Saturday, September 6, 2025

KRL. Yang saya nikmati dan yang kadang bikin nyengir.

Naik KRL setiap hari sering dianggap melelahkan, padahal ada banyak cerita menarik yang bisa kita tangkap dari rutinitas itu. Saya sendiri sudah cukup lama menjadi bagian dari rombongan para penumpang setia jalur Bogor–Jakarta.

Setiap pagi saya bisa melihat wajah-wajah penuh semangat meski kantung mata masih menggantung berat. Mereka adalah pekerja keras yang berangkat sejak subuh demi menjaga dapur rumah tetap mengepul.

Tak ada kursi eksekutif atau ruangan ber-AC khusus yang memisahkan, semua sama-sama berdiri rapat di gerbong yang sesak, kalau beruntung bisa kebagian kursi. Di situlah terasa bahwa pengguna KRL sebenarnya adalah para pejuang keluarga yang tidak mengenal kata menyerah.

Di KRL: autopilot dan tidur

Sering ada orang membandingkan KRL dengan mobil pribadi, seakan kenyamanan hanya bisa dicapai dengan kendaraan sendiri. Padahal, di dalam kereta justru kita bisa mendapatkan waktu berharga untuk istirahat sejenak.

Ada yang tidur nyenyak meski berdiri, ada yang membaca buku, bahkan banyak yang membuka laptop untuk menyelesaikan pekerjaan. Di KRL, saya bisa berasa autopilot, berkesempatan untuk nyambi kerja dengan aman tanpa harus memikirkan kemacetan di jalan raya.

Bagi saya, naik KRL itu seperti kelas sosial berjalan yang mempertemukan berbagai latar belakang dalam satu ruang sempit. Kita belajar bersabar, belajar mengalah, tersenyum, nyengir, dan kadang belajar menerima keadaan yang tidak selalu sesuai keinginan. Juga berlatih bersyukur.

Ketika seseorang memberi tempat duduk kepada ibu hamil atau lansia, ada rasa hangat yang mengingatkan bahwa solidaritas masih nyata. Meski gerbong penuh sesak, sering kali ada kebaikan sederhana yang justru membuat perjalanan terasa manusiawi.

Dari Sejuk Bogor ke Gerahnya Jakarta

Saya pribadi merasakan kontras yang cukup tajam antara Bogor dan Jakarta setiap hari. Dari udara sejuk yang mengalir dari punggung Gunung Salak di kejauhan, saya meluncur ke ibukota yang gerah dan hiruk pikuk dengan ritme lebih cepat.

Kontras itu kadang membuat badan lelah, tapi juga memberi perspektif baru tentang keberagaman kehidupan urban. Saya belajar bahwa perpindahan dari sejuk ke gerah bukan sekadar perubahan cuaca, melainkan juga perubahan energi yang harus saya kelola.

Naik KRL memang bukan perjalanan penuh kemewahan, tapi ia menghadirkan cerita unik yang jarang ditemukan di tempat lain. Kalau ada yang bilang KRL itu hanya soal berdesakan, saya jawab: iya, tapi coba cari di mana lagi kita bisa tidur, kerja, dan belajar sabar sekaligus hanya dengan harga Rp5.000 sekali jalan?

Sunday, August 31, 2025

Jalan Hidup yang Dulu Kita Hindari, Mengapa Kini Menjadi Jalan yang Kita Tempuh?

Hidup sering kali bergerak ke arah yang tidak kita sangka. Ada kalanya, jalan yang kini kita jalani justru merupakan jalan yang dulu kita hindari.

Seakan ada paradoks dalam pilihan manusia: yang dulu kita anggap mustahil, kelak bisa menjadi kenyataan yang kita jalani dengan penuh kesadaran.

Tokoh-tokoh besar dunia pernah mengalami hal yang sama. Nelson Mandela, misalnya, pernah bersumpah untuk tidak bekerja sama dengan lawan politiknya.

Namun setelah puluhan tahun dipenjara, ia justru memilih jalan rekonsiliasi, berdamai dengan mereka yang dahulu menindasnya. Keputusan yang mungkin mustahil ia bayangkan di masa mudanya, justru menjadi warisan terbesarnya.

Di Indonesia, kisah serupa bisa kita lihat pada perjalanan politik dari era sebelum kemerdekaan, merdeka, reformasi hingga kini.

Mengapa hal ini terjadi? Dari sudut pandang psikologi sosial, manusia terus berkembang. Pandangan yang kita anggap absolut di masa lalu, sering kali luluh oleh pengalaman hidup.

Realitas lebih kompleks daripada idealisme. Dalam proses itulah, jalan yang dulunya kita jauhi, tiba-tiba menjadi satu-satunya jalan yang masuk akal.

Di sisi lain, perubahan sikap bukan selalu tanda kemunafikan. Kadang itu bentuk kedewasaan. Seseorang yang dulu bersikeras tidak akan pernah terlibat politik, bisa jadi berubah pikiran setelah melihat bagaimana keputusan politik memengaruhi kehidupan banyak orang.

Yang dulu sulit membayangkan diri menjadi tentara, mungkin akhirnya masuk militer karena merasakan panggilan tanggung jawab dan pengabdian pada Tanah Air. Yang pernah ogah makan makanan laut, eh lha kok jadi chef spesialis sea food.

Yang dulu anti Jokowi, belakangan masuk istana dan jadi staf khusus. Sebaliknya pula, yang pernah getol narasi sosmednya menyerang Prabowo, lantas kini tegap berdiri menjadi pembela: pasang badan dan bak agensi PR :)

Hidup, pada akhirnya, adalah dialog panjang antara prinsip dan kenyataan. Dan di tengah dialog itu, manusia sering kali menemukan dirinya di jalan yang tak pernah ia bayangkan.

Maka, alih-alih menertawakan atau menghakimi orang yang berubah arah, mungkin lebih bijak jika kita merenung: bisa jadi suatu saat kita pun akan melintasi jalan yang dulu pernah kita hindari.

Karena hidup, bagaimanapun, selalu punya cara membuat kita belajar.

Thursday, August 28, 2025

Lari: Antara Hobi, Gengsi, dan Risiko

Belakangan ini saya melihat semakin banyak teman-teman yang mulai menekuni olahraga lari. Ada yang dulunya rajin nge-gym, gowes, atau main basket, sekarang sebagian beralih ke lari.

Uniknya, ada fenomena yang bisa disebut “segregasi olahraga”—seakan-akan ada kasta antar cabang olahraga.

Mirip seperti perdebatan antara penikmat kopi single origin dengan peminum kopi sachet: sama-sama kopi, tapi saling meledek.

Saya tidak masalah dengan tren lari. Justru bagus. Ada yang bilang FOMO (fear of missing out), tapi jangan salah—banyak juga pelari yang serius dan ideologis.

Menariknya, dulu ada yang menganggap lari itu olahraga tanpa nilai karena tidak butuh alat. Kalau tidak ada perlengkapan, tidak ada yang bisa dipamerkan. Padahal zaman dulu cukup kaos, celana, dan jam tangan sederhana dengan stopwatch.

Sekarang? Dunia lari sudah penuh dengan apparel dan gadget yang harganya bisa bikin geleng-geleng kepala. Fenomena “joki Strava” jadi bukti nyata bahwa gengsi dan validasi ikut bermain.

Di beberapa grup lari, sering muncul postingan seperti “masih pemula nih, baru bisa pace 4, 5, 6.” Bagi generasi awal FB Group Indo Runners, gaya posting semacam itu sering disebut humble bragging. Artinya, merendah untuk meninggi. Lucu juga melihat pola yang berulang.

Tapi ada satu hal penting yang sering dilupakan: lari bukan olahraga yang sepenuhnya aman, apalagi bagi yang mulai serius di usia 35, 40, atau 45 tahun.

Risiko kesehatan selalu ada, dan sudah banyak kasus orang yang mendadak kolaps ketika memaksakan speed atau jarak.

Sederhana saja: latihan lari harus bertahap dan terukur. Dengarkan tubuh sendiri lebih penting daripada mengejar likes dan komentar tepuk tangan di media sosial.

Jadi, buat yang baru mulai, jangan lupa warming up, jangan skip cooling down, dan jangan hanya lari demi gengsi atau ikut-ikutan komunitas kantor—apalagi kalau bos juga ikutan lari.

Kalau ada istilah “karier ketawa,” mungkin kita juga bisa menyebut fenomena ini sebagai “karier lari.” #eh

Monday, August 18, 2025

2,5 tahun kemudian: Tiba-tiba AI

Dihitung dari malam ini, postingan terakhir saya di blog, adalah di akhir Januari 2023. Dua setengah tahun lalu. Duh.

Lalu, di teras rumah Bogor, di bawah  dua pohon mangga dan 11 tanaman gantung, saya kembali mengklik "Postingan Baru".

2,5 tahun. Lalu tiba-tiba saya menulis di era kecerdasan buatan. AI.

Saya tidak membahas - karena sudah merasa selesai dengan pertanyaan-pertanyaan - apakah nge-blog masih relevan ketika AI seperti ChatGPT, Gemini dkk menjadi tempat bertanya, mentor, teman curhat, dan tumpuan mendapat jawaban. Bahkan menggeser Google dan googling yang menyajikan sumber jawaban. 

Sedangkan AI menyalipnya dengan menjadi - seperti saya bilang tadi - tumpuan tempat mendapat jawaban. Dengan bahasa kita yang sangat personal.

Ah, saya kan tidak membahas kebisaannya AI. 

Saya menulis di blog ini ya karena ingin menulis lagi. Soal AI, saya juga memanfaatkannya, untuk pelengkap bekerja, sebagai alat bantu dalam pekerjaan, dan rujukan pertanyaan acak alias random yang tiba-tiba merangsek liar di benak.

Kembali menulis blog ini pun, juga karena didorong oleh saran ChatGPT agar saya kembali nge-blog. Kembali menulis. Saya lupa detail sarannya. Esensinya, si aplikasi AI populer itu menekankan bahwa menulis tetap merupakan aktivitas positif yang mendukung produktivitas.

Dengan AI pula, bisa pula untuk mendapatkan ide. Bahkan materi tulisan blog pun juga bisa dibuatkan. Tinggal masukkan prompt. Jadilah.

Namun, saya tidak atau merasa tidak cocok jika menulis eh mengisi blog hasil dari dibuatkan AI. Nyari ide sih ya. Minta disusunkan kerangka, ayo saja. Minta di-review juga bisa.

Tapi kalau sampai dibuatkan, kayaknya enggak deh. 

Jadi, saya masih akan menulis blog ini dengan dengan metode pencarian ide di artikel ini

Apakah saya anti AI dalam blogging? Tentu tidak. Rencananya, saya akan minta AI memberi ulasan, saran dan kritik tentang tulisan yang SUDAH saya buat. 

Dari feedback ChatGPT, nantinya akan saya aplikasikan di tulisan berikutnya.

Besok saya lanjutkan, dengan tuturan lainnya.