Showing posts with label Tanjung Enim. Show all posts
Showing posts with label Tanjung Enim. Show all posts

Friday, August 1, 2014

LebaRUN & MudikRUN :)

Lanskap site tambang batubara PT Bukit Asam.
Welcome!!! :)
Minta difotoin ke mas-mas yang nongkrong :p
Yang ini selfie ...
Jembatan lama Sungai Enim.
Adidas AX Trail was here *halah :))
Jalur (sok) ngetrail ke site tambang.
Trek menurun dekat Kantor Pusat PTBA
Trek di sekitar Taman PTBA, arah base camp.
6,2 kilometer :)

Gara-gara "provokasi" dari temen-temen Grup FB Indorunners, mudik tahun ini juga saya sempatkan untuk berlari.

Tagarnya lebaRUN dan mudikRUN, melengkapi tagar sebelumnya, libuRUN :)

Jatah mudik 10 hari ini saya habiskan di kampung halaman istri saya, Tanjung Enim, kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Kota ini berjarak 200km ke arah barat laut dari Palembang.

Wednesday, July 30, 2014

Piknik-Mudik ke Air Terjun Bedegung


Lebaran hari ke-2 kemarin, kami pelesir ke air terjun Bedegung. Lokasinya di Tanjung Agung, Muara Enim, Sumatera Selatan.

Lokasi air terjun setinggi 100 meter ini dapat dicapai dari arah pusat kota Muara Enim selama 2 jam (47 km) atau jika dari Tanjung Enim 1,5 jam (32 km) ke arah selatan atau ke Baturaja.

Kebetulan, lebaran 1435H/2014 ini, kami mudik ke Tanjung Enim. Ini kampung halaman istri saya dan juga tempat kelahiran Kaka, kini 3 th 8 bln.

Sedangkan jika dari Palembang, ibukota Sumsel, jaraknya lumayan jauh, mencapai 223 km. Jarak ini setara 7 jam perjalanan darat.

Terdapat rambu-rambu penunjuk jalan menuju wisata air ini. Jalan masuk ke Bedegung ada di daerah Tanjung Agung dan terdapat plang selamat datang yang melintang di atas jalan sehingga terlihat mencolok.

Dari titik ini, jarak ke lokasi Bedegung sekitar 3 km melalui jalan aspal yang mulus meski sempit untuk papasan dua mobil.

Jangan kaget, jika di musim liburan panjang, termasuk Lebaran dan Tahun Baru, kita harus berbagi jalan karena padatnya kendaraan :)

Sekitar 700 meter sebelum masuk lokasi, terdapat pos retribusi bagi pengunjung. Tarif masuk dihitung per kepala @Rp 20.000. Rombongan kami 8 orang, jadi totalnya Rp 160.000,-

Setelah memarkir mobil di tempat parkir yang lumayan luas, kami lantas berjalan kaki sekitar 300-400meter ke arah perbukitan. Usai melalui jalan berundak yang menanjak, lantas menurun hingga di jembatan.

Tuesday, July 29, 2014

Selamat Pagi Indonesia, salam dari Tanjung Enim :)


Selamat pagi Nusantara, selamat mengawali hari Indonesia,

Pagi-pagi di hari kedua Lebaran, berkalung sarung, hawa di sini di Tanjung Enim 200 km arah barat dari Palembang, Sumatera Selatan begitu sejuk.

Ini kampung halaman istri saya, juga tempat kelahiran Kaka. Saya nulis postingan ini di depan kamar tempat si bocah lahir 3 th, 8 bulan lalu. Si bocahnya sendiri masih terlelap di kasurnya :)

Udara sejuk pas banget untuk ditemani secangkir kopi. Urusan kafein, saya sengaja meminggirkan kopi-kopi bermerk yang hilir mudik di iklan TV nasional.

Pagi ini, di salah satu sudut Nusantara, saya memilih Kopi Bintang. Ini kopi asli lokal Muara Enim.Butirannya diolah dari biji kopi dataran tinggi Semendo.

Monday, January 20, 2014

Dheg-dhegan Tanjung Enim-Bandara Palembang

Yang paling nggak enak itu adalah nggak bisa masti'in sesuatu dan yang kedua adalah terburu-buru.
Kalau dua-duanya digabung, di-mixer, dicampur, dikawinkan hasilnya:: dheg-dhegan :/

Senin ini saya pulang dari rumah mertua di Tanjung Enim, Sumatra Selatan ke Jakarta. Menggunakan jalur darat hingga Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembangdan diteruskan pesawat udara.

Yang bikin sewot, sudah terjadi sejak pagi. Travel yang janjinya menjemput jam 6, eh ternyata baru nongol di depan rumah jam 7. Errggghhhh....

Ketika mengisi bensin di SPBU Muara Enim, saya sempetin nanya ke om sopir.

"Kalau sampai bandara jam 12 bisa ga, om?"
"Wahhh gak biso!"

Wadhuhhhh... Kok kemarin resepsionis si travel bilangnya, "Pesawat jam satu siang kan? Ohh bisa-bisa kok, kita jemput jam 6 ya."

Jadi deh, sepanjang jalan was-was. Bakalan telat nih, terlambat neh, ketinggal pesawat. Lalu, tiket hangus, beli tiket lagi. Hadooohhhh...

Travel Srikandi Tanjung Enim - Palembang pp

Wednesday, August 15, 2012

Mudik



Sabtu kemarin saya mengantar istri dan si kecil Kaka mudik ke Tanjung Enim, Sumatra Selatan. Dengan Lion Air berangkat dari Cengkareng, Bandara Soekarno-Hatta tujuan Palembang, ini penerbangan pertama bagi mereka berdua. Ada kekhawatiran pada awalnya, juga antusiasme.

Sejatinya, kami ingin pulang kampung seminggu lebih awal. Lantaran mesti beberes rumah usai pindahan, akhirnya mundur satu pekan.

Persiapan kami bukan sekadar memesan tiket dan memastikan jemputan di bandara. Bukan teknis seperti itu. Malah kami, terutama Bundanya Kaka, sempat was-was bagaimana dengan Kaka yang masih setahun 8 bulan untuk terbang dengan pesawat.

Yang kami tahu dan dengar, mengajak anak kecil apalagi bayi mesti hati-hati. Pertama, kalau boleh mengurutkan, soal pengaruh tekanan udara di pesawat terhadap gendang telinganya. Tekanan udara yang berbeda, dikhawatirkan berdampak pada pendengaran si kecil.

Saturday, June 16, 2012

Pulang



Dari kegemaran saya soal travelling, perjalanan pulang tetaplah yang paling saya sukai.

Pulang bagi saya bukan lagi identik tentang satu kota tujuan. Sampai usia 30 tahun saya memang tinggal di kota kelahiran Jogja.

Lantas menikah dengan Bundanya Kaka yg berkampung halaman Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Kini, kami tinggal di Palmerah, Jakarta.

Perjalanan ke tiga kota itu saya anggap sebagai pulang. Dari Jakarta, saya menikmati perjalanan ke Jogja. Begitu juga ketika kembali ke Ibukota.

Deru derak roda kereta saya nikmati. Pula, keramaian di ruang tunggu bandara. Juga, hiruk pikuk di Merak dan aroma ruang-ruang kapal feri menuju Bakauheni ketika menyeberang ke Sumatera.

Thursday, July 21, 2011

Mio

Ini bukan tentang Yamaha. Juga bukan ngulik jeroan teknologi matic. Bahkan nggak ada sangkut pautnya ama kucing tetangga bernama sama.

Yang pasti, kalau sampeyan sudah di dekat Mio, perut bakal teraduk-aduk. Isi kepala seperti dikocak-kocak. Sekujur badan bisa jadi terantuk dan limbung.

Saturday, December 18, 2010

Kaka, my daily sunshine


Selasa wage, sore di 7 Desember 2010, hamdalah menggema dari lantai atas hingga bawah di rumah Tanjung Enim, 200 km ke arah selatan Palembang, Sumatera Selatan. 

Tanpa google translate pun, tangisan pertama selaras dengan doa kami, “Hei, dunia! Aku datang meramaikan atmosfer, menceriakan bunda dan ayah, memberi manfaat bagi sesama!”

Semoga pula, kelahiran si ganteng Rakha Pramudya Gunarba yang tepat pada Tahun Baru Hijriah, 1 Muharram 1432 H dan diiringi adzan ashar itu, membumbungkan harapan orang-orang yang mencintainya. Sapaan akrab jagoan kami yaitu Kaka. Boleh pula mengambil dari nama depannya, Rakha.

Doa dan asa melekat pada makna ‘hidup nan menyenangkan’ yang tersemat pada ‘Rakha’ (kami serap dari kosakata di jazirah Arab),  lantas ‘bijaksana’ dalam ‘Pramudya’ (bahasa Sansekerta) dan ‘Gunarba’ tentu nama ayahnya qeqeqe.

Semoga buah hati kami yang lahir dengan berat 3,3 kg dengan proses normal menjadi putra yang soleh, cerdas dan bijaksana dari hati, perkataan dan perbuatan. Amien! :D 

Salam blogger...
 (PS: di foto #3, ada benang di kening Kaka untuk meredakan cegukan. Bisa? Yup qeqeqe)



Foto tengah, kamar di belakang teras lantai atas rumah Flamboyan, tempat lahir Kaka

Wednesday, March 17, 2010

Atia dari Linggau

Atia, putri dari kakak laki-laki istriku, berambut kriting. Itu musabab tante dan budhenya memanggil mesra anak 4 tahun itu, Kriwil. Mukanya lucu, saking lucunya jadi lutu, boleh juga anak gaul nyebut: lutyu. Ih lutyuna... kwek kwek kwek!

Atia si perajuk manja. Datang di Rabu sore bareng bapak-ibunya bermobil Suzuki Vitara. Langsung dari Lubuk Linggau, 4 jam dariTanjung Enim, 8-9 jam dari Palembang ke arah Bengkulu. Hari pertama mengenalku selalu berlindung di balik ibu dan tantenya.

Atia malu-malu, menjerit kencang begitu tanganku terulur menawarkan gendongan. Makin histeris ketika aku mengedipkan mata sebelah. Genggaman tangannya mengerat-ogah mendekat tapi mata binarnya penuh ingin tahu.

Atia melengking kegirangan ketika aku gendong tinggi-tinggi sore harinya setelah tiba-tiba ia nemplok di pundakku. Dasar bocah balita, tadi pagi emoh sekarang minta gendong.


Atia seperti prangko. Lengket padaku yang nyaris jadi amplopnya. Minta gendong tiap melihatku, mencari-cari sampai ketemu. Ssttt... jangan coba bilang aku lagi pergi, kalau kau tak bisa meredam tanyanya.

Atia, bak sarapan batre alkalin, lithium atau malah polimer. Layaknya laptop mutakhir, Core II Duo dengan RAM 2 Giga DDR 3. Bibir dan polahnya beriringan lincah tak berjeda. Kalau kau punya Handycam, siapkan 10 kaset Mini DV. Kalau kau bawa kamera digital, kartu memori 16 giga hanya cukup untuk 3 hari merekam tingkahnya.

Atia tetaplah Atia. Pagi-pagi itu di rumah simbah Sami di Tanjung Enim, ia sudah melengking manja. Merajuk ke ibu-bapaknya segera main ke bawah. Mereka di lantai dua Rumah Bagus, sebutan tetangga kanan kiri simbah Sami.

Atia menapak cepat di tangga menurun. Bukan menerebas dapur mencari roti-fresh-from-the-oven bikinan Budhe Tuti, bukan pula menghambur ke teras bermain bareng Ando sepupunya.

Atia tanpa menoleh di ujung tangga langsung belok kiri, lalu ke kanan dan menjentikkan jari mungilnya di badan pintu. Pintu kamar kami, omm dan tantenya yang pengantin baru belum ada 2 kali 24 jam.

Atia sejatinya tidak mengetuk. Jejarinya masih terlalu lemah untuk mencipta suara ketukan. Pertemuan ujung jarinya dengan pintu cuma berbuah tik-tik-tik bukan tok-tok-tok.

Atia merengut. Cemberut.

Atia tak sabar menunggu gendang telinga kami memerintah tangan membukakan pintu. Dara kecil itu segera menarik gagang pintu tepat ketika kami yang di dalam kamar ngobrol menoleh ke pintu. Gagang pintu bergeming, per-nya masih terlalu liat dibanding otot lengan Atia.

Atia alih-alih tertawa. Berbalik badan meski Simbahnya membantu membuka pintu. Kami hanya bisa menatap punggungnya yang merajuk di kuping Simbah Sami.

Atia bilang, gara-gara jadi penganten ommnya tidak sayang lagi padanya. Ommnya selalu dekat dengan tantenya.

Atia cemburu. Matanya berkaca begitu menangkap basah omm-tantenya ngobrol. Tak ada Simbah dalam jangkauan tangannya, ganti ia curhat ke ibunya. Uneg-unegnya sama saja: Omm-nya sudah lupa pada Atia.

Atia kembali tertawa jelang berangkat ke Palembang. Menjenguk kerabat dan jalan-jalan: beli baju, pamitnya. Minta gendong lagi sambil foto-foto.

Atia tak mau lepas. Pelukannya merenggang ketika seisi rumah sepakat koor: Omm-Inung-akan-nyusul-Atia-pakai-mobil-Panther-merah. Nanti-ketemu-di-Palembang-yaaaa...!


Atia mengangguk. Terbayang sudah. Potret-potret di Jembatan Ampera, mencelupkan Pempek Candy di mangkok cuka dan belanja baju di Pasar 16 Ilir. Omm Inung pasti datang. Passsti datang.

Atia tak henti bertanya sesampai di kota terbesar Sumatera Selatan itu: mana Omm-nya? Jangankan di Palembang, sampai Atia terbang piknik ke Jogja, kota tempat kuliah Ayah-Ibunya dulu, Omm-nya tak juga menyusul. Atia balik ke Linggau-pun, tak ada kabar berita.

Atia mengadu pada ayahnya. Ayah menelpon Tantenya. Laporan langsung dari Linggau: Atia bilang, Omm-nya ndak nyusul ke Palembang, Omm Inung pembohong!

Atia tak tahu. Kami sudah balik Jakarta. Di rumah Asofa, Kebon Jeruk, omm-nya ini cuma bisa nyengir heran: kok masih ingat aja ya? Tantenya bilang: Atia anak pintar, memorinya kuat.

Atia dapat doa Omm dan Tante, pintar-pintarlah kau, Nak, sampai kuliah di Jogja kayak Ayah-Ibumu. Tapi bolehlah kau lupakan kalau Omm-mu ini pembohong, he-he-he.

*** Cipaku-Kebayoran Baru, Asofa-Kebon Jeruk, 17032010 ***