Showing posts with label media. Show all posts
Showing posts with label media. Show all posts

Monday, September 21, 2020

Tips Perawatan Tanaman Anggur, Langsung dari Praktisi


Tanaman anggur memang salah satu tanaman buah yang tak kenal musim tren. Bibitnya diburu, informasi pengetahuan tips menanam dan merawatnya terus dicari di internet, komunitas maupun dalam ajang kopdar.


Ketika kemarin hari Minggu saya mengambil bibit anggur Red Globe di Depok, Jawa Barat, saya menyempatkan untuk menimba ilmu dari Cang Ali, salah satu praktisi penanaman anggur.

Di FB, sobat anggur dapat berinteraksi di wall FB maupun di grup Tips Menanam Anggur dengan nama online hehehe Nooray Ali. Beliau menjadi moderator di grup TMA tersebut. Di kebunnya terdapat bibit ninel, angelica, jupiter, dan lain-lain. Kebetulan saya memilih red globe.

Langsung saja, dalam merawat tanaman anggur dibutuhkan penyemprotan 2 jenis yakni:
1. Fungisida: mereknya Amistratop dan Antracol. Silakan jika mau merek lain, itu sekadar info ya.
2. Insectisida: mereknya Abasel (atau Decis, Regen).

Dosis fungisida, Amistratop cukup setetes dan diencerkan dengan 1 liter air. Adapun jika memilih menggunakan Antracol maka 1 sendok untuk 1 liter air.

Bagaimana dengan Abasel? Insectisida ini digunakan dengan dosis 1 tetes per liter air.

Caranya dengan penyemprotan terutama di bawah daun karena letak stomata ada di bawah daun dan waktunya pada sore hari sekira pukul 16-17.00. Mengapa sore hari? Karena di waktu itulah stomata terbuka. Jangan terlalu petang atau malam ya, karena stomata sudah menutup.

Berapa harganya? Amistratop lebih mahal dibanding Antracol. Banderol harga Amistratop ialah untuk kemasan 100 ml Rp60.000, sedangkan Antracol per 1 kilogram hanya Rp40.000.

Di musim hujan, penggunaan fungisida lebih diperhatikan ya karena air hujan dan udara lembap lah yang mendatangkan jamur.

Oya, penggunaan fungisida dan insektisida juga jangan berbarengan. Minimal diberi jarak 1 hari antar keduanya. Diberikan 1 minggu sekali.

Untuk insektisida, gangguan yang sering muncul adalah trip, kutu putih dan lain-lain. Nah insektisida Abasel, Decis, Regent menjadi ikhtiar agar insektisida menjauh. 

Satu lagi, jika ada tanaman di dekat anggur yang kena kutu putih, gemini dan lain-lain (seperti cabe, tanaman bunga dsb) maka tanaman lain itu juga disemprot. 

Bagaimana pemberian pupuk? Untuk pupuk kandang, diberikan dengan ditabur karena jika dibenamkan, dikhawatirkan jamur yang masih ada di pupuk kandang atau kode masuk ke dalam media tanam.

Pupuk lainya, jika pada masa pertumbuhan alias fase vegetatif bisa menggunakan pupuk daun Gandasil D seminggu sekali.

Selanjutnya pada usia 6-7 bulan, bisa diaplikasikan pupuk daun untuk buah.

Sekalian juga, Cang Ali menyampaikan tentang media tanam. Di tanaman anggur yang dirawatnya, dia menggunakan campuran kompos, pasir, sekar mentah atau bakar. Dia sama sekali tidak menggunakan tanah.

Penyiraman hanya jika media tanam terasa kering. Di kebunnya, saya membenamkan jari untuk melatih kepekaan perlu tidaknya media tanam disiram air. Anggur cenderung menyukai media tanam kering. 

Jika kita masukkan jari dan terasa ujung jari terasa adem atau sedikit basah (meskipun lapisan atas media tanam terlihat kering) maka hal itu sudah cukup.

Jika menanam di pot, pastikan bagian bawah diisi pecahan batu bata, keramik atau puing. Fungsinya membantu air siraman dapat segera turun sehingga tidak ada genangan.

Bila sobat anggur memilih menanam langsung di tanah maka disarankan membuat bedengan setinggi 30-40 cm sehingga air hujan atau siraman dapat mengalir ke bawah. 

Demikian tips menanam anggur sekaligus tentang perawatan dan info terkait lainnya. Salam dari Bogor :) 


Sunday, August 13, 2017

Wajah Segar: media massa, narasumber dan keterbaruan

Image source

Dua hari yang lalu, seorang kawan produser bertanya pada saya dan meminta informasi tentang nomer telepon narsumber. Televisi tempatnya bekerja ingin interview tentang analisis pasar modal.

Seminggu sebelumnya, teman lama saya yang kini menjadi editor di media online juga mengirim pesan Whatsapp serupa. Kantornya ingin menggelar diskusi tentang politik terkini.

Saya sodorin A, mereka bilang 'ada yang lain?' saya kasih B, mereka ogah.

"Wajah anyar! Layar gw butuh penyegaran. Kameramen gw sudah bosen. Reporter gw pengen dolan lebih jauh. Gw maunya wajah segar!"

Ya, saat ini media massa memang membutuhkan wajah-wajah segar para pengamat politik, ekonomi, sosial, budaya, religi, pendidikan, juga psikologi. Mereka ingin panelis/narasumber yang 'tidak itu-itu saja' :)

Wajah segar disini bukan berarti ganteng cakep, cantik lho ye. 'Wajah segar' itu kiasan untuk hadirnya narsum baru yang memberi pilihan alternatif bagi jurnalis :)

Jadi, sekarang saya mau merayu dan memprovokasi rekan-rekan akademisi, periset di lembaga penelitian dan praktisi apapun, please, jika menyukai berbagi ilmu dan gandrung menyumbang pandangan, saat-saat ini rekan-rekan saya produser dan redaktur serta reporter membutuhkan panjenengan. Mumpung masih 2017.

Wednesday, February 3, 2010

Hoiii... Gua Ndak Doyan Amplop!!!


Hoii... Aku tidak mau menerima uangmu!!!


Sebagian dari kita berani teguh di satu titik ketika dunia terus berputar.

Dua pekerja media duduk berhadapan menekur di depan netbook mereka. Meja lebar memanjakan mereka untuk menaruh cemilan dan fotokopian materi berita.

Di ruang yang sama, press room sebuah departemen di bilangan Kuningan, tiga kawan sejawat tekun menyimak Gayus Lumbuun berbalas kata melawan Ruhut Sitompul lewat TV Samsung 21 inchi.

Dua orang lagi sibuk dengan Communicator dan Blackberry. Sambil asyik dengan masing-masing layar gadget, mereka bertujuh ngobrol tanpa ujung pangkal, berceracau begitu saja. Tentu saja, tangan mereka tak lupa berminyak oleh 3 jenis cemilan: Happytos, Potato dan kerupuk bangka.

Salah satu wartawan ber netbook tadi, nyaring suaranya paling dominan di ruang 4x7meter itu. Tembok tanpa wallpaper mendengungkan suara altonya. Kebetulan, lengkingnya memang pas dengan media tempat ia bekerja: kritis dan galak.

Kawannya di seberang lebih banyak cekikikan dengan YMnya. Sesekali menimpali tapi terdiam begitu enam karibnya menyentil soal tayangan di TV. Skandal bank dan politik agak berjarak untuk mendapat perhatiannya sebagai reporter media online dan ngepos bukan di Lapangan Banteng atau Senayan.

Satu fragmen obrolan antara dua pekerja media yang asyik dengan laptop mininya tiba-tiba menarik disimak. Ketika itu, si wartawan bervokal alto berceloteh soal liputan bareng ke luar daerah Januari lalu. Kala itu liputan mereka atas undangan sebuah perusahaan multinasional rekanan departemen yang menggurita di Tanah Air.

Intinya, ia mengaku menolak mentah-mentah duit 'insentif liputan' atau lebih gampang disebut 'amplop' dari perusahaan itu. Karibnya, mendongak sesaat dari YMnya. Membenarkan dan menyebut uang semacam itu bikin masalah. Mending ditolak, katanya dan dibenarkan oleh temannya di seberang meja.

Mereka juga tahu jumlah rupiah di dalam amplop, bisa buat beli Blackberry Javelin atau Netbook HP plus modem. Wuihh... Bukan jumlah yang sedikit.

Yang mencolok, intonasi suara mereka meninggi ketika menyebut, 'mending ditolak', dan 'gak sudi makan duit mereka'. Seolah, gendang telinga penghuni pressroom harus jelas-jelas mendengar penyikapan mereka.

Sejurus dengan obrolan mereka berdua yang menyeruak di tengah obrolan soal Century, kelima kawan mereka terdiam.

Dua diantaranya yang membelakangi mereka, saling melirik dan nyengir. Satu lagi memperbaiki posisi duduknya yang sejatinya sudah posisi uennaaak. Gerah.

Dua sisanya saling menendang kaki satu sama lain di bawah meja dan memasang muka cuek.

Dua wartawan 'anti amplop' terus berkicau soal liputan ke luar kota tadi. Sinis makin terlihat di muka mereka.

Obrolan pun berujung pada soal, menurut mereka berdua, staf humas perusahaan terus saja mendekati mereka hingga hari terakhir liputan. Konon, mereka lebih memilih menghindar daripada terkontaminasi oleh kedekatan basa-basi sang staf.

Kali ini, kelima kawannya makin pintar bagaimana memasang ekspresi seolah tidak mendengar obrolan kritis dua teman seprofesi mereka yang berbeda media.


*** Senayan

Di ruang meeting eksklusif di sudut mall di bilangan Senayan, asap rokok memenuhi langit-langit. Empat redaktur duduk di sofa coklat terang. Dua di antara mereka adalah atasan reporter tadi.

Dua meja yang sebelumnya terpisah dijejer berhimpit untuk menopang tiga laptop mereka. Seorang tak membuka laptopnya, memilih tetap menyimpannya di tas Rei-nya.

Perbincangan santai soal progres plot pencitraan perusahaan yang diliput para reporter itu, di empat media tempat mereka bekerja: tiga media cetak dan satu stasiun televisi.

Tentu saja, salah satu bahasan adalah hasil liputan reporter mereka masing-masing Januari kemarin. Tampaknya, soal liputan itu bukan termasuk penting. Pokoknya, media yang mendapat plot pencitraan sudah sukses menunjukkan komitmen pada si klien, perusahaan farmasi itu, dengan mengirim reporter. Itu saja.

Tak ada bahasan soal materi liputan nan kritis yang didapat para reporter. Semua aman, kata salah satu redaktur. Maksudnya, berita yang mengulas runtut telah dimuat dan sudah ditunjukkan pada vice presiden perusahaan.

Tak sampai lima menit, obrolan berallih pada tema kampanye perusahaan yang bakal diusung sebagai step berikutnya.


***Salut

Di bawah langit Jakarta dengan tebaran kabar berita, dua wartawan melangkah mantap di lobby sebuah departemen di bilangan Kuningan.

Secara individu, idealisme profesi mereka panggul kuat-kuat, ketika tanpa mereka tahu, media tempat bekerja telah terbeli. Atau, mereka memilih tutup mata.***

Salam dari Kebayoran, tabik hormat untukmu kawan!

Monday, July 13, 2009

Bocoran hari ini...

Waktu rapat tadi pagi, ada beberapa pelajaran yg sayang kalu cuman kuingat-ingat:
1. kalo bikin acara press conference yang acara utamanya di dalam gedung, press-con jg sebaiknya dalam gedung.
kasus nih, kelar ninjau pameran di ruang lobby hotel Sahid, direncanakan menteri pertanian datang ke press-con bareng dirjen, gubernur dll, nah ada yg usul press con di ruangan terbuka pojok area kolam renang, PRnya Martha Tilaar kontan menggeleng. "Sebaiknya di dalam ruang. pertama karena ada menteri dan kedua, karena acara utamanya di indoor jg.
bener juga sih kalo beberapa kali press-con, Pak Anton sang mentan kita lebih milih di bawah terik matahari atau tenda, lha iyalah karena acara utamanya peninjauan lapangan di tengah hamparan sawah padi atau kebun kopi. paling jauh ya acara dialog dg wartawan di pendopo: beratap tapi tanpa dinding, semi indoor gitulah.
2. Oya, press con jg ngundang wartawan daerah setempat, so karna kita ga begitu kenal peta media disana, mending minta bantuan atau kerjasama dengan humas pemkot/pemda yg udah kenal secara instusi n personal dengan para wartawan. Bagus juga kita kalo kita punya kenalan wartawan daerah itu dan direkrut jd konsultan media, jadi 'EO' penggerah dan penggerak temen-temen media di daerah itu. Lebih luwes, akrab, dan efektif serta meminimalisir risiko miskomunikasi. acara di lain waktu di kota oti jg bakal lebih enak lagi karena udah py networking media.
3. kalo bikin acara di luar kota, sebaiknya dibentuk panitia lokal yang menangani koordinasi di tempat acara, misalnya: mengurusi stand pameran, kontak dg hotel, MC lokal, merekrut panitia lokal, kebutuhan transportasi-logistik, dan agenda tambahan yg mendadak plus guide terpercaya kita pas sesi jalan-jalan qe3
***

Sunday, August 3, 2008

Otoritas

Seorang pemimpin umum media cetak skala nasional pernah meledek reporternya. Ledekan tersebut malah menjadi ironi bagi sang peledek. Ketika itu, awal 2008, berlangsung diskusi rubrikasi media tersebut.

Sang reporter mengutarakan beberapa informasi dan menggunakan istilah angle alias sudut pandang. Ia melafalkannya sesuai lafal yang tepat, ‘aeng:gel. Ndilalah, sang pemimpin umum spontan meledek plus menyalahkan pelafalan angle tersebut. “Keliru tuh, ngawur,” sergahnya. Beliau lantas mengkoreksi dengan pengucapan: ‘einjel. Uppsss, IMHO/In My Humble Opinion, pikir si reporter, lafal seperti itu sebenarnya untuk angel atawa malaikat.

Ndilalahnya lagi, peserta diskusi yang terdiri dari redaktur pelaksana dan beberapa reporter terdiam mendengar koreksi yang keliru tadi. Mungkin sungkan, mungkin malu atau bisa juga ragu kalau ternyata memang si reporter yang keliru. Si reporter juga terdiam, bukan karena malu atau tidak yakin dengan pelafalannya, melainkan kasihan: pelurusan kesalahan berbahasa, terjebak dalam rasa hormat pada pemegang otoritas. Memang ironi, meluruskan omongan seseorang yang terlebih dulu, dengan super PeDe, meledek pihak lain. Wuadhuh!*