Di selasar bandara Juanda, Surabaya, kita bersua lagi. Aku, perempuan dari masa lalumu, bersirobok denganmu yang dulu kujatuh cintai. Dengan terbahak.
Ya dengan terbahak aku mencintaimu. Konyol, orang bilang. Luweh, kataku! Biarin.
Ya, kutulis di topi kertas Ospekmu. Tentu, dengan spidol hitam Snowman. Pasti, kau masih ingat itu. Mungkin, kita lupa tanggalnya. Yang jelas, hari terakhir inagurasi di GSP UGM
"Ina love Oji, miracle in 3 days!"
Dan, kau terbelalak membacanya. Kita pun sama-sama terbahak sesudahnya.
Lima belas tahun kemudian, minggu pertama Februari kemarin, kita kembali terbahak.
Dulu dan kini
Kubilang kau masih seperti dulu. Kau jawab, aku sudah berubah.
Okelah, kita berbalas komen. Lisan tak perlu membuka FB untuk berceloteh di wall.
Kau tampak muda. Tepatnya segar dan tetap saja sumringah. Sepertinya kau dilahirkan untuk tersenyum setiap bertutur.
Kau bilang dirimu seorang wartawan. Oh, kataku, bisa jadi karena itulah kau selalu luwes. Terbiasa bertemu orang. Tuh kan, kau menjawabnya dengan senyuman meringis garing.
Ah, kau tak tahu, senyuman dan perlakuanmu itu yang membuatku kedanan. Tergila-gila. You drive me crazy, rutuk batinku dulu dan kini.
Gantian kamu. Menurutmu, seorang Ina semasa masih mahasiswi Hubungan Internasional jauh berbeda dengan Ina yang kini diplomat.
Apanya, tanyaku, sambil mencodongkan mukamu ke arahmu. Daguku kini tepat di atas tengah meja Dunkin Donuts yang sejatinya sudah tak begitu lebar.
Tak kau perhatikan kan, kedua tanganku bersedakep terlipat di bibir meja. Bolehlah kubilang, itu untuk mengimbangi degupku.
Katamu, aku kini begitu berwibawa, matang dan berparas teduh. Mungkin bawaan kerjaan.
Aku sedikit membelokkan pandangan ke langit-langit. Sedikit tersanjung. Dasar perempuan.
Lalu, menurutmu, ada satu hal padaku yang tak juga berubah. Kau katakan itu dengan menggeleng-gelengkan kepalamu. Ada raut kecewa disitu. Bola mataku membinar, seolah bertanya: apanya?
Selaluuuu cantikkkkk!
Ha-ha-ha... Aku terbahak. Kukira kau akan berkata tentangku yang sudah tidak asyik lagi.
Aku tertawa untuk dua hal. Pertama, ya tadi itu, karena lega.
Kedua, lima belas tahun yang lalu, kau pernah merayuku dengan kata-kata dan bahasa tubuh yang persis. Kau menjebakku untuk kedua kalinya. Dan aku menikmatinya. Uhh...
Limabelas menit lagi aku harus boarding. Dan kau sudah dua tiga kali melirik jam tangan.
Present of us
Tak ada obrolan tentang masa lalu selama sisa waktu itu. Kita sama-sama bertukar kabar gembira tentang orang-orang yang kita cintai.
Anakku sudah masuk TK, kindergarten gitu deh. Suamiku mengajar. Gelar master dari Princeton membantunya menjadi dosen di Philadelphia. Sementara aku jadi orang kantoran di Kedutaan RI di New York.
Dan kau, istrimu telah memberimu dua buah hati. Ketemu dimana, tanyaku tak kuasa menahan penasaran. Brastagi, Sumatera Utara.
Garuda yang hendak membawaku ke Jakarta telah merapat. Belalai garbarata pun melekat di pintunya.
Kau kembali melirik arloji dan pamit sebentar menjawab telepon. Kita pun akhirnya saling berpamitan di tengah suara gemuruh mbak-mbak mengumumkan agar penumpang tujuan Jakarta segera masuk ke perut pesawat.
Menghitung mundur, siang ini aku sudah harus sampai di Cengkareng dan langsung ke Deplu di Gambir.
Esok harinya, aku melintas di atas Lautan Pasifik menuju negeri Paman Sam. Di sana, kata suamiku, anakku Raya tengah sibuk melukis dengan pastel pemandangan taman-taman di New York.
Di atas barisan pohon oak, di antara mega-mega, ia menulis: I love u, Mom.***
Ketika masih nganggur luntang-luntung, aku mengangankan mendapat satu saja pekerjaan. Ketika kemudian bekerja, aku tak habis pikir pula mendapati kawan bekerja di dua tempat.
Orang bilang sambilan. Dan, sebagian lainnya menyebutnya ngamen. Malah, tak sedikit yang memilih: semuanya jadi pekerjaan utama. Waduh, makin tak habis pikir aku.
Pertama kali mendengar istilah ngamen ketika di Jogja. Sebutan ini populer di kalangan dosen yang juga mengajar di kampus lain. Misalnya, dosen UGM mengajar pula di Atmajaya. Atau, mengampu mata kuliah di UII sekaligus di UPN.
Aktivitas memaparkan materi kuliah secara lisanlah yang kemudian diidentikkan dengan 'ngamen'. Sama-sama cuap-cuap dan mendapat imbalan materi.
Oya, istilah ngamen bukan sebutan bernada sinis dan bukan pula disampaikan oleh kalangan mahasiswa atau publik pada para dosen. Intinya, bukan olok-olok.
Malah, aku mengenal sebutan ngamen dari beberapa dosen aku di Fisipol UGM yang juga mengajar di tempat lain. Pun, Bu dosenku dari FE UGM yang mengajar mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi bagi anak-anak Fisipol, menyebut pula kosakata ini dengan nada bercanda dan terus terang. Beliau juga praktisi 'ngamen'.
Ngamen di media
Ketika bekerja pertama kali di sebuah majalah di Jakarta, redaktur alias atasan aku juga nyambi. Tepatnya, kantor kami yang menjadi sambilan dia. Sedangkan pekerjaan utamanya sebagai redaktur di harian nasional di Jakarta.
Kala itu, aku heran dengan kemampuannya membagi waktu dan pikiran bekerja di dua tempat. Meski di kantorku ia hanya datang hari Rabu dan Sabtu, menurutku, energinya pasti ekstra karena masih pula memeriksa naskah dari reporter macam aku. Belum lagi ia terlibat langsung dalam perencanaan materi majalah.
Bisa jadi, energinya terdorong oleh stimulan berupa imbalan materi yang sepadan. Kutahu, perbulan ia mendapat paling sedikit Rp 4 juta (PS: makanya jangan naruh catatan gaji sembarangan). Mungkin sekarang sudah naik meski kawan reporter yang masih bertahan disana mengeluh belum ada peningkatan gaji yang berarti.
Malah, "Beban kerja berlipat sekarang," keluh salah satu kawanku disana. Kubilang, bisa jadi soal waktu saja. Tak mungkinlah tidak ada kesesuaian gaji apalagi iklannya lumayan mengalir.
Nah, kubilang pula pada dia untuk ikutan ngamen. He-he-he, celetukan yang asal saja meski ku yakin patut dicoba. Gantian kawanku mengangkat bahu. "Tak ada waktu. Boss tidak bakal kasih restu!" Jawabnya pasrah.
Hmm... Aku jadi ingat waktu masih kerja disana, aku sempat menulis untuk media lain. Memang kendalanya soal waktu.
Order
Waktu itu sekitar bulan Maret 2009, aku dapat order wawancara dan menulis soal terigu impor untuk majalah sebuah instansi pemerintah. Jadwal dan narasumber sudah diatur oleh temanku yang bekerja di instansi itu. Kalau tak salah ingat hari Rabu jam 11 di perkantoran bilangan Blok M.
Jam 9 pagi aku masuk kantor terlebih dulu, setor muka saja sambil siap-siap wawancara. Aku sempat browsing berita terigu yang aktual. Ngeprint beberapa lembar outline wawancara pun dengan diam-diam. Maklum, ya karena tak ada aturan yang membolehkan 'ngamen'.
Satu jam kemudian aku sudah diatas mikrolet menuju Cililitan. Disitulah aku merutuki ketimpangan: reporter yang bergaji ngepas berusaha mendapat tambahan penghasilan tapi kantorku tak memberi lampu hijau.
Memang tidak melarang tapi tak ada pula celah untuk leluasa. Sementara itu, redakturku menjadikan kantorku sebagai sambilan dan tentu saja pihak kantorku menyadarinya.
Inferior
Yang aku lihat dari posisi ini, kantorku ambigu dan lemah plus inferior. Menurutku, jika ngeh dengan kemampuan keuangan yang terbatas, mestinya kantor memberi peluang bagi reporternya untuk mendapat penghasilan tambahan. Asal, tidak menganggu pekerjaan utama.
Lagian, jika dari awal merelakan, kantor layak bangga karena kinerja karyawannya diakui oleh media lainnya.
Konyolnya lagi, redakturku berpesan agar anak-anak jangan bilang pada siapapun, maksudnya kalangan wartawan lainnya, bahwa ia bekerja pula di kantorku itu.
Bwahahahaha, takut pula ia ketahuan oleh kantor utamanya. Tak pula ia mengakui keberadaan posisinya. Pantaslah kalau aku menyebut kantorku itu inferior.
Bos juragan juga ikutan wanti-wanti. Ndagelnya, ketika ada reporter senior baru, alih-alih mengingatkan posisi sang redaktur, si reporter senior malah lebih banyak tahu soal sang redaktur bahkan komunitas mroyeknya sang redaktur pun ia tahu.
Juga ada sisi lucu lainnya tapi kusimpan saja di akhir cerita ini. Soal amplop.
Kini aku pun ngamen. Bedanya kantorku bukan hanya membolehkan tapi juga 'menyuruh'. Meski job desc-ku selaku penulis dan pengumpul berita soal energi, kadang pula mendapat job lainnya. Misalnya membantu pelaksanaan acara, semacam EO, yang diselenggarakan divisi lain di kantorku. Itu jelas ada kontraprestasinya.
Juga, menulis artikel untuk orang lain yang menjadi kawan baik kantor. Istilahnya ghost-rider eh ghost-writer ding. Imbalannya lumayan, bisa sampai lebih dari satu bulan gaji, jika dimuat lho.
Dan ternyata, semuanya berjalan menggelinding saja. Tak perlu energi ekstra atau otak Cherebrovit. Syaratnya, manajemen waktu yang matang. Selanjutnya, wawasan dan skill akan menyesuaikan saja. Begitu menurutku.
Amplop
Nah, balik ke soal redaktur di mediaku sebelumnya dan kisah amplop. Pernah satu ketika, kita membahas khusus tentang amplop. Maksudnya pemberian sesuatu, uang atau barang, yang terkait kegiatan jurnalistik kita.
Redakturku ikut pula menggarisbawahi penyikapan bos juragan. Dilarang menerima amplop! Tegasnya.
Lucunya, aku tahu persis media tempat ia bekerja pun menerima imbalan uang atas pemberitaan ini-itu. Lha wong aku yang nyerahin duitnya ke selah satu redaktur sambil nongkrong ongkang-ongkang kaki di kafe bilangan Sarinah.
Okelah, reporter dilarang menerima tapi praktiknya: pihak media termasuk redaktur, yang terpikat menerima pinangan amplop. Beware about your words! Prikitt-tiuw :) ***
Hari ini Omm Janu memanggil anak-anak lagi. Pesannya singkat: Manggala Wanabakti, Minggu, 5 Februari 1989, jam 7 malam. Standby jam 5.
"Jangan telat dan baju bersih," ujar Teguh mengingatkanku lisan.
Asyikkk... Batinku terpekik. Job jadi pelayan di acara resepsi minggu ini akhirnya terisi. Aku sempat khawatir karena sampai Jumat ini tidak ada kabar baik.
Apalagi, Manggala, gedung yang di kompleks Departemen Kehutanan itu, salah satu tempat favorit anak-anak. Bukan soal auditoriumnya yang luas dan fasilitasnya komplit. Itu mah urusannya si penyewa gedung.
Buat kami gedung seperti Manggala yang memiliki banyak sudut-sudut tersembunyi dan banyak ruangan lah yang masuk kriteria favorit.
Di tengah acara resepsi, kami sering atau sebut aja kadang kala, menghindar dari tanggung jawab: kabur ke teras masjid yang berjarak 2 unit gedung sambil mengunyah lemper atau menenteng nasi kuning plus ayam goreng garing sebelumnya.
Jangan tanya ayam crispy atau french fries karena waktu itu baru ada ayam tepung dan perkedel.
Kalau mau jujur, bolehlah disebut kami bandel. Cuma, kalau boleh pake alasan, yah gimana kami tidak 'iseng' kalau berangkat dari Ciputat perutku kosong dari pagi.
Atau, seperti Abduh yang tersuruk-suruk kelaparan dari Depok, lantas mengantar nasi, sayur sop sampai ice cream untuk tetamu. Si perut yang keroncongan, demi melihat sang tangan mengulurkan hidangan pasti berteriak soal keadilan.
Jadilah kami menunduk-nunduk mengunyah yang sempat kami embat di sekitar tempat acara.
Oh ya, kalau disebut kami meninggalkan tanggung jawab, sejatinya kami tetap melakukan kewajiban. Hari Minggu itu aku dan kawan-kawan sudah datang ke Manggala sejak jam setengah 4.
Okelah kalau dibilang rajin. Jujur saja, lebih karena awan mendung di atas Jakarta yang terlihat dari arah selatan. Prinsipnya, kami harus mendahului hujan. Kalaupun kehujanan, dengan datang lebih awal, kami bisa menyiasati kemacetan.
Juga, kami tahu persis kerepotan Omm Janu kalau air turun dari langit. Tempat menaruh makanan, perangkat piring dan gelas harus bergeser. Kalau sudah begini, tenda atau terpal mesti dipasang di bagian belakang gedung.
Meski tugas pokok cuma mengantar hidangan dan beberes alat makan, kami mesti berbuat lebih untuk orang sebaik Omm Janu.
Terpal biru pun kami bentangkan di celah-celah tembok belakang. Bukan cuma air hujan, tempias juga haram terpercik masuk ke kuali sop apalagi terkena kerupuk udang.
Setelah itu kami tetap solo-bandung alias standby.
Untunglah, Bu Munji memberi isyarat pada Antok. Tak perlu menunggu nanti malam, sore itu kami berlima belas makan nasi putih plus telur bumbu komplit dengan tempe dan sambal kering. Jangan bayangkan banyaknya melimpah.
Masing-masing 10 suapan nasi sudah lumayan buat mengganjal perut. Tak berpiring dan tanpa sendok, nasi digelar di 3 nampan besar. Makan keroyokan di selasar pun sama nikmatnya dengan di aula Manggala.
Jam 7 kurang seperempat kami sudah merapik an diri dan bersiap di pintu. Setelah itu semua berjalan begitu mekanis: hilir mudik mengantar 6 piring dan kembali ke belakang membawa hidangan untuk tamu yang lain.
Meski sore tadi sudah makan, tabiat kami malam itu tak juga berubah. Memang sih tidak terlalu lapar tapi, ah lagi-lagi pembelaan diri, menu kali ini super istimewa. Sayang kalau anak-anak tidak kecipratan enaknya.
Selain menu standar ala nasi sop, juga komplit dengan sate ayam dan kambing. Minumnya bukannya cuma sirup atau coke, tapi juga koktail. Ice creamnya bukan buatan rumahan tapi Tip Top Cipete.
Begitulah. Jam 9 kurang seperempat, menunggu tetamu menghabiskan menu terakhir, anak-anak sukses mengendap ke masjid Manggala. Di teras sebelah tempat wudlu yang remang-remang, aroma sate menguar diiringi cekikikan kami. "Hebring dah...," Desis Antok terkekeh.
Waktu kami cuma 20-an menit. Kalau kelamaan, Omm Janu pasti sudah kebingungan mencari kami untuk menyuruh beres-beres. Jangan sampai ia menyadari kalau anak-anak tidak ada di dapur.
Ceban Jam sepuluh tugas kami selesai sudah. Upah yang kudapat sama dengan yang lain, seperti biasa, Rp 10.000. Duit segitu lumayan bagiku. Ongkos metromini Rp 100 alias cepek. Makan nasi telur cukup Rp 500 atau kalau mau sepotong daging ayam, cuma Rp 700.
Itulah kalkulator biaya hidupku.
Pulang dari Manggala, tubuh lelah kurebahkan sesampai Ciputat. Esok ada kuliah pagi-pagi di kampus IAIN Ciputat.
Untungnya, kelas Sejarah Dialektika Modern di Driyarkara hari ini jadi kelas diskusi. Artinya, aku tidak harus belajar khusus. Cukup datang, duduk, ikutin alur. Aman meski terkantuk-kantuk.
Aku memang kuliah di dua jurusan di dua kampus yang jaraknya tak terhitung kilometernya. Yang terbilang cuma waktu tempuh antara keduanya, naik Patas 65 Ciputat-Senen butuh waktu 1 sampai satu setengah jam.
Turun di Salemba, depan persis UI, lalu menyeberang ke ujung jalan Percetakan Negara, 15 menit jalan kaki bisalah sampai ke kampus yang bikin Ibuku geleng-geleng.
Pertama, filsafat itu apa. Kedua, bisa kerja apa. Ketiga, masih lebih jelas di IAIN: "Habis lulus, bisa kerja di Departemen Agama. Atau jadi guru di Madrasah Aliyah pamanmu di Cimahi," begitu beliau memetakan masa depanku.
Meski tak pernah bilang tidak merestui, toh ia diam saja aku kuliah filsafat. Uang kuliah dan transport ia penuhi. "Gak ada uang jajan!" Tegasnya sebelum aku bertanya. Nah dari job resepsian itulah aku bisa sedikit merasakan makan enak.
Imbas kampus istimewa Keraguan Ibu ternyata membawa sinyal apes. Berkali-kali, kalau tidak salah ingat, aku kedapatan sial gara-gara menyandang status mahasiswa Driyarkara.
Satu, anak-anak sekitar rumah mencap aku sombong. Ini sejatinya konsekuensi kuliah double. Tapi memang aku jadi jarang nongkrong sejak wira-wiri Ciputat-Salemba.
Dua, teman kuliah salut padaku. Cuma, karena referensi yang berbeda maka obrolan dan diskusi di Ciputat sering mandeg. Aku sih easy going, tapi mereka lebih memilih terdiam dan pasif, tidak serulah kalau dialog bergeser jadi monolog.
Tiga, ini yang konyol. Pernah aku dikerjain kernet 65 sepulang dari Driyarkara. Saling kenal wajah, ia pun mahfum juga kalau aku kuliah di kampus filsafat. Mungkin ia bisa mengenali mana tampang UI, mana wajah Driyarkara. Hanya dia yang tahu rumusnya.
Kuliah malam hari Kamis yang kelar jam 8 membuatku terkantuk sejak Megaria. Begitu bis besar itu berbelok masuk ke Sudirman, bablaslah tertidur pulas.
Bangsat memang. Ketika sampai kampus IAIN bahkan pasar Ciputat tak juga ia membangunkanku. Kubayangkan ia pasti kongkalingkong dengan sopir bergigi ompong itu.
Aku akhirnya bangun ketika nyamuk berdenging dan menggigiti kakiku. Plak, plak, plak. Tanganku sibuk menabok dengan mata tak penuh membuka. Tak ada jejak darah di tanganku. Sableng.
Wakksss... Aku terpekik ketika merasakan tak ada getaran mesin bis yang gemetar. Pertama kali, kusangka bis mogok. Sedetik dua detik panik membayangkan masih berapa jauh dari Ciputat.
Lho, kok remang-remang dan hanya aku sendirian di dalam bis. Kutengok kaca jendela, mataku terpicing oleh lampu merkuri di kejauhan yang membentuk siluet deretan badan bis yang membeku.
Anjriiitttt... Aku di pool. Kernet-sopir gemblung itu mengerjaiku. Benar saja. Terhuyung-huyung turun dari bis karena gelap, mereka menyambutku dengan sahutan dari lapak pinggir pool.
"Hoi, profesor! Keterusan nglamun sampe pool yee...?" Ledek salah satu dari mereka sambil membanting kartu domino. "Sini aje Jang! Gabuuung!" sambung yang lain dengan tangan melambaikan botol pipih.
Nyaris setahun lalu, Maret 2009. Tiga hari di kota Anging Mamiri. Untung masih sempat ke Losari, Benteng Rotterdam dan bangga mendarat n terbang pulang ke Jakarta dari Bandara Hassanudin nan megah yang dibangun oleh para insinyur Ibu Pertiwi. Yihaaa...
Sebagian dari kita berani teguh di satu titik ketika dunia terus berputar.
Dua pekerja media duduk berhadapan menekur di depan netbook mereka. Meja lebar memanjakan mereka untuk menaruh cemilan dan fotokopian materi berita.
Di ruang yang sama, press room sebuah departemen di bilangan Kuningan, tiga kawan sejawat tekun menyimak Gayus Lumbuun berbalas kata melawan Ruhut Sitompul lewat TV Samsung 21 inchi.
Dua orang lagi sibuk dengan Communicator dan Blackberry. Sambil asyik dengan masing-masing layar gadget, mereka bertujuh ngobrol tanpa ujung pangkal, berceracau begitu saja. Tentu saja, tangan mereka tak lupa berminyak oleh 3 jenis cemilan: Happytos, Potato dan kerupuk bangka.
Salah satu wartawan ber netbook tadi, nyaring suaranya paling dominan di ruang 4x7meter itu. Tembok tanpa wallpaper mendengungkan suara altonya. Kebetulan, lengkingnya memang pas dengan media tempat ia bekerja: kritis dan galak.
Kawannya di seberang lebih banyak cekikikan dengan YMnya. Sesekali menimpali tapi terdiam begitu enam karibnya menyentil soal tayangan di TV. Skandal bank dan politik agak berjarak untuk mendapat perhatiannya sebagai reporter media online dan ngepos bukan di Lapangan Banteng atau Senayan.
Satu fragmen obrolan antara dua pekerja media yang asyik dengan laptop mininya tiba-tiba menarik disimak. Ketika itu, si wartawan bervokal alto berceloteh soal liputan bareng ke luar daerah Januari lalu. Kala itu liputan mereka atas undangan sebuah perusahaan multinasional rekanan departemen yang menggurita di Tanah Air.
Intinya, ia mengaku menolak mentah-mentah duit 'insentif liputan' atau lebih gampang disebut 'amplop' dari perusahaan itu. Karibnya, mendongak sesaat dari YMnya. Membenarkan dan menyebut uang semacam itu bikin masalah. Mending ditolak, katanya dan dibenarkan oleh temannya di seberang meja.
Mereka juga tahu jumlah rupiah di dalam amplop, bisa buat beli Blackberry Javelin atau Netbook HP plus modem. Wuihh... Bukan jumlah yang sedikit.
Yang mencolok, intonasi suara mereka meninggi ketika menyebut, 'mending ditolak', dan 'gak sudi makan duit mereka'. Seolah, gendang telinga penghuni pressroom harus jelas-jelas mendengar penyikapan mereka.
Sejurus dengan obrolan mereka berdua yang menyeruak di tengah obrolan soal Century, kelima kawan mereka terdiam.
Dua diantaranya yang membelakangi mereka, saling melirik dan nyengir. Satu lagi memperbaiki posisi duduknya yang sejatinya sudah posisi uennaaak. Gerah.
Dua sisanya saling menendang kaki satu sama lain di bawah meja dan memasang muka cuek.
Dua wartawan 'anti amplop' terus berkicau soal liputan ke luar kota tadi. Sinis makin terlihat di muka mereka.
Obrolan pun berujung pada soal, menurut mereka berdua, staf humas perusahaan terus saja mendekati mereka hingga hari terakhir liputan. Konon, mereka lebih memilih menghindar daripada terkontaminasi oleh kedekatan basa-basi sang staf.
Kali ini, kelima kawannya makin pintar bagaimana memasang ekspresi seolah tidak mendengar obrolan kritis dua teman seprofesi mereka yang berbeda media.
*** Senayan
Di ruang meeting eksklusif di sudut mall di bilangan Senayan, asap rokok memenuhi langit-langit. Empat redaktur duduk di sofa coklat terang. Dua di antara mereka adalah atasan reporter tadi.
Dua meja yang sebelumnya terpisah dijejer berhimpit untuk menopang tiga laptop mereka. Seorang tak membuka laptopnya, memilih tetap menyimpannya di tas Rei-nya.
Perbincangan santai soal progres plot pencitraan perusahaan yang diliput para reporter itu, di empat media tempat mereka bekerja: tiga media cetak dan satu stasiun televisi.
Tentu saja, salah satu bahasan adalah hasil liputan reporter mereka masing-masing Januari kemarin. Tampaknya, soal liputan itu bukan termasuk penting. Pokoknya, media yang mendapat plot pencitraan sudah sukses menunjukkan komitmen pada si klien, perusahaan farmasi itu, dengan mengirim reporter. Itu saja.
Tak ada bahasan soal materi liputan nan kritis yang didapat para reporter. Semua aman, kata salah satu redaktur. Maksudnya, berita yang mengulas runtut telah dimuat dan sudah ditunjukkan pada vice presiden perusahaan.
Tak sampai lima menit, obrolan berallih pada tema kampanye perusahaan yang bakal diusung sebagai step berikutnya.
***Salut
Di bawah langit Jakarta dengan tebaran kabar berita, dua wartawan melangkah mantap di lobby sebuah departemen di bilangan Kuningan.
Secara individu, idealisme profesi mereka panggul kuat-kuat, ketika tanpa mereka tahu, media tempat bekerja telah terbeli. Atau, mereka memilih tutup mata.***