Sunday, August 3, 2008

Otoritas

Seorang pemimpin umum media cetak skala nasional pernah meledek reporternya. Ledekan tersebut malah menjadi ironi bagi sang peledek. Ketika itu, awal 2008, berlangsung diskusi rubrikasi media tersebut.

Sang reporter mengutarakan beberapa informasi dan menggunakan istilah angle alias sudut pandang. Ia melafalkannya sesuai lafal yang tepat, ‘aeng:gel. Ndilalah, sang pemimpin umum spontan meledek plus menyalahkan pelafalan angle tersebut. “Keliru tuh, ngawur,” sergahnya. Beliau lantas mengkoreksi dengan pengucapan: ‘einjel. Uppsss, IMHO/In My Humble Opinion, pikir si reporter, lafal seperti itu sebenarnya untuk angel atawa malaikat.

Ndilalahnya lagi, peserta diskusi yang terdiri dari redaktur pelaksana dan beberapa reporter terdiam mendengar koreksi yang keliru tadi. Mungkin sungkan, mungkin malu atau bisa juga ragu kalau ternyata memang si reporter yang keliru. Si reporter juga terdiam, bukan karena malu atau tidak yakin dengan pelafalannya, melainkan kasihan: pelurusan kesalahan berbahasa, terjebak dalam rasa hormat pada pemegang otoritas. Memang ironi, meluruskan omongan seseorang yang terlebih dulu, dengan super PeDe, meledek pihak lain. Wuadhuh!*