Wednesday, June 17, 2009

Dendam!

Bagi saya, mengamini celetukan kakak lelaki kedua, Soeharto dan Orde Baru itu nothing, sayang Pak Tua itu sudah mampus. Dia bisa bilang, antek-antek PKI dan bahaya laten komunis harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Orba sendiri juga punya dan memelihara antek-antek yang kalau kini masih meger-meger, ya karena duitnya bisa membeli hukum.

Jaman berganti masa tapi Soeharto di neraka sana juga mesti tahu, kalo antek-antek Orba sampai sekarang masih saja cari muka. Bergaya pahlawan kesiangan sok Pancasilais taik kucing.
Ibu saya dulu PNS guru SD, kini sudah almarhum. Jaman ontran-ontran G30S, dalam obrolan antar teman sesama guru, Ibunda saya pernah nyeletuk:

“Wah, eRPeKAD kejam-kejam banget. Nangkepin orang trus nginjak-nginjak!” katanya merujuk tentara dari satuan RPKAD, kini Kopassus, yang ‘menjemput’ orang-orang yang dicurigai anggota PKI atau anggota organisasi yang berafilasi pada PKI seperti Gerwani dan BTI.

You know lah. Jaman segitu, seseorang bisa keciduk dan menghilang hanya gara-gara laporan sepihak. Yang terlapor bisa saja nggak ada sangkut pautnya dengan partai terlarang (oleh Orba) itu. Yang melapor pun tahu itu, tapi karena sentimen, iri dan dengki oleh banyak sebab seperti karir atau sengketa tanah, atau ingin menunjukkan kesetiaan pada negara (baca: Soeharto dan Orba), lantas cuma bermodal cangkem dan telunjuk jari sudah bisa mengirim tetangga atau kerabatnya sendiri ke bui. Pun dengan seseorang bajingan yang Ibunda sendiri tidak pernah memberitahu namanya pada saya. Yang pasti, antara orang itu dengan Ibunda saling kenal.

Dalam hitungan minggu, Ibunda saya dipanggil pihak keamanan. Yang jelas bukan polisi tapi militer yang bajunya ijo-ijo itu. Interograsi berjam-jam dan berulang kali meninggalkan kewajiban mengajar makin menyurukkan nama baiknya. Semua teman guru sudah mendengar kabar kalau Ibunda kena wajib lapor, istilahnya mel (dari bahasa Belanda: melden/melapor) dan menjadi bahan bisik-bisik karena ini isu sensitif dan tepat buat sekawanan manusia iblis yang suka bertepuk tangan di atas penderitaan orang lain.

Ikutan membela? Sama saja dengan bunuh diri. Seperti sang pelapor, jaman segitu panji-panji oportunis memang lagi-lagi mengangkasa. Siapa tahu naik pangkat jadi kelapa sekolah atau penilik, wow status priyayi pun pantas disandang!

Alhamdulillah, Ibunda saya secara defacto dan dejure bersih dari stempel keji itu. Sayang, noda sejarah telanjur membekas pada nama baiknya sebagai pribadi dan PNS. Lebih-lebih lagi, membebaninya seumur hidup. Keputusannya untuk pensiun dini pun tak lepas dari pengalaman pahitnya, beliau mengajukan pensiun dini dan dikabulkan pada usia 50 tahun ketika saya masih kelas 5 SD, sekitar tahun 1987-88.

Menurut penuturan kakak perempuan saya, Ibunda merasa status kepegawaiannya masih bisa diutak-atik oleh orang-orang yang dengki, maklum tahun itu Soeharto dan Orde Barunya sedang sakti-saktinya. Untuk sekawanan penjilat, membuat orang lain kelimpungan mengurus status bersih diri secara politik, mungkin memuaskan. Siapa tahu masih laku buat naik jabatan atau mempererat perkawanan dengan aparat. Akhirnya, mumpung sedang tidak ada gejolak dan pas menjelang usia ke 50, Ibunda mengajukan pensiun dini. Syukurlah, tidak ada masalah.

Jangan dendam!
Untuk mengisi masa pensiun, Ibunda makin aktif di kegiatan kampung: pengajian, arisan, PKK, Dasawisma dan organisasi persatuan pensiunan PNS, namanya saya lupa. Daya jelajahnya pun meluas, sering beliau ikut mengaji hingga masjid kampung sebelah. Teman-temannya seabrek-abrek sampai-sampai orang bilang: kalo ndak ada Bu Nur, arisannya sepi. Atau, Bu Nur mesti disamperin biar pengajiannya rame!

Ketika Ibunda meninggal dengan tenang pada 1 Februari 2003, di tengah kesedihan mendalam, saya merasa terharu sekali. Orang-orang yang melayat banyak sekali, sebagian besar tidak saya kenal karena mereka datang dari kampung-kampung sebelah, para jamaah beberapa masjid tempat Ibunda mengaji dan juga teman-teman Ibunda sesama pensiunan PNS. Masih melekat di ingatan, Ibunda selalu berpesan agar tiap Sabtu malam, selarut apapun, saya harus pulang karena subuh keesokan harinya beliau minta diantar ke masjid di Jalan Parangtritis selatan kampus Stikers, untuk pengajian Ahad pagi.

Menyoal banyaknya pelayat, kakak perempuan menghibur saya usai pemakaman: “Tadi lihat kan, yang layat sebegitu banyak. Itu jadi tanda kalau Ibunda memang dicintai banyak orang. Ibunda pasti tenang disana dan kamu juga harus rela. Ikhlas!” kata kakak. Waktu itu dia meneruskan, “Ibunda pernah pesen buat aku dan anak-anak yang lain: jangan dendam! Apapun keadaan Ibunda di masa lalu, jangan dendam karena Ibunda sudah merelakan semua.” Aku mengangguk tanda mengerti.

Mereka mengusik lagi…
Tapi, setan Orde Baru masih saja merasa eksis di jaman (yang katanya reformasi) ini di mana mereka seharusnya menyembunyikan muka di balik pantat mereka sendiri. Sekian bulan lalu, 11 tahun setelah Orba tumbang, hampir 2 tahun setelah Soeharto berkalang tanah, kakak perempuan kedua saya yang juga PNS guru SD membawa ‘oleh-oleh’ dari tempatnya mengajar: ada seorang guru senior yang bertamu di sekolahnya. Si guru senior itu bilang pada kakak saya.

“Kamu anaknya Bu Nur kan (ia kemudian menyebut nama lengkap Ibunda)?”

“Inggih Pak,” jawab kakak dengan sopan menilik usia si penanya seumuran dengan Bapak saya.

“Aku sebarakan (sebaya) dengan Ibu dan Bapakmu,” paparnya dan lanjutnya tanpa tedeng aling-aling, tanpa basa-basi:
“Aku tahu persis Ibumu dulu ‘terlibat’!” katanya yakin.

‘Terlibat’ adalah istilah khas untuk menyebut orang-orang yang tersangkut paut dengan organisasi partai terlarang (oleh Orba) itu.

Sebagai salah satu pilar penegak kehormatan keluarga, kakak saya menjawab.
“Itu fitnah. Ibu tidak ada kaitannya dengan hal itu. Dan sudah terbukti secara hukum kalau Ibu memang bersih!” jawab kakak.

Si guru senior itu menjawab dalam diam lalu melengos. Ada pesan intimidasi tersirat dari kata-kata dan ekspresinya, terkirim pada kakak saya mengingat kakak juga seoang PNS. Apapun fakta hukum, sosial dan politik, seolah si guru senior itu tak peduli, baginya sekali stigma politik itu menempel, selamanya akan tetap berlaku. Pun bagi anak-anaknya.

Ketika menuturkan peristiwa itu pada saya dan kakak-kakak yang lain, kakak saya bercerita dengan tenang. Datar. Tanpa ekspresi gusar. Memang begitulah seharusnya karena kami yakin Sang Hakim Agung yang akan membalas sang penjilat, pefitnah dan para tukang tepuk tangan.
Saya sendiri sudah berjanji untuk tidak mendendam. Biarlah hukuman dari Yang Diatas mendera mereka di saat tawa mereka berderai, ketika wajah bengis nan sinis meringis dan saat tepuk tangan dalam hati mereka merayakan fitnah yang menimpa Ibunda dan kami sebagai anak-anaknya.

Oya, di mata saya, mereka itu para fatalis Orba, fakir akan empati, menghamba pada berhala stabilitas masa keemasan Soeharto yang sebenarnya semu serta miskin soal sejarah dalam konteks sosial politik Orba.

Zaman berganti rezim, Pemilu Capres kurang dari sebulan lagi, dan penjilat-penjilat baru pun lahir. *GBU, hati-hati di jalan.

No comments:

Post a Comment