Monday, June 29, 2009
Trialthon!!!
1. Empat bulan absen lari keliling kompleks Halim
2. Lima bulan bolos mengenggam dumble, mengangkat barbel, squat ‘n dead-lift
3. Bersepeda terakhir setengah tahun kemarin, itupun cuma 15 menit
4. Sukses naikin berat badan dari 57 jadi 62 kg dalam 3 bulan
5. Garis-garis di perut *bakalan sixpack*, udah hilang sama sekali
Lomba ketahanan fisik yang diikutin bejibun atlet Indonesia ampe luar, termasuk bule-bule penasaran, udah kelar.
Nengok result di situs lomba udah bikin nyengir garing. Apalagi ngeliat sepatu Diadora putih berselimut debu-nganggur-tak tersentuh di pojok kamar, feeling guilty banget!
Selamat buat Trialthoners! Ahh… tanpa aku, kalian nggak jadi punya lawan sepadan *masih berani sombong* yihaaa… :))
Monday, June 22, 2009
Gitu nggak boleh ya?
Ceritanya, waktu temenku, panggil aja namanya Juliet, masih kuliah di Jogja. Dia udah jadian sekitar satu semester sama cowoknya, sebut aja Romeo. Ada seorang cewek temen sang pacar, minta tolong padanya: mau ‘minjem’ cowoknya buat nemenin kondangan. Juliet dengan entengnya mengiyakan tanpa pretensi, tanpa cemburu, tanpa pamrih dan tanpa mengukur kemungkinan risiko. “Lha aku percaya aja tuh sama cowokku dan mereka kan emang temenan sejak SMA,” kilahnya padaku, polos.
Emang sih nggak ada kejadian aneh-aneh, setahu Juliet lah. Pokoknya pulang tepat waktu, utuh tak kurang tak lebih. Nggak ada yang terkikis karena lecet atau bertambah, misalnya cupang di leher ^_^.
Dia baru nyadar setelah mbak kosnya, maksudnya sesama penghuni kos tapi lebih tua setahun-dua tahun, nanyain Juliet waktu Romeo ‘dipulangkan’ ke kos Juliet.
“Siapa tuh cewek yang sama cowokmu di bawah? Emang kamu nggak jalan ama Romeo seharian?” tanya mbak kos yang nyamperin Juliet di kamarnya di lantai dua.
“Temennya cowokku, mbak,” terang Juliet tanpa memalingan muka dari PC, main game.
“Koq kayak dari kondangan, rapi banget?”
“Iya tuh!” jawabnya tetep enteng. “Temen SMA mereka ada yang nikah di Gedung Bimo Kotabaru.”
“Trus?”
“Apanya mbak?”
“Koq kamu nggak ikut?”
“Kemarin temennya Romeo ituh kan minta ditemenin. Romeo mau-mau aja asal aku ngebolehin. Ya… aku bolehin ajah!”
“Waaaa…. nggak boleh gitu, Dik!” mbak kosnya nyaris histeris.
“Lhaaa…. emang napa? Kan mereka dah ijin?” balas Juliet nggak kalah kagetnya tapi tetep aja innocent.
“Ya’e-lah! Bukan soal mereka dah ijin dan kamu emang ngebolehin. Ini soal harga dirimu Dik!”
Kali ini Juliet melongo, belum ngeh juga.
“Kalo temennya Kangmas Arjuna Romeo-mu minta dianter ngambil sampel bakteri di Kali Code, bolehlah. Kalo dia minta dikawal buat laporan ke polisi karena kecopetan, okelah. Lain soal, kalo pergi kondangan!!! Dua orang cowok-cewek yang dateng ke kondangan, di Jawa, di mata orang lain dianggap sebagai pasangan yang lebih dari sekedar ‘satu orang laki-laki bareng dengan satu orang perempuan’. Beginian nggak bisa disamain dengan ‘pendamping wisuda’ yang cuman tempelan. Waduhhh Dik-Dik!”
“Ooo, gitu ya Mbak, nggak tahu nih!” Juliet nyengir.
“Nah soal harga diri, bisa-bisa cewek itu juga udah nganggep dirimu tuh ‘nggak ada’. Mestinya kalian datang bertiga gitu kalo dia pengennya ditemenin. Toh, kalo itu resepsinya temen SMA, harusnya banyak stok temen cowok yang bisa diajak kondangan dong. Khawatirnya, kamu dianggap remeh!”
“Lha cowokku mau aja tuh,” kadar innocent Juliet belum abis-abis juga.
“Ya iyalah. Namanya cowok, keliatan ngegandeng cewek lain kan prestige, jewer aja dia! Sok baik tapi ngelaba!”
Juliet masih nyengir, manggut-manggut mulai (berusaha) ngerti. Ah, dikadalin gua!*
Fiksi
Terakhir aku menelponnya bulan lalu dan kemarin, kukira ia di Jakarta, ternyata lagi di Jambi. Seminggu sebelumnya aku juga baru saja mendarat dari Riau bareng Mas-ku. Melayat bibi, tepatnya adik ayah mertuaku.
Setelah panggilan telponku tak diangkat, dia kirim sms sebagai balasannya.
Hoiii, sory ga keangkat. Kmarin msh di bndara, Jambi. Skrg dah sampe Cengkareng.
Kuterima pesan pendeknya pagi tadi. Seketika kutelpon dia begitu deru motor Mas-ku menjauh.
“Hai,” salamku ragu-ragu yang segera kututupi dengan bertanya, “ngapain ke Jambi, audit ya? Masih di PWC kan?” tanyaku menyebut kantor akuntan publik kondang itu.
“Iya tapi cuma empat hari koq. Eh suaramu renyah banget, lagi seneng apaan neh?”
Uh, dia yang kusakiti berulang kali, bertahun-tahun, masih saja bisa mengenali rasa-hati dari suaraku.
Mulut ini sudah mau ngeles tapi tiba-tiba saja tercekat. Samar-samar, aku seperti membaui aroma tubuhnya. Khas. Tanpa parfum. Hanya sisa sabun yang tandas tersapu air sehabis mandi. Laki banget!
“Ah biasa. Tiap bangun pagi kan harus hepi biar semangat,” bakat akting yang terasah selama di Bandung menyelamatkanku dari gelagepan.
“Harus itu. Eh ada apa neng?”
“Nggak koq. Cuma pengen tahu kabarmu aja. Baik-baik kan?”
Sepersekian detik dia tak langsung menjawab.
“Absolutely, I’m so fine. Ah kau ini neng, menelponku untuk memastikan aku baik-baik saja kan, he-he-he?”
Aku tahu ia 100% mencandaiku. Tak ada sinis apalagi nyinyir. Kuyakin juga tak ada lagi perih di seringainya. Sebaliknya pedih masih saja menghujam hatiku, menukik deras dan sejak obrolan di meja makan tadi pagi, kini berujung cemas.
Mas-ku bilang, dua mingguan kedepan bakal banyak lembur karena akan ada audit tahunan. Audit rutin sih, biasalah. Yang bikin dadaku ngilu seperti dipalu: akuntan publiknya dari PWC!
Waduh mereka bisa ketemu dong.
Ah, Mas-ku kan nggak mengenali Andi.
Tahu kalo dia di PWC juga nggak.
Lagian, belum tentu dia yang mengaudit langsung.
Tapi kalau iya?*
Sunday, June 21, 2009
Sudut Jatinegara
Kuteruskan membaca artikel hasil download tadi sore di warnet.
Otak ini memang mesti istirahat. Bukannya dibawa tidur tapi malah melongok tulisan kawan di blog masing-masing dan catatan di FB. Gerutuan Tarli soal GM kubaca pertama kali lalu oleh-oleh Zen dari Taman Sari dan Gunung Agung.
Wah, kangen Jogja tenan ki!*
Wednesday, June 17, 2009
Gerimis Romantis!
Mas, di kantor lagi mati lampu hiks3 ujannya malu-malu, gerimis romantis…
Ah… gerimis romantis! Seketika kuterabas jendela kamar kos Kalimalang, tanpa ganti baju dan tetap bercelana pendek, di pertigaan Pasar Ciplak anganku meloncat menumpang Mikrolet 19. Ndak sampai 5 menit, aku sudah ganti moda dan segera terlena oleh kursi-kuris butut Mayasari Bakti P6 jurusan Kampung Rambutan-Grogol. Lepas dari Gedung MPR-DPR dan Manggala Wanabakti, aku berdiri bersiap turun.
“Mana?” tanya kernet lalu menebak, “Slipi?”
“Ya tapi mau terusan ke Kedoya!” tukasku yang bersaing dengan deru bayu dari arah selatan ketika bus melaju di atas flyover.
“Ohh, ntar turun Slipi, ganti M11 lalu naik Metromini 92 di pertigaan Relasi. Atau ikut aja sampe Grogol, naik 92 juga,” terang kernet layaknya Duta Tranportasi Jakarta 2009.
“Turun depan saja. Kalo naik 92 dari Grogol, ntar kelamaan!” kataku.
“Emang ‘napa buru-buru?”
“Menjemput cinta!”
***
Dendam!
Jaman berganti masa tapi Soeharto di neraka sana juga mesti tahu, kalo antek-antek Orba sampai sekarang masih saja cari muka. Bergaya pahlawan kesiangan sok Pancasilais taik kucing.
Ibu saya dulu PNS guru SD, kini sudah almarhum. Jaman ontran-ontran G30S, dalam obrolan antar teman sesama guru, Ibunda saya pernah nyeletuk:
“Wah, eRPeKAD kejam-kejam banget. Nangkepin orang trus nginjak-nginjak!” katanya merujuk tentara dari satuan RPKAD, kini Kopassus, yang ‘menjemput’ orang-orang yang dicurigai anggota PKI atau anggota organisasi yang berafilasi pada PKI seperti Gerwani dan BTI.
You know lah. Jaman segitu, seseorang bisa keciduk dan menghilang hanya gara-gara laporan sepihak. Yang terlapor bisa saja nggak ada sangkut pautnya dengan partai terlarang (oleh Orba) itu. Yang melapor pun tahu itu, tapi karena sentimen, iri dan dengki oleh banyak sebab seperti karir atau sengketa tanah, atau ingin menunjukkan kesetiaan pada negara (baca: Soeharto dan Orba), lantas cuma bermodal cangkem dan telunjuk jari sudah bisa mengirim tetangga atau kerabatnya sendiri ke bui. Pun dengan seseorang bajingan yang Ibunda sendiri tidak pernah memberitahu namanya pada saya. Yang pasti, antara orang itu dengan Ibunda saling kenal.
Dalam hitungan minggu, Ibunda saya dipanggil pihak keamanan. Yang jelas bukan polisi tapi militer yang bajunya ijo-ijo itu. Interograsi berjam-jam dan berulang kali meninggalkan kewajiban mengajar makin menyurukkan nama baiknya. Semua teman guru sudah mendengar kabar kalau Ibunda kena wajib lapor, istilahnya mel (dari bahasa Belanda: melden/melapor) dan menjadi bahan bisik-bisik karena ini isu sensitif dan tepat buat sekawanan manusia iblis yang suka bertepuk tangan di atas penderitaan orang lain.
Ikutan membela? Sama saja dengan bunuh diri. Seperti sang pelapor, jaman segitu panji-panji oportunis memang lagi-lagi mengangkasa. Siapa tahu naik pangkat jadi kelapa sekolah atau penilik, wow status priyayi pun pantas disandang!
Alhamdulillah, Ibunda saya secara defacto dan dejure bersih dari stempel keji itu. Sayang, noda sejarah telanjur membekas pada nama baiknya sebagai pribadi dan PNS. Lebih-lebih lagi, membebaninya seumur hidup. Keputusannya untuk pensiun dini pun tak lepas dari pengalaman pahitnya, beliau mengajukan pensiun dini dan dikabulkan pada usia 50 tahun ketika saya masih kelas 5 SD, sekitar tahun 1987-88.
Menurut penuturan kakak perempuan saya, Ibunda merasa status kepegawaiannya masih bisa diutak-atik oleh orang-orang yang dengki, maklum tahun itu Soeharto dan Orde Barunya sedang sakti-saktinya. Untuk sekawanan penjilat, membuat orang lain kelimpungan mengurus status bersih diri secara politik, mungkin memuaskan. Siapa tahu masih laku buat naik jabatan atau mempererat perkawanan dengan aparat. Akhirnya, mumpung sedang tidak ada gejolak dan pas menjelang usia ke 50, Ibunda mengajukan pensiun dini. Syukurlah, tidak ada masalah.
Jangan dendam!
Untuk mengisi masa pensiun, Ibunda makin aktif di kegiatan kampung: pengajian, arisan, PKK, Dasawisma dan organisasi persatuan pensiunan PNS, namanya saya lupa. Daya jelajahnya pun meluas, sering beliau ikut mengaji hingga masjid kampung sebelah. Teman-temannya seabrek-abrek sampai-sampai orang bilang: kalo ndak ada Bu Nur, arisannya sepi. Atau, Bu Nur mesti disamperin biar pengajiannya rame!
Ketika Ibunda meninggal dengan tenang pada 1 Februari 2003, di tengah kesedihan mendalam, saya merasa terharu sekali. Orang-orang yang melayat banyak sekali, sebagian besar tidak saya kenal karena mereka datang dari kampung-kampung sebelah, para jamaah beberapa masjid tempat Ibunda mengaji dan juga teman-teman Ibunda sesama pensiunan PNS. Masih melekat di ingatan, Ibunda selalu berpesan agar tiap Sabtu malam, selarut apapun, saya harus pulang karena subuh keesokan harinya beliau minta diantar ke masjid di Jalan Parangtritis selatan kampus Stikers, untuk pengajian Ahad pagi.
Menyoal banyaknya pelayat, kakak perempuan menghibur saya usai pemakaman: “Tadi lihat kan, yang layat sebegitu banyak. Itu jadi tanda kalau Ibunda memang dicintai banyak orang. Ibunda pasti tenang disana dan kamu juga harus rela. Ikhlas!” kata kakak. Waktu itu dia meneruskan, “Ibunda pernah pesen buat aku dan anak-anak yang lain: jangan dendam! Apapun keadaan Ibunda di masa lalu, jangan dendam karena Ibunda sudah merelakan semua.” Aku mengangguk tanda mengerti.
Mereka mengusik lagi…
Tapi, setan Orde Baru masih saja merasa eksis di jaman (yang katanya reformasi) ini di mana mereka seharusnya menyembunyikan muka di balik pantat mereka sendiri. Sekian bulan lalu, 11 tahun setelah Orba tumbang, hampir 2 tahun setelah Soeharto berkalang tanah, kakak perempuan kedua saya yang juga PNS guru SD membawa ‘oleh-oleh’ dari tempatnya mengajar: ada seorang guru senior yang bertamu di sekolahnya. Si guru senior itu bilang pada kakak saya.
“Kamu anaknya Bu Nur kan (ia kemudian menyebut nama lengkap Ibunda)?”
“Inggih Pak,” jawab kakak dengan sopan menilik usia si penanya seumuran dengan Bapak saya.
“Aku sebarakan (sebaya) dengan Ibu dan Bapakmu,” paparnya dan lanjutnya tanpa tedeng aling-aling, tanpa basa-basi:
“Aku tahu persis Ibumu dulu ‘terlibat’!” katanya yakin.
‘Terlibat’ adalah istilah khas untuk menyebut orang-orang yang tersangkut paut dengan organisasi partai terlarang (oleh Orba) itu.
Sebagai salah satu pilar penegak kehormatan keluarga, kakak saya menjawab.
“Itu fitnah. Ibu tidak ada kaitannya dengan hal itu. Dan sudah terbukti secara hukum kalau Ibu memang bersih!” jawab kakak.
Si guru senior itu menjawab dalam diam lalu melengos. Ada pesan intimidasi tersirat dari kata-kata dan ekspresinya, terkirim pada kakak saya mengingat kakak juga seoang PNS. Apapun fakta hukum, sosial dan politik, seolah si guru senior itu tak peduli, baginya sekali stigma politik itu menempel, selamanya akan tetap berlaku. Pun bagi anak-anaknya.
Ketika menuturkan peristiwa itu pada saya dan kakak-kakak yang lain, kakak saya bercerita dengan tenang. Datar. Tanpa ekspresi gusar. Memang begitulah seharusnya karena kami yakin Sang Hakim Agung yang akan membalas sang penjilat, pefitnah dan para tukang tepuk tangan.
Saya sendiri sudah berjanji untuk tidak mendendam. Biarlah hukuman dari Yang Diatas mendera mereka di saat tawa mereka berderai, ketika wajah bengis nan sinis meringis dan saat tepuk tangan dalam hati mereka merayakan fitnah yang menimpa Ibunda dan kami sebagai anak-anaknya.
Oya, di mata saya, mereka itu para fatalis Orba, fakir akan empati, menghamba pada berhala stabilitas masa keemasan Soeharto yang sebenarnya semu serta miskin soal sejarah dalam konteks sosial politik Orba.
Zaman berganti rezim, Pemilu Capres kurang dari sebulan lagi, dan penjilat-penjilat baru pun lahir. *GBU, hati-hati di jalan.
Sunday, June 14, 2009
Blog Contest!!!
Unit Notebook Acer Aspire
Unit Netbook Advan A1N70T
Unit Camera Digital Shitel DB702C
Unit Modem HSDPA Prolink PHS100
Unit USB Flash Disk Kingston DT-G2 Kapasitas 8GB
Unit USB Flash Disk Kingston DT-G2 Kapasitas 4GB
Lengkapnya, klik aje:
http://mareasspy.blogspot.com/2009/06/blog-contest.html
Fiksi
Bulan lalu aku ada selebrasi kecil-kecilan, bukan ulang tahun atau ganti HP BlackBerry Storm. Atau netbook Vaio yang bisa masuk kantong celana kargo. Ahh… ini bukan soal apa yang dirayakan. Untuk siapa selebrasi itulah yang membuatku begitu meledak-meleduk untuk segera bercerita padamu ^_^
# Pertama
Aku mengenal lelaki itu lima-enam tahun lalu, ketika masih kuliah di Solo. Dia teman kuliah seangkatan di FISIP namun beda jurusan. Sekilas Omi-namanya-, he's ordinary man. Boleh dibilang gampang bergaul meski nggak terlalu supel. Kalau kuingat-ingat lagi, caranya ngomong usai mata kuliah umum yang diikuti anak-anak jurusan yang berbeda, sebenarnya biasa saja. Apa sih obrolan antar cowok selain sepak bola dan politik? Dengan cewek pun juga tak beranjak jauh dari mata kuliah, kelompok praktikum penelitian atau celaan dan godaan. Diskusi menjurus serius juga tidak akan berlangsung lama kecuali mood anak-anak lagi bagus. Yang bertahan agak lama mungkin karena memang lagi penasaran beretorika.
Pun Omi, seingatku dia nggak begitu tertarik ngalor-ngidul menyoal Mega, Gus Dur, SBY, militer dan IMF apalagi menarik urat lehernya untuk menaikkan intonasi demi mendominasi dalam perdebatan di selasar fakultas. Dia juga tidak banyak malang melintang di fakultas, usai kuliah Omi jarang terlihat berlama-lama nongkrong. Kalau tidak ke gelanggang mahasiswa ya paling-paling menggelandang ke kantin fakultas sastra atau ekonomi di sebelah.
Aku, sumpah, cukup obyektif menilai orang. Dalam diskusi di kelas atau obrolan di taman kampus, ia lebih memilih mengikuti arus saja. Jarang sekali menimpali dengan kritis sebagai pertanda awal ia bukan bagian dari smart list. Kutipan-kutipannya pun kurang menghentak dibanding jagoan-jagoan debat sesama angkatan. Common sense lah!
Soal pribadinya, juga tak terbilang istimewa. Malah, buat kami mahasiswi cewek yang baru setahun menanggalkan seragam abu-abu, masih banyak cowok yang secara visual dan verbal jauh lebih menarik. Cakep dan kelihatan cerdas atau manis dan supel. Ada juga yang pendiam namun cubby menggemaskan dengan lesung pipit. Omi, jelas bukan bagian dari itu semua.
Pernah aku mendengar ocehannya di depan perpustakaan menjelang ujian semester pertama. Mungkin mood ku yang lagi buyar gara-gara PMS atau memang teriknya musim kemarau yang bikin sensi, aku merasa gaya bicara Omi aneh. Aku sendiri duduk bareng 2-3 teman cewekku di bangku taman yang berbentuk tapal kuda, membelakangi Omi dan beberapa teman cowok dengan hanya seorang cewek diantara mereka. Sambil mengobrol yang diselingi ketawa-ketiwi, kudengar Omi bercanda nggak penting dan menurut referensi humorku yang berlatar Melayu, berasa aneh. Kalo orang Jawa bilangnya: wagu.
”Eh, Nadin!” celetuknya pada cewek disampingnya.
”Geser dikit ke sono lah,” katanya sok serius, sambil menjentikkan jarinya.
”Lha opo to rek? Kok kayaknya risih sama aku?” jawab Nadin sambil reflek memiringkan sisi kanan tubuhnya, menjauhkan badan dari Omi tapi pantatnya tidak beranjak dari tempat semula.
”Nggak sih. Malah nggak enak sama kamu, kalau-kalau penyakit bawaanku kambuh!” kata Omi polos.
Semua temen-temen nongkrong langsung menatapnya penasaran. Alis Nadin mengerenyit penuh selidik, ada mimik separuh cemas, setengah jijik di matanya. Mau nggak mau telingaku mengikuti obrolan dari arah punggungku itu.
”Aku dari tadi nahan gatal-gatal eksim dan sesak karena jantungan,” kata Omi merendahkan intonasinya, ”...karena deket sama diajeng ayu dan wangi kayak kamu.”
Sejurus Omi cengengesan, meledaklah tawa dan keluarlah suara-suara khas Indian dan binatang dari mulut mereka: klu-klu-klu-klu-kluuu... guk- guk- guk- guukkk... wakakak- wakakak- wakakak-kak-kak-kakkk....!!! Dasar cewek badung, Nadin nggak mau kalah terbahak. Ada lega di ledakan tawanya.
Aneh! Batinku merutuk candaan mereka, terlebih guyonan Omi. Apaan seh, mending Srimulat di Indosiar, kataku dalam hati. Sial, dua temen ngobrolku malah ikut tersenyum malu-malu.
Selang beberapa kali mendengar candaan Omi di waktu lain, aku merasa mesti loading. Nggak ngeh. Mesti mikir dan berujung: apaan seh!? Aku nggak cocok dengan gayanya. Pokoknya aneh! Saat mendengar ocehannya, telingaku pun mengirim sinyal janggal ke otakku. Demi mendapat laporan dari indera dengar itu, sikapku padanya pun biasa saja untuk tidak mengatakan mengambil jarak.
Mulutnya memang yang membuatku tidak banyak memberi perhatian padanya. Yap, meski aku berani mengaku obyektif, sebenarnya aku juga percaya dengan intuisi sebagai perempuan. Menurutku, dia terlalu gombal, doyan ngobral candaan yang menjurus buat menggoda para betina kampus. Pengumbar rayuan! Cuma, entah mengapa ia nyaris tidak pernah melakukannya padaku, mungkin karena aku sudah pasang tampang judes duluan. Pokoknya, aku tahu banget kelakuannya itu. Eh, bagaimana bisa aku lebih mengenalnya sedangkan aku tadi bilang menjaga jarak? Nah, ada ceritanya nih.
Keluyuran Omi ke sudut-sudut kampus ternyata beroleh seseorang. Aku mengetahuinya sendiri lha wong cewek itu tetangga kosku di kampung Prenjak. Kosku selisih satu rumah dari ujung gang sedangkan dia lebih masuk ke dalam ke arah balai warga RW 06. Sering bersua ketika berangkat dan pulang, membuat kami berkenalan dengan sendirinya. Namanya Vita, sapaan akrab dari Alvita Damayanti. “Penuh gairah hidup!” katanya renyah memapar makna latin Alvita, suatu ketika. Dia bukan dari FISIP tapi anak akuntansi FE. Manis luar dalam karena nggak jaim dan suka bercanda. Matanya seperti agak sipit-sipitnya orang Jawa dengan tahi lalat kecil di dagu, seperti ornamen yang pas bagi bibir mungilnya.
Hingga satu sore dengan semburat matahari yang condong ke arah kiblat, pertama kali aku melihat Omi berjalan kaki melintas di gang Prenjak, tepat di bawah kamarku yang terletak di lantai dua. Berjalan lurus tak sedikit pun menoleh meski di kanan kiri cewek-cewek kos berdaster atau bercelana pendek duduk-duduk menikmati udara segar selepas ashar. Tanpa pretensi karena aku memang mengenalnya, mataku mengikuti punggungnya. Meskipun rimbun pohon cherry membuatku kehilangan jejaknya, kukira-kira sendiri, pasti ia menuju ke kos Vita atau rumah sebelahnya yang berpagar teh-tehan. Entah siapa yang ia temui, bisa jadi Vita atau yang lain. Nggak pentinglah, batinku sambil meneruskan obrolan dengan teman sekos di teras lantai atas.
# Kedua
Selepas Duta SO7 dengan Dan-nya mengiba-iba dari speaker PC kamar sebelah, sudut mata kananku menangkap sosok yang sepertinya kukenal. Olala, Omi muncul dari balik rimbunnya cherry. Kali ini tidak sendiri, setengah langkah di belakangnya mengayun langkah-langkah ringan cewek yang juga kukenal. Olala lagi, rupanya Vita-lah pasangan kencan cowok ganjen Vita sore-sore. Kali ini aku jujur deh, mereka tampak serasi, Omi dengan celana gunung selutut dan Vita dengan celana serupa yang, tentu saja, lebih girly. Kaos oblong mereka sama-sama abu-abu, cuma salah satu lebih darky dibanding pasangannya. Rambut sebahu Vita yang berbando biru seperti melonjak-lonjak seolah mengimbangi keriangan hatinya. Sedangkan Omi sesekali cengar-cengir sembari ngobrol dengan Vita. Ngobrol? Hah, tepatnya ngegombal!
Pas di depan rumah kosku, Vita mendongak ke atas. Tangan kirinya melambai ke arahku tanpa maksud memamerkan tangan kanannya yang bergandengan dengan Omi. ”Hai May!” panggilnya setengah berteriak. Aku membalas dengan sahutan serupa sambil lebih melongok ke bawah, memastikan ia tahu aku membalas panggilannya. Aku sempat mengira, Omi bakal sedikit kaget kalau ’ceweknya’ denganku sudah saling kenal. Ah, dasar buaya! Rutukku melihat ekspresi sok cool-nya.
”Kosmu di sini May?” ia malah bertanya, aku cuma mengangguk.
Seperti ketika Omi datang, aku mengikuti punggung mereka berdua sampai menghilang di ujung gang ketika berbelok ke arah jalan Mijil.
Kelar kuliah jam ke dua, kira-kira jam setengah 12, aku disamperin Vita ketika bergegas mengisi perut ke kantin sastra. Ia kebetulan hendak mengambil motornya yang berarti satu jalan denganku karena area parkir motor FE di belakang kantin sastra.
”Pulang atau makan, May?” tanyanya seolah tahu arah yang kutuju.
”Ya makanlah. Statistik bilang, 97,4% anak Fisip yang numpang lewat FE tujuannya pasti kantin Sastra he-he-he,” jawabku ber polling-ria. Vita menjawab dengan tertawa.
”Kamu emang mau kemana?” tanyaku.
”Ke Mirota. Cari jam weker,” tukasnya.
”Pake handphone saja, taruh deket kepala, bangun deh!” kataku memberi garansi.
”Bukan buat aku May. Buat koncomu kae lho...,” paparnya bercanda.
”Buat si ... Yang kemarin lewat kosku kan?” aku nyaris menebak tapi kembali kutahan, takut kalau-kalau salah orang.
”Siapa lagi to May! Dia sering telat berangkat kuliah sih, tapi anehnya kalau janjian sama aku koq bisa tepat waktu ya. Malah dia yang sering nunggu duluan,” cericit May setengah curhat.
”Biasalah Vit. Kalau lagi jadian ya gitu deh, on time,” timpalku. Aku sebenarnya tengah memancingnya karena pengin tahu sudah berapa lama mereka jadian.
”Ahh, dari dulu juga gitu!” jawabnya pendek.
Eitt, salah deh! Batinku mengaku keliru. BTW, jadiannya sejak kapan ya? Kalau kami belum sampai di pintu masuk kantin, pasti aku bertanya langsung.
”Bye May,” kata Vita menepuk lenganku penanda berpisah.
”Bye Vit,” sahutku sambil menuju ke tempat duduk beberapa temenku yang sudah duluan makan.
* * *
Seperti anak-anak tahun pertama, masuk kuliah dari pagi hingga sore membuatku jarang kumpul-kumpul dengan teman seangkatan. Selain karena jadwal kuliah, aku memang sengaja memaksimalkan jatah SKS-ku. Ini berlanjut terus sampai semester-semester berikutnya, apalagi aku juga mengambil les bahasa Inggris di EF 3 kali seminggu di cabang Slamet Riyadi. Kejar setoran, kata ayahku awal semester kemarin via SLJJ. Yup, kami sekeluarga sampai 2 tahun kedepan memang mesti berhitung ketika ingin mengumbar kartu debit di mall.
Aku dan kedua kakak laki-lakiku lahir di Pelalawan, Riau. Sedari dalam kandungan, kami dibesarkan oleh tandan-tandan buah kelapa sawit. Tempat ketiga anak Pak Darmin dan Bu Mulik ini belajar berjalan pun di bawah pelepah-pelepah tanaman rakus air ini. Keringat kami ketika berlari, petak umpet, dan naik sepeda menetes di sepanjang jalan desa. Pun, beraian air mata karena jatuh terjerebab juga serta merta terserap tanah berbatu nan kering.
Mulai 2 tahun lalu, sebagian kebun bapak dari total 50 kapling alias 100 ha, sedang diremajakan, berganti dengan tunas-tunas sawit baru. Meski cuma seperempat yang diremajakan, rupanya menguras tabungan keluarga. ”Aku sengaja pake benih yang bener meski banyak ditawari yang murahan. Kalo nggak ngambil dari Socfin, BSM ya PPKS. Harga urea makin gila. Untung harga TBS masih baik,” papar ayahku ketika ketiga anaknya pulang mudik lebaran kemarin.
Kepada anak-anaknya, ayah bercerita soal keuangan keluarga di ruang tengah selepas isya.
”Bukan berarti masalah,” katanya, ”tapi biar kalian ngerti kalau setiap permintaan kalian nggak bisa aku sama mamakmu penuhi.”
”Tapi, tenang sajalah, kalian nggak usah mikirin. Pokoknya kalo buat kuliah, makan dan jajan di Jawa, kiriman dari mamakmu masih cukuplah,” katanya menyombong. Matanya berbinar lebar pada Mamak yang ikutan nyengir.
”Kalian tenang-tenang saja di Jawa. Pokoknya, jangan berani-beraninya minta HP baru. Sekarang ituh, mending urea daripada Nokia! Oya, rawat baik-baik komputer kalian. Pokoknya, kuliah yang bener dan jangan macem-macem,” kata Mamak yang sedari tadi diam. Ibunda kami tercinta ini memang lebih galak dari ayah. Kami bertiga cengengesan. Roni, sang kakak sulung, mengacungkan dua jarinya di bawah meja pertanda menang. Kami sebelumnya memang bertaruh, berapa kali nanti Mamak akan menyebut kata ’pokoknya’.
Konsentrasi pada kuliah juga membuatku tidak tertarik pacaran. Toh, semua bisa aku lakukan sendiri. Ganti lampu kamar bahkan nyambung kabel listrik pun bisa, tanpa harus minta tolong induk semangku. Kalau harus pulang malam dari warnet, kakakku Adon yang kosnya berjarak 5 menit dari kosku dengan senang hati menjemput adik bungsu tersayang ini.
Menghabiskan malam minggu di kos bareng teman-teman sesama jomblo pun sudah jadi hal biasa bagiku. Ada sih pengen pacaran tapi entah kenapa hatiku belum tergerak menerima pinangan beberapa teman cowok yang tepe-tepe dan pedekate. Sempat kepikiran sih, kalaupun aku pacaran nantinya toh hanya sekedar pacaran having fun yang minim komitmen atau sekedar teknis dan demi status. Asal ada yang mengantar jemput, jadilah! Bisa-bisa, meminjam istilah temanku Esa, pacaran model PBSI: Pacar Bukan, Sopir Iya! ^_^
* * *
# Ketiga
Sumpah aku bukan anti-cowok sampai-sampai menjelang KKN aku belum pernah pacaran. Orang tua pun membolehkan aku pacaran dengan sekian deret syarat ini itu khas ortu yang anaknya kuliah di perantauan. ”Pokoknya, kenalin pacarmu dengan kakakmu Adon biar saling menjaga,” pesan ’pokoknya’ Mamak suatu ketika. Mungkin saja, menurutku sendiri, ini lebih karena referensi soal cowok yang kudapat terbilang buruk: males-malesan, ngegelek, nyontek, atau main PS mulu bareng anak kampung yang masih SD-SMP, wiiiii...
Yang kelakuannya kegantengan juga bejibun. Omi salah satunya. Ini kulihat sendiri, meski dia udah jalan bareng dengan Vita, masih saja mengumbar candaan yang bisa bikin cewek-cewek klepek-klepek. Okelah dia nggak selingkuh tapi bagiku itu sama saja sudah ngasih hati. Sudah ketahuan deh, komitmennya nggak bakal bisa dipegang.
Ada juga sih yang pas dengan seleraku: macho kayak anak-anak mapala dan atletis seperti yang ikut UKM Inkai. Sayangnya, aku pernah melihat temen kosku berantem dengan pacarnya yang pecinta alam. Atau, temen kuliahku sering ditinggal cowoknya karena ikut pemusatan latihan buat POM. Pekan Olahraga Mahasiswa. Aku yakin bukan juga karena seleraku yang terlalu rendah atau malah ketinggian. Bisa juga karena bawaanku yang cenderung mandiri, i can do anything by myself or my big brother can make it done qe3.
Buat membuang waktu daripada termenung atau kebanyakan nonton DVD jorok (cewek juga doyan lho ^_^), aku lebih sering nongkrong di depan PC. Jaman segitu populasi laptop belum menjamur seperti sekarang, standar pengisi kamar kamar kita masih komputer meja itu. Pentium IV dengan DVD-RW yang semasa itu sudah wah karena rata-rata user lainnya sudah cukup dengan DVD Combo. Aku beli dalam kondisi gress bareng komputernya Kak Adon.
Selain buat menulis makalah, proposal dan skripsi, PC juga aku pakai buat main game. Need for Speed, kalau lagi punya waktu banyak atau game Flash kalau lagi nunggu antrian kamar mandi.
Utilitas PC lumayan bergeser ketika aku mulai mengerjakan skripsi. Awalnya, aku iseng-iseng menemani temanku Sekar, anak Prodi Komunikasi, ikut mata kuliah Komunikasi Massa yang ia ulang (!). Dosennya menarik dan lebih membuatku antusias karena dia menghadirkan seorang dosen teknik kimia yang rajin menulis esai di koran dan majalah. Aku lupa namanya. Meski orang eksak, tapi, kata dosennya Sekar, ”Tema tulisannya melintasi batas disiplin ilmunya sendiri. Soal teknik sudah pasti beliau ini jago tapi tema eksak seperti ini bisa ia tarik ke sosial, politik bahkan psikologi.”
”Lebih ke soal bagaimana mendekatkan disiplin ilmu kita pada masyarakat. Isu yang mengawang-awang kita create menjadi populis,” kata dosen teknik itu menimpali.
Sebenarnya, pak eh mas dosen Teknik Kimia itu memaparkan pengaruh media massa terhadap isu-isu sensitif di masyarakat seperti isu pembangunan PLTN(uklir) Gunung Muria, sampah-sampah impor yang mampir ke Batam dan lain-lain. Karena aku bukan anak komunikasi, aku malah ndak memperhatikan materi utama perkuliahan. Sebaliknya, aku malah seperti tertampar sebagai anak Fisip karena meski secara keilmuan ada kedekatan dengan media massa tapi belum tergerak untuk menulis. Pendeknya aku termotivasi!
Pulang kuliah aku membeli beberapa koran harian, Bengawan Pos, Solo Pos dan Kompas. Masih terngiang bocoran dari mas dosen soal kiat menulis bagi penulis pemula seperti aku yang masih mahasiswa waktu sesi tanya jawab. ”Bisa mulai dari rubrik-rubrik opini yang diperuntukkan buat mahasiswa. Sebagian besar koran punya rubrik ini, karena bagi media massa ini salah satunya strategi merangkul pembaca dari kalangan muda dan kampus,” papar mas dosen tadi siang.
Aku ingat persis, tulisan yang aku buat ada 2 biji: satu artikel tentang bantaran kali Bengawan Solo untuk Solo Pos dan artikel tanggapan untuk rubrik Akademia di Kompas edisi Jateng. Yang pertama aku selesaikan lumayan lama, dua jam. Itupun sebenarnya menulis ulang dari makalah tugas mata kuliah Dampak Kebijakan Pembangunan, kebetulan juga menyitir soal kali terpanjang di Jawa itu. Yang untuk Kompas, nggak butuh lama sekitar 45 menit. Panjangnya hanya 5 alinea. Setelah aku print di kamar sebelah, segera kukirim lewat pos esok harinya.
Hari itu hari Jumat, jadi aku harus menunggu beberapa hari ke depan untuk melihat apakah tulisanku dimuat atau nggak. Selasa untuk Solo Pos dan Kamis untuk Kompas.
Hari penantian pertama akhirnya tiba juga. Aku beli Solo Pos pagi-pagi. Di kios koran, jemariku langsung mencari halaman 6. Berita utama di halaman pertama langsung kulewati, bukan prioritas buat saat ini. Nah ini dia, rubrik Dari Kampus di pojok kanan atas. Industri dan Bantaran Bengawan Solo. Ini judul artikelku! Hoii...it’s my milestone qe3
Sayang, artikel tanggapanku untuk Kompas tidak dimuat. Kamis siang kutengok Kompas di perpusatakaan, ternyata yang dimuat kiriman anak Dian Nuswantoro, Semarang dan IAIN (kini UIN) Kalijaga, Jogja. Sedikit kecewa sih tapi nggak apa-apa karena Solo Pos terbitan hari Selasa lalu telah membuat minggu ini berasa minggu-nya May. Apalagi aku boleh sedikit bangga. Pasalnya, seperti karya tulis anak-anak Fisip yang tayang di media cetak, staf akademik juga menempel kliping artikelku di papan informasi fakultas. Wii... lumayanlah buat seorang May yang bukan aktivis kelompok diskusi, bukan pula anak pers mahasiswa atau senat.
# Keempat
Dari honor pertamaku itu, kubeli buku Mengarang itu Gampang-nya Arswendo. Buku yang nyaris menjadi kitab bagi yang mulai belajar menulis itu kulahap cuma dalam dua hari. Setelah tuntas, aku tidak segera menulis artikel selanjutnya. Jadwal konsultasi dengan dosen pembimbing yang dipadatkan, karena ia nyambi di lembaga riset sosial politik, membuatku tak punya waktu banyak. Aku lebih banyak membaca buku-buku referensi menulis, salah satunya kubaca sampai 2 kali: Seandainya Saya Wartawan Tempo.
”Bacalah buku itu, katanya bagus buat belajar menulis esai,” kata temanku, Ajeng, anak Komunikasi, memberi referensi. Dia sendiri belum pernah menyentuh buku terbitan tahun 96 itu. Yang ia ingat, buku itu disebut dalam daftar acuan diktat jurnalistik.
Sebulan kemudian aku baru menulis artikel lagi dan mulai berani mencoba rubrik di luar yang dikhususkan buat mahasiswa. Artinya, aku mesti bersaing dengan penulis umum. Rubrik Opini jadi medan berikutnya langsung dimuat di media lokal kelompok Jawa Pos, namanya lupa. Menyusul 2 minggu berikutnya, Fadhilah Jumat-nya Bernas Jogja memuat artikelku tentang Ukhuwah Islamiyah. Resensi buku dan film baru kucoba setelah bulan ketiga sejak artikel pertama di Solo Pos itu, dimuat di Sindo dan Suara Merdeka.
Mungkin seperti penulis lainnya, banyak juga artikelku yang mental, tak dimuat. Tunggu punya tunggu, kalau tak ada kabar biasanya aku kirim ke media lain selang sebulan dua bulan. Untunglah tidak pernah ada pemuatan dobel, kalau sampai terjadi bisa-bisa dikomplain oleh pembaca lainnya atau bahkan korannya langsung. Black-list jadi ganjaran. Tulisanku yang dimuat di Kompas Jateng sebenarnya artikel yang nggak dimuat di koran Semarang. Aku masih ingat, itu kukirim setelah aku perbaiki dengan data sekunder dan sedikit kutipan, kalau tidak salah dari Nurcholis Madjid. Panjangnya bertambah 1/3 dari semula.
Dari menulis di beberapa koran itu pula, secara tidak langsung, aku kembali bertemu dengan Omi. Ceritanya, aku diundang oleh Kompas ikut acara gathering Forum Penulis Kompas di Hotel Shantika, Jogja. Di situ aku baru tahu kalau Omi juga penulis lepas, bedanya dia lebih banyak menulis resensi buku dan menjadi kontributor freelance. Karena masuk ke lingkungan yang baru, aku membuang kikuk dengan lebih banyak mengobrol dengan Omi. Ada juga sih satu dua dosenku tapi tentu saja ada segan.
Di acara itu pula aku bisa lebih banyak mengenal komunitas penulis di Jogja dan Jawa Tengah, itupun Omi yang mengenalkan. Dia jadi guide sekaligus juru bicara karena aku masih saja kaku berbaur dengan orang-orang yang sebelumnya hanya kukenal lewat tulisan mereka di koran sekaligus kujadikan mentor. Meski sempat kikuk, aku merasa senang bisa ikut acara seperti ini. Yang paling kurasakan, makin pede dan punya banyak kenalan baru.
Aku juga respek dengan Omi yang rajin menarik tanganku kesana kemari nyamperin teman-temannya. Mungkin dia tahu dari ekspresi bingung dan caraku berdiri yang terus bergeming sejak pertama kali datang. Satu hal lagi yang membuatku makin respek dengannya adalah cara memperkenalkan diriku.
”Ini May. Mayda Rahmani, temenku anak UNS juga. Soal Solo, dia juaranya!” kata Omi. Lebay hiperbolik dah, tapi aku senang-senang saja, sedikit tersanjung sih iya. Dasar perempuan!
Pulang ke Solo, kami pulang bareng naik motor. Seingatku, motor Honda Legenda ini mirip motor Vita atau memang motornya Vita. Berarti awet juga pacaran mereka, pikirku. Aku mau iseng bertanya tapi tidak jadi karena selama ini aku nggak begitu akrab dengan Omi. Bahkan dulu sempat menjaga jarak karena persepsiku yang kurang baik tentang pribadinya. Baru hari itu saja mulai dekat. Mulai dekat? Hah, aku baru sadar kalau sekat yang kupasang pelan-pelan luruh.
* * *
Setelah acara di Jogja itu, aku makin banyak ’keluar’. Jika sebelumnya lebih banyak membaca buku dan berkutat dengan PC di kamar, selanjutnya aku sering nongkrong di luar rumah. Lebih seringnya ke acara diskusi tematik bikinan lembaga studi budaya dan sosial politik atau besutan koran-koran di Solo. Kadang juga nimbrung di acaranya kelompok penulis seperti FLP dan Komunitas Kamisan. Awalnya datang karena undangan yang dititipkan pada Omi, hari-hari berikutnya undangan mampir langsung ke HP via sms.
Aku juga sudah tidak kikuk lagi kalau ikut acara-acara seperti itu walau bukan berarti jadi peserta yang aktif. Mungkin aku masuk jenis perenung, irit bicara. Katanya Omi waktu di Radya Pustaka, ”Kamu itu kayak gong, baru bunyi kalau dipukul itupun sekali saja. Setelah itu senyap he-he-he.”
Memang sih, aku lebih banyak jadi pendengar. Mungkin bawaan persentase introvert ku lebih banyak dari pada sisi ekstrovert. Kalau pun ngomong lebih seringnya dalam bentuk pertanyaan. Sebenarnya selama diskusi, aku mengendapkan substansi presentasi para pembicara. Lalu sepulang dari diskusi, malam hari atau besok paginya aku merekonstruksi ulang atau menggunakan materi diskusi buat menulis artikel dari sudut pandang yang lain.
Aku juga jarang mendiskusikan hasil tulisanku dengan teman yang lain tapi entah mengapa jarang sekali kulakukan. Paling-paling lewat email dengan redaktur desk opini yang jawabannya pendek-pendek. Pernah juga Omi sekali dua kali memberi komentar, lagi-lagi lewat email.
Kami jarang ketemu lagi apalagi masing-masing sibuk dengan ujian skripsi. Dia juga sudah tidak lagi terlihat lewat depan kosku karena Vita sudah lulus duluan dan kerja di Chevron, kalau nggak salah di Balikpapan.
# Kelima
Juni 2007 aku lulus ujian skripsi dan diwisuda bulan Agustus. Bulan itu juga aku pindah ke Jakarta karena diterima bekerja jadi MT alias Management Trainee di Bank Mandiri. ”Calon direktur bank deh!” ledek kakakku Adon via testimoni di FS dari Manado. Ia kini bekerja di BCA, juga berawal dari menjadi MT.
Dua bulan ternyata sudah terlalu lama buatku bekerja dikepung dinding beton dan melahap sarapan berupa angka serta tabel. Aku serta merta pindah kerja begitu lamaranku di KPG diterima: asisten editor. Meski nggak pernah bermimpi bekerja pada perusahaan penerbitan, aku cepat beradaptasi dan bisa enjoy. Buktinya, sampai sekarang betah bekerja.
Waktu Mamak ke Jakarta, tepat setelah setahun bekerja di KPG, ia bertanya terus soal detil pekerjaanku.
”Mriksa tulisan orang, Mak,” jawabku.
”Tulisannya aja? Ketemu orangnya juga nggak?” repetnya.
”Ya iyalah Mak. Malah sering buat diskusi. Ngobrolin tulisannya.”
”Kayak Omm Jani ya, yang kerja di Tempo? Sering pulang malam juga ya, nginep di kantor?” tanyanya menunjuk adik Mamak yang jadi korektor.
”Ikut jam kerja aja Mak tapi kerjaan bisa dibawa ke rumah. Di kasih laptop sama kantor tuh.”
”Lah kerja terus, kapan bisa ketemu temen kalo gitu,” kata Mamak sambil berlalu menuju teras.
Celetukan Mamak seperti melecutku untuk memberi kesempatan lebih bagi diriku sendiri hang-out bareng teman. Ketemuan di Facebook jelas nggak bisa menandingi temu darat di pasar becek sekalipun. Yup, aku harus keluar rumah. Mamak tahu persis si bungsu cantik ini cenderung jadi anak rumahan: betah di sarang, ogah terbang.
Kuberitahu Mamak sore itu juga, ”Minggu depan aku ada ketemuan di TIM, Mak. Bareng anak-anak UNS yang kerja di Jakarta.”
”Baguslah May,” katanya, ”Eh kapan tuh, masih minggu depan?”
”Hah, enakan waktu di Solo. Tinggal jalan dikit sudah ketemu teman. Atau balik saja ke Pelalawan saja kau, belok ke rumah tetangga sudah bisa nongkrong seharian he-he-he,” katanya meledek. ”Repot juga hidup di Jakarta!”
Aku tersenyum kecut sambil menggelanyut di bahunya.
”Siapa pacarmu May? Nggak punya juga ya,” tanya Mamak tiba-tiba setelah lama terdiam.
”Nggak punya Mak.”
”Adon cerita dikit-dikit soal kamu. Kalau orangnya baik, terima sajalah. Kalo belum pengen kau kenalkan sama Mamakmu sekarang, nggak apa-apa,” kata-kata Mamak seperti berondongan pelor. Dia sudah tahu rupanya!
* * * TbC, 2 b cntnd
Hari Pas Foto…
Bermula dari Sri Lestari 'menemukanku', yang kemudian mempertemukanku ke Winarto Widadi dan kemudian berlanjut hingga Indra Darmawan, Mangku, Muslikhin, Niluh Ratri Sonya, Ari Sukowati dan Hendardi serta Anita… yang kini menjadi sepasang suami istri. Kami saling menemukan dan bertemu di jejaring Facebook, yang bagi sebagian orang sudah menjadi teman sarapan atau ngopi karena kini telah jamak ber-FB untuk membuka pagi. Mereka teman SMA-ku dan kini usiaku sudah 32 tahun, fiuhh… 14 tahunan lewat dan tiba-tiba tubuhku melayang mengambang ke hari itu, hari pas foto!
Medio 1995, jelang siang sekitar pukul 10, di dekat ruang guru. Masing-masing murid kelas 3 SMAN 7 Jogja mendapat giliran dipotret pas foto untuk keperluan akhir tahun: tanda peserta ujian akhir, ijazah dan macem-macem. Kelas kami, satu-satunya kelas IPS, dulu disebut A3 (kayak kwarto aje, emangnya mau ngeprint ^_^) juga mendapat giliran. Semua berseragam rapi atau dirapi-rapikan karena nggak semua anak bisa bertampang rapi. Sebagian merasa rapi tapi tidak bagi kamera, nggak fotogenik lah. Atau, sumpah-sumpah sudah merasa rapi tapi mungkin bawaan lahir tetap saja semrawut. Untunglah kaca besar di pintu masuk sedikit membantu untuk mematut diri, cewek maupun cowok.
Sayang sekali, lagi-lagi, bagi yang berbakat berantakan, tetap perlu bantuan teman meski sekedar menarik kerah baju ke kanan kiri atau menyembunyikan ujung-ujung rambut ke belakang kuping. Maklum, standar kerapian sebuah pas foto, kala itu: kuping harus kelihatan kecuali bagi yang memakai jilbab seperti sang ketua kelas kami, Leila atau teman perempuan lainnya seperti Niluh.
Juga aku yang mengantri bareng Winarto, Indra, Davydir Harpar dan beberapa temen lainnya. Sambil celingukan menonton teman yang sedang dipotret, aku sibuk menarik-narik kerah dan lengan baju yang lusuh dan rambut yang agak panjang nan labil. Ogah lurus dan semrawut. Lupakan saja cermin kaca karena tidak banyak membantu. Satu-satunya harapan adalah sisir rambut yang biasanya terselip di belakang cermin yang entah berapa tahun dan berapa ratus orang yang memakainya tiap hari. Aku coba juga merapikan rambut dengan sisir jorok itu, sekali dua kali gagal akupun akhirnya pasrah: ujung-ujung rambut enggan bersembunyi sejenak ke belakang kuping, kerah baju kiri melengkung ke atas sedangkan yang kanan, syukurlah, tetap pada jalurnya. Yo wis lah, performanceku kayaknya dah maksimal dengan terpenuhinya target minimal: pokoknya daun telinga kelihatan!
Kulihat di daftar absensi kelas yang jadi acuan antrian pemotretan, giliranku bakal tiba setelah 2 anak lagi dipotret. Aku berdiri di depan pintu dengan sabar. Keasyikan ngobrol membuat tanganku bergerak reflek, menggaruk kepala. Ku tengok cermin, walah… beberapa helai rambut di ubun-ubun mencuat lagi dan yang di samping kiri kembali menutupi telinga. Ora po-po, nggak apa-apalah, aku berusaha ngademin perasaanku sendiri. Pokoknya iso melu ujian wae, asal boleh ikut ujian aja, soal diomelin bapak dan ibu guru tercintah yang memergoki rambut sedikit panjang, bisa dinego lah…
Ternyata tidak usah menunggu pak guru atau bu guru yang penasaran dan jengkel dengan rambutku, si Winarto malah duluan 'gatal'. Ia menarikku ke depan cermin, mengambil sisir seorang teman perempuan dan membasahi dengan sedikit air. "Liat aja ke cermin!" katanya sambil merapikan rambut belah pinggirku dengan menyisirnya dari kanan, bergerak pelan sambil mengangkat sedikit lalu ketika sisir hampir sampai ujung rambut, ia menarik sedikit lebih cepat ke arah belakang kuping dan menyembuyikannya. Belum sempat aku memperhatikan hasilnya, asisten fotografer memanggilku masuk ke studio dadakan itu.
Setelah dua kali lampu blits memijar, selesai sudah prosesi pemotretan. Kami masih harus menunggu seminggu untuk melihat hasil foto karena 7 hari kedepan kartu ujian baru akan dimulai. Selepas semingguan, kartu pun dibagikan. Bersama teman sekelas, akhirnya aku mendapat kartu itu. Sekelas lantas sibuk dengan kartu itu, bukan untuk mecocokkan nomer ujian atau nama yang tercantum, melainkan saling melihat foto masing-masing dan melongok milik kawan lainnya.
Aku yang duduk di belakang juga memerhatikan fotoku sendiri: rambut kelihatan tebal meski aslinya tipis. Liat aja foto di sebelah ini. Kalau bukan karena saking penasarannya Winarto pada kesemrawutan rambutku, so pasti rambutku bakal terlihat ngelipes bin buluk. Meski sekarang rambutku emang tipis, paling tidak aku pernah 'merasa' berambut lumayan tebal qe3.
Lebih dari itu, jika aku menengok foto-foto lamaku termasuk foto kartu ujian dan ijazah SMA, anganku beranjak pulang ke almamaterku di bilangan Mayjen Sutoyo itu. Setiap detil kenangan berkejapan seperti melihat slide sekumpulan foto. Bukan hanya seperti melintas di depan mataku tapi memintas di kelopak mataku, saking lekatnya. Upacara bendera, makan di kantin, pelajaran olahraga, senda gurau, dua kali usiran dari seorang guru Bahasa Indonesia yang sama ketika di kelas 1B dan 2A3…
Juga, lirikan diagonalku ke sudut kanan kelas ketika saat masih duduk di tahun pertama dan getar-getar aneh setiap adik kelas itu lewat di dekat ruang kelasku yang berjendela super lebar (untuk ukuran kelas sekolah pada umumnya). Slide berputar makin cepat memasuki ruang demi ruang sekolah: perpustakaan, laboratorium, mushola, taman, workshop otomotif, UKS, ruang BP dan Konseling, dan tentu saja bangsal (mungkin sekolah lain menyebutnya aula) serta ruangan tempat kami menunggu giliran untuk pas foto di penghujung masa kami menjadi siswa Wiyata Bakti Taruna, slogan SMA 7 kami.
Semua masih berkejapan sampai tersadar, betapa telah jauh kini jejaraknya, nyaris separuh umur. Ah, bukankah romantisme masa lalu memang memiliki energi untuk menarik kita pulang dan membawa kita kembali pada kekinian.* kalimalang, jakarta, 06 2009