah dia, tanpa ada keyakinan sedikitpun apakah lari bakal berdampak atau tidak.
Dan... sejak umur 40 tahun, tiga tahun lalu, dokter sudah menghentikan memberinya resep obat. :) #well done. "Yang gw sesali, kenapa nggak dari umur 25-30 ya? Tapi gw tetep senang. Anak bini juga hepi, papanya ini sehat, gemukan, nggak cungkring lagi hehehe.." ...
Dari itu semua, kini dan esok, aku tidak lagi butuh alasan apapun. Just do it! Salam #marilari "
Don't ask why i run, ask yourself why you don't"
Inung Gunarba | Dikirim dari BlackBerry Q10 saya.