Tuesday, December 2, 2008

SemaNgat!!!

Abis jalan-jalan biar gape nulis cepat ke http://www.rayakultura.net punyanya mbak Naning Pranoto. Wuaahhhhhh...Lets Go!!!

Thursday, November 27, 2008

Pengen!

Minggu ini pengen :
-sembuh dari flu berat yg udah 5 hari, hidung mampet kayak tenggelam & batuk2 sampe malu ama temen2 kantor hiks3
-mulai jogging (lagi) minimal 30 menit seminggu 2x, sukur 3 kali
-punya flashdisk 2/4 gb
-beli Bola Vaganza ed November buat referensi kerjaan
-nyuci buanyak banget
-punya stok artikel biar minggu besoknya nyantai
-ke Bogor atau Ancol (?)
-ampir lupe, cetak kartu nama!

Wednesday, October 29, 2008

Senja di Gunungkidul

Mengulik senjanya Hayu, aku jadi teringat lagi sepotong senja yang aku sesali hingga kini. Waktu itu otw pulang dari hunting foto di Wanagama, Gunungkidul, bareng Zen, 2 Januari 2004.

Di sebuah kelokan menjelang tikungan Irung Petruk, masih di tlatah kawasan karst itu, Zen menempuk pundakku yang sedang memainkan stang Kawasaki Kaze. Dia menunjuk semburat senja di horizon sebelah kiri kami.

Kulirik sekilas, busyet dah. Biru gelap, oranye, merah tua begitu gagah dengan siluet hijau gelap dari pepohonan yang maliuk-liuk mengikuti alur perbukitan. Yupss, bener2 gagah karena dominasi biru gelap itu.

Sayang, aku enggan menarik tuas dan menginjak rem. Aku lelah sekali dan hari menjelang gelap, alasanku saat itu. Lagian, memori Kodak C7220 udah habis. Meski film di Nikonnya Zen mungkin masih tersisa 2-3 frame.

Hmm, keengganan yang kusesali setiap kali semburat oranye senja menerpa wajahku.
Btw, trims untuk mentor fotografiku, Adrozen Ahmad :)

Tuesday, October 14, 2008

Syukuran Produksi Film Kambing Jantan the Movie

@ Gaul ed. #40, 13-19 Okt 08

Fenomena ngeblog (blogging) ternyata menarik untuk diolah jadi sebuah film drama komedi. Situs internet yang biasanya diisi dengan uneg-uneg pribadi namun terbuka untuk dibaca banyak orang itu emang udah booming sejak lama. Vito Production rupanya tergelitik ngangkat salah satu blog yang fenomenal yaitu kambing jantan. Sang pemilik blog adalah Raditya Dika yang bakal berperan sebagai dirinya sendiri.

Sebagai penanda dimulainya syuting, Vito Production menggelar syukuran produksi film Kambing Jantan the Movie di Dapur Sunda, Cipete (10/10). Acaranya komplit dengan potong tumpeng bareng tim produksi. Rudi Soedjarwo sebagai sutradara motong tumpeng pertama kali lalu diserahkan pada Dika. Artis pendukung film seperti Herfiza Novianti, Sarah Savitri dan Edric Tjandra tampak kompak ngumpul meramaikan acara sekaligus mohon doa restu.

Meski sekilas seperti cerita yang diadaptasi dari novel ternyata film ini nggak bener-bener mutlak bersumber dari isi blog dan novel udah duluan terbit. “Cerita film ini bukan adaptasi dari blog atau novel. Ini semacam versi tambahan,” terang Raditya waktu Gaul nyamperin doi. Potongan terbesar kisah dalam film yang bergenre drama komedi ini seputar pengalaman Dika dan Harianto yang diperanin Edric Tjandra selama kuliah di Universitas Adelaide, Australia. Buat pengambilan gambar selama 10 hari disana, Dika dan Edric terbang ke negeri Kanguru itu pada Senin, 13 Oktober 2008. (teks&foto: inunx @ Gaul)

Friday, October 10, 2008

Check out my Facebook profile

facebook
Nur Iman Gunarba-Inung
Nur Iman Gunarba-Inung has:
1 friend
2 friends
1 friends
photos
0 notes
0 wall posts
0 groups

Check out my Facebook profile


Hi Inungarea,

I set up a Facebook profile where I can post my pictures, videos and events and I want to add you as a friend so you can see it. First, you need to join Facebook! Once you join, you can also create your own profile.

Thanks,
Nur

To sign up for Facebook, follow the link below:
http://www.facebook.com/p.php?i=1497007803&k=S4M32YV5S4ZM5GDDUBZ3PV&r
This e-mail may contain promotional materials. If you do not wish to receive future commercial mailings from Facebook, please opt out. Facebook's offices are located at 156 University Ave., Palo Alto, CA 94301.

Wednesday, October 8, 2008

"Halah...masih dolan-dolan kesini koq!"

Itu kata Cutiq si kucing arab (baju kotak-katok, berkacamata), tadi pk 7 pas pamitan di lantai 4, sarang para kalong Tanjung Duren. Lantas, alumni Unsoed ini cipika-cipiki ama Mafie dan Astrid (berjilbab hitam dan atunya pink).

"Bye-bye, see u nextime, nextdoor!" ujarnya padaku, tanpa cipika-cipiki :)) dan kami berjabat tangan komando sebelum farewell jeprat-jepret. Ciaoo....

Thursday, September 25, 2008

Kalong Tanjung Duren


Yupiieee... kalo Batman bin kalong van kelelawar meluncur dari sarang begitu petang berganti pekat, kelelawar Tanjung Duren ini baru ninggalin markas selepas tengah malam pergantian tanggal.

Ketika lampu-lampu jalan hanya menerangi aspal basah, laju Espass kami pun sendirian menguasai lebar ruas jalan. Di tengah mata yang menyipit saking terlalu intim dengan MS word, Mozilla Firefox dan YM serta Message PopUp, kami melaju dari kantor di belakang Taman Anggrek mengarah ke Bekasi Barat. Sebenarnya, ini perjalanan biasa setiap hari Rabu dan Kamis, hari deadline tabloid Gaul. Kami berenam, penghuni ruang redaksi lantai 4, udah jadi prosedurnya diantar ampe rumah masing-masing. Tapi, malam itu kami punya rencana lain...Sahur di McD 24 jam di Pangkalan Jati, 01.33--02.37 wib. Yihaaa...

Wednesday, September 24, 2008

Xtravagansa!!!


Silaturahmi Mantan Aktivis Mahasiswa dan Aktivis Pers Mahasiswa se-UGM, di Rg. Granada -Univ. Paramadina, Jakarta, Senin 22 September 2008

Pantengin tampang-tampang sumringah lainnya yang sempat terekam Nikon-nya Mardian dan Canon PowerShot tercinta, di http://www.flickr.com/photos/inung_gunarba/ atau http://inungitong.multiply.com/photos/album/2/

Tuesday, September 23, 2008

Ketika 'Kort' Datang


Ketika tiap bulan kamu disodori majalah musik ini yang di halaman tengahnya terselip lirik lagu dengan kunci-kunci kort gitar bahkan kadang not balok.... Apa yang melintas di kepala?

Di sini bisa mantengin lirik dan kort Stairway to Heaven-nya Led Zeppelin, Smell like Teen Spirit kilikan Nirvana, hingga Betapa-nya SO7 dan koleksi Andra cs: Hitamku dan Musnah.

Edisi bulan puasa ini, kortnya Opick, Hadad Alwi, dan lagu-lagu religi Gigi bersanding dengan Green Day serta Foo Fighter. Juga ngikutin bincang-bincang sama Ian Antono, Donny Fatah atau Fedi 'Kotak' Nuril.

Hmm, seperti pagi tadi ketika jeng Titi sang sekretaris redaksi membagikan edisi terbaru majalah ini yang masih satu grup dengan media kami. Segera angan saya melambung, memelototi poster musisi yang menjadi bonus majalah dan kemudian membayangkan menyandang sebuah gitar bolong. Bukan untuk memainkannya, memang. Lebih tepat, belajar memetiknya. Jreeenggg....

Monday, September 22, 2008

Telepon dari Pasar Minggu



"Hallo Nung, aku Hendra," repet seseorang dengan dialek Batak di speaker Motorola-ku, pagi menjelang siang ini. "Masihkah di majalah sawit itu?" lanjutnya sebelum aku bertanya siapa 'Hendra'. Rupanya dia, tepatnya Pak Hendra, kenalanku di JCC pas liputan Sampoerna Agro Expo, April silam.

“Gini Nung, aku sekarang mengelola majalah bulanan perkebunan. Kita butuh teman-teman redaksi buat bikin ramai nih,” katanya sambil menyebut sebuah departemen di kawasan Pasar Minggu, pemangku majalah itu. Kujawab bahwa aku sudah tidak lagi nongkrong di Cibubur, kantorku dulu. Juga tak lagi bergelut dengan harga CPO yang membumbung pada angka $1300/ton dan lantas bummm… rubuh di kisaran $700/ton dalam selang 3-4 bulan.

“Saya sekarang di tabloid remaja,
Gaul, di Tanjung Duren. Arah Grogol, Jakarta Barat, Pak,” jawabku setelah dia bertanya kemana sekarang aku berlabuh. “Jauh banget kamu pindah,” lidah Bataknya makin nyaring dan disambung dengan tawa hahaha. Mungkin maksudnya ‘jauh’ adalah soal perbedaan ranah media, tapi juga bisa menyoal jarak antara Cibubur-Tanjung Duren yang dari ujung ke ujung. “Sering ketemu artis kau!” celotehnya dan kujawab, tiap hari lah Pak! Tak terasa lidahku mendadak Batak. Tapi gagal total, jangankan lidah, seumur-umur bibirku saja belum pernah menjangkau bibir bidadari Batak. Hmm… mendadak curhat nih!

“Ya itulah, kapan-kapan kalau Inung ada waktu mainlah ke kantor yang di Pasar Minggu ya! Lantai 3 gedung B,” undangnya yang aku iyakan. Kubilang juga, aku akan baca majalahnya dulu biar nanti ngobrolnya lebih cair. Di ujung sana, Pak Hendra menunjuk beberapa toko buku besar tempat majalah itu ikut menyesaki outlet majalah dan koran. “Nanti bisa lah kau bikin wawancara perkebunan sama artis-artis itu ya,” katanya sebelum menutup perbincangan ramai kami. Siap komandan!!!

Hmm, bulan puasa ini memang penuh berkah.

Semoga menjadi rejeki, haiyaaa....

Tuesday, September 16, 2008

I'm here now!!!

Di sini lah kini, di sisi barat Jakarta yang nihil langit biru, bahkan biru muda pun sekalipun. Terlapis oleh asap menggantung. Jangan tanya sunrise, kutunggu selepas sahur sabtu kemarin pun yang ada hanya semburat oranye. Jangan harap pula keelokan matahari tenggelam datang tiap petang. Tapi, kalau memang beruntung, kadang kala bulat-merah-merona-menjilat begitu cantik di tepi horizon.

Disini pula, kusapa dunia dari dinginnya lantai empat. Setelah naik tangga lapis tiga yang bikin lututmu gemeretak, selamat datang di dunia yang ramai, dunia yang tak benar-benar lelap.***

Sunday, September 7, 2008

Sabar-sabar!


Puasa hari ke-7, Minggu 7 September 2008

Semilir angin Ibukota dari jendela dan kipas angin tak mampu mengusir hawa gerah siang ini. Udara panas menerobos ke tiap kamar rumah kosku, Kalimalang, Halim. Tak ayal, tiap penghuninya tak tahan berdiam di kamarnya. Alih-alih mencoba mencari udara segar di luar kamar, yang ditemui tetap saja sergapan hawa panas yang menerpa wajah di koridor samping atau di teras yang penuh tanaman pot sekalipun. Toh, 1-2 penghuni kos tetap memilih meninggalkan kamar. Tak lagi berharap mendinginkan badan memang, tapi sekedar menengok dan singgah di kamar kawan yang lain, berharap ada suasana yang berbeda meski gerah dan lapar tak bisa ditepis.

Aku sendiri memilih mengetik. Brainstorming-lah sambil memilih Metro TV di layar Samsung. Tidak aku tonton karena mataku mengkuti irama jemari di keyboard. Tayangan TV kutangkap dengan indera telinga daripada mata, TV yang audio visual lebih sebagai media audio, nyaris radio. Metro lantas menanyangkan sesi workshop program Eagle Award, sebuah ajang tahunan kompetisi produksi film dokumenter. Aku sejenak melirik layar kaca. Aha, dari belasan orang yang tertangkap kamera, ada dua wajah yang kukenal: Andari dan Lutfi, keduanya perempuan. Yang pertama, pemenang pertama Eagle Award tahun 2006 dengan film Joki Kecil-nya. Wajah yang kedua adalah Lutfi, cewek berjilbab, sebagai finalis dan kini mengikuti workshop. Keduanya aku kenal di komunitas pers kampus Bulaksumur, B21, Gadjah Modo University.

Pintu kamar diketuk pelan, daunnya berderit lirih. Sepasang mata dibaliknya melongok ke dalam. Ya, masuk saja, kataku. Seorang teman kamar sebelah rupanya. Segera ia menggelosor di ranjang di belakangku, bosan terlihat di rona mukanya. Matanya berkedip-kedip malas, sejenak ke arah tv, mimiknya makin surut.

Perhatiannya lantas beralih ke monitor komputer. Sudut mataku menangkap ia membaca ketikanku, biarin aja. Lantas celetuknya Emangnya ngetak-ngetik kayak gini bisa ndatangin duit? tanyanya terdengar sinis di siang panas ini.Amieeennn, jawabku setelah sebelumnya menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengulur urat yang tiba-tiba menegang. Sabar-sabar, cobaan puasa, batinku menghibur.*

Ilustrasi: Love Hate Love, Pameran Grafiti, LIP Jogja, 20/09/2007

Tiga Hari Bareng Aspire One, Kepincut deh...



Mumpung Eko, temanku, pulang kampung ke Jawa, dan meninggalkan Acer Aspire One-nya di kamar, aku menyempatkan menulis beberapa artikel dan postingan ke blog. Juga, mencoba mengetik 10 jari di keyboard yang mungil. Lumayanlah, tiga hari ini bisa ngrasain laptop berbodi putih bersih ini. Jumat kemarin Eko berangkat dari Gambir dan akan tiba di Ibukota pada Senin subuh.

Sepertinya asyik juga bekerja dan mengetik di laptop mungil ini. Aspire One sejajar dengna Asus Eee PC dan kemudian disusul laptop mini lansiran Dell. Kabarnya Acer memangkas harga dari US$ 420 menjadi US$ 360 alias Rp 3,24 jeti. Ehm, jadi pengen juga nih nenteng laptop ini. Apalagi diperutnya, kapasitas hardisk diupgrade hingga 120 gb, bandingan spek yang sebelumnya hanya 8 gb. Tentunya soal harga

dan spek perlu di konfirm lagi. Kapan nih Aspire One seri upgrade mejeng di etalase Ambasador atau Mangga Dua? Sabar... masih indent koq, hehehe. Lagian, jelang Lebaran, kantong makin kering sedangkan kebutuhan juga menggunung. First think first, moga segera sign kontrak di Tanjung Duren, kerjaan di Manggala beres dan cair sebelum lebaran (kemungkinannya sih fifty-fifty), terus pul-kamp ke Jogja bentar, balik lagi ke Jakarta. Laptop? Ntar dulu deh. Lha kalo nikah? Amien, wish we can make it!*

Kucing Garong Nyaris Dapet Tongkol

Layar kaca Sharp berkedip-kedip sejurus jemariku memencet remote control. Seorang kawan laki-laki melintas di ruang tengah dan bertanya basa-basi.

“Lagi santai nih?” tanyanya melambatkan langkahnya menuju ruang sebelah.

“Iya nih. Tapi acara TV-nya nggak ada yang menarik,” jawabku tanpa menoleh.

“Metro dong, presenternya cantik-cantik,” katanya menyentil seleraku.

“Lagi nggak cari yang cantik. Yang manis saja, kayak yang disini nih,” kataku merujuk pada gadis manis yang dari tadi membaca koran di samping depanku, membelakangi layar kaca, sama-sama duduk lesehan di ruang tv ini. Ia sekarang di desk ekonomi sedangkan aku di desk sosial budaya.

Kawan laki-lakiku segera berlalu setelah sebelumnya menyeru, halah! Aku terkekeh.

Si gadis manis mengangkat dagunya. Memandangku sejenak dan meruncingkan bibir seksinya seperti biasa jika ia akan mulai bicara. Cumipok, kata orang. Menggoda untuk dicium, kira-kira begitu artinya. Jangan coba mencari arti baku di kamus. Kalau primbon mungkin ada.

“Sudahlah Mas!” katanya. Matanya seperti menusuk lembut. Mau tak mau, tidak bisa tidak, aku memainkan sudut mata ke arahnya. Mulutku menyeringai siap membalasnya dengan godaan atau lebih tepatnya rayuan, seperti biasanya.

Rupanya ia lebih sigap dan mendahului gerakan bibirku.

“Sudahlah,” ulangnya lagi, “Enggak usah kucing-kucingan lagi!”

Aku tidak menanggapinya dengan verbal. Bibirku menyungging dengan sedikit menarik bibir bawah ke dalam yang membuat bibir atas terdorong maju sedikit. Memonyong, menirukan gerakan bibirnya tadi. Ia balas tersenyum. Seolah tak peduli, kembali membaca koran yang ia letakkan di karpet. Memberi kesempatan mata laki-lakiku mengelus rambut lebatnya yang berbando merah. Juga, menuntun bola mataku sekilas menelusuri belahan di balik kaosnya begitu ia menunduk. Tanpa mengangkat dagu, menegakkan punggungnya sebentar, dan seperti mampu membaca isi kepalaku, ia melirihkan suaranya, “Nggak ah. Kata ... (sekarang akuntan publik di Malang), kamu jalang. Cape deh!”

Aku terkekeh menutupi kaget campur gondok. Seperti kucing nemu tongkol keburu ketahuan empunya. Demikian AW, karibku berkisah ‘nasib malangnya’ jelang sahur tadi.***

Mesjidmu, hatimu


Begitu tertulis pada plakat di masjid Al Alam, Cilincing, Jakarta Utara yang oleh masyarakat sekitar disebut juga Masjid si Pitung. Konon, pahlawan-jawara di masa kolonial Belande sering sholat disitu. Maksud plakat itu, mungkin, kurang lebih mengingatkan kita agar turut memakmurkan masjid, tempat kita beribadat, menyapa Tuhan, memanjatkan doa dan juga gaul. Di masjid, yang tua bisa berbagi cerita atau malah diskusi. Yang muda boleh pula berkawan dan meluaskan pertemanan: antarkawan sekampung sesama jama'ah masjid maupun dengan kawan pegiat masjid dari masjid tetangga.

Pertautan hati jamak pula yang berawal dari masjid. Seperti cerita seorang teman padaku setelah sahur tadi. Masa kecilnya, kira-kira usia 4 SD, ia luangkan pula di masjid terutama saat puasa. Ia sebenarnya dari keluarga abangan, “Sholat bolong-bolong. Rajin sholat pun saat Ramadhan doang,” akunya. Toh, ia bersemangat ke masjid terutama ketika ta'jilan, buka puasa bersama. Di kampungnya, ta'jilan anak-anak dipisah dengan rombongan orang dewasa dan diisi dengan semacam pengajian/kultum yang dikemas interaktif untuk menarik anak-anak. Materinya berkisar tentang kisah nabi-nabi maupun sahabat nabi dan rasulullah. Ringan, edukatif nan menghibur. “Mas Afif, Dadang, Narto,” katanya mengenang mas-mas pengampu kultum ta'jilan.

Tampaknya, kemasan kultum yang bermateri kisah para nabi terbilang berhasil menarik perhatian anak-anak, pun temanku tadi. Ia tekun menyimak tuturan mas-mas dan mbak-mbak Remaja Masjid/Remas. “Aku rajin mengacung dan menjawab pertanyaan tentang cerita nabi,” katanya mengenang. “Misalnya, nama putra dan istri Nabi Ibrahim atau nama kota dan nama perang jaman Rasulullah,” tuturnya. Ketepatan jawabannya didukung oleh kegemarannya membaca buku-buku perpustakaan di sekolahnya. Sepintas otaknya tokcer. Tapi, “Jangan tanya soal bacaan ayat atau hadist sesederhana juz amma pun,” katanya sambil terkekeh. Sekolahnya di SD negeri dan terutama faktor didikan agama di keluarganya membuatnya kurang familiar dengan Al quran dan hadist.

Meskipun demikian, di mata teman sebayanya dan mas-mbak Remas pengampu kultum ta'jilan ia terhitung cerdas dan bersemangat. Ia pun menjadi salah satu anak emas. Acungan jarinya dirindukan jika ia tidak datang ke pengajian. Lantang suaranya yang tanpa malu-malu demi menjawab kuis dari ustad meramaikan tiap sore jelang berbuka.

Soal bacaan surat dan hadist yang terbata-bata, malah makin membuatnya menjadi perhatian. Pun dari seorang lawan jenis. Si teman perempuan sebaya dengannya, kelas 4 SD namun bersekolah di Muhammadiyah yang, tentu saja, telah lancar mengaji dan hapal luar kepala surat-surat Quran dan hadist. Kepada teman-temannya, si cewek bahkan bikin pengakuan soal temanku itu. ”Aku pengen jadi pacarnya. Kalau wis pacaran nanti aku akan ajari dia ngaji,” ujar temanku menirukan testimoni teman-temannya yang mengutip proklamasi cinta si cewek. Pengakuan itu beredar cepat di kalangan teman-teman. Tak ayal menjadi ledekan.

Dasar bocah, temanku cuek saja menanggapi cinta si cewek. Cuek bukan karena tak peduli tapi tidak begitu ngeh dengan ucapan seperti itu. “Pokoknya aku ngerasa senang saja karena tahu kalau diperhatikan. Soal cinta nggak tahulah,” katanya. “Mungkin juga karena bawah-sadar ngerasa minder karena bapaknya tokoh agama di kampung. Haji pula,” akunya lagi.

Konyolnya, meski tahu nama si cewek, ia malah belum mengenal benar sosok dan tampang cewek yang menaksirnya walau tiap sore berada di ruang yang sama. Katanya, “Aku kan main ke masjid ya baru saat itu. Dari lahir memang asing dengan masjid atau mushola.” Apalagi si cewek, menurutnya, berasal dari kampung sebelah meski kedua kampung bergiat di masjid yang sama. “Akrab dengan teman laki lain kampung ya pas puasa itu pula. Apalagi dengan teman cewek, blas nggak kenal sebelumnya,” tuturnya. Lantas tanyaku, mereka pacaran nggak akhirnya? Ia menggeleng, “Bapaknya haji. Kaya. Meski masih kecil tetapi aku sudah bisa merasa kalau ada yang tidak sepadan diantara kami.”*

Kabar dari Kawan yang Hilang


Seorang kawan yang menghilang 4 bulan dari peredaran kembali kutemukan. Ia lantas berkabar menjelang aku berangkat sholat Jumat pertama di bulan puasa ini. “Dalam waktu dekat. Sangat dekat!” katanya begitu menyangatkan di ujung telepon. “Setelah lebaran? Wah selamat ya!” sambutku, yakin dia akan berubah status setelah Ramadhan usai. “Emmm, sang...ngat dekat!” jawabnya dengan intonasi tertahan nan dalam. “Waks...baru kali ini mBak, aku mendengar ada orang nikah di bulan puasa,” kataku sambil terkekeh. “Congrats ya,” sekali lagi aku menyelamatinya. Dia terkekeh senang mendengar permintaanku agar tak lupa mengundangku menyaksikan pernikahannya.

Ehh...pertanyaan dimana, kapan dan dengan siapa si mBak bakal menuntaskan masa lajangnya malah terlewat oleh perbincangan ramai kami selanjutnya. Di dera bunyi tut tut pertanda HP low batt kami bertukar tentang kabar kami masing-masing, juga kabar kawan-kawan sekantor dulu di Cibubur.

Ia masih seperti dulu, berapi-api meletupkan semangat dan etos kerja profesional. “Aku di Bangka sekarang, dari Mampang ke arah Kemang,” katanya tentang kantor barunya di Jalan Bangka, Jakarta Selatan. Posisi redaktur di media cetak dan tengah sibuk bersiap kuliah jenjang S3 di UI menjadi kesehariannya sekarang. “Kemarin barusan wawancara Rachmat Witoelar di KLH trus tadi baru saja nge-mail revisi artikel untuk BSN,” jawabku begitu dia bertanya kerjaanku akhir-akhir ini. Obrolan hangat kami berakhir sejurus mataku mengerling ke jam dinding, 11.25, setengah jam lagi adzan sholat Jumat. “Keep in touch ya!” katanya. Siip!

Friday, September 5, 2008

Temanggung Pesta Tembakau, Sumbing Menyeru-nyeru


Masa panen tembakau di Tembakau tahun ini akan berlangsung lumayan lama, 2-3 bulan. Begitu Kompas Minggu menulis. Bukan soal tembakau sebenarnya yang membuatku teringat tentang Temanggung dengan tembakau yang konon terbaik di Tanah Air. Ya iyalah, kalau bukan terbaik enggak mungkin dua raksasa Gudang Garam dan Djarum membangun jaringan pasokan tembakau di sana.

Kali ini, aku menyebut kabupaten di eks karesidenan Kedu, Jawa Tengah itu karena setahun lalu, tepatnya bulan puasa tahun lalu, kakiku menjejak Gunung Sumbing disana. Bersama karibku, Teguh si anak Administrasi Negara UGM, kami mendaki melalui Parakan. Jalur yang kami pakai dari Pager Gunung dan melalui Cepit. Foto pertama diambil di basecamp kami, tampak di latar belakang adalah Sindoro (3150mdpl). Sindoro sering disebut saudara kembar Sumbing, sebagian kawasan mereka sama-sama masuk wilayah di Temanggung. Bedanya Sumbing lebih besar dan lebih tinggi. Sedangkan Sindoro lebing langsing.

Kami mendaki untuk meramaikan tradisi malem selikuran. Di malam hari menjelang hari ke-21 bulan puasa, masyarakat Temanggung mempunyai tradisi mendaki gunung Sumbing. Kami sih penggembira saja selain karena memang ingin menjajal terjalnya gunung berketinggian 3371 mdpl itu. Sumbing termasuk jenis gunung stratovolcano dan di posisi koordinat 7.384° LS 110.070°.

Kami berangkat dari Jogja pukul 16.30 naik motorku, si Kawasaki Kaze. Ketika tiba di Parakan, Casio-ku menunjuk angka 18.30 saat itu. Parakan sendiri satu kecamatan di Temanggung yang nyaris menjadi kota karena saking ramainya lalu lintas tembakau.

Kami kemudian menuju desa terakhir untuk menitipkan si Kaze ke rumah penduduk. Trek pendakian Sumbing dari jalur Parakan terbilang mudah dijabanin. Soal keterjalan seperti lazimnya gunung lainnya, melelahkan tapi tidak ekstrem. Mengasyikkan sih iya.

Setelah bermalam dan mendirikan tenda di atas kawasan yang disebut, kalau tak salah ingat, Watu Kasur, kami meneruskan pendakian pagi harinya. Setelah berkali-kali istirah

at karena kelelahan, kami akhirnya tiba di kaldera Sumbing pada pukul 09.00 dengan cuaca sangat cerah. Soal cuaca ini, kami sungguh beruntung karena salah satu kekhasan Sumbing adalah kadang kala ada badai besar yang menghadirkan angin yang berputar mengelilingi puncaknya. Kata beberapa pendaki, sering pula badai disertai kilat. Wuihh.... Memang ngeri tapi pemandangan juga sangat indah berupa awan yang berputar cepat, kata mereka. Aku jadi berpikir ulang, apakah sebenarnya kami memang beruntung karena tiada badai atau merugi karena tak sempat menikmati peristiwa alam dahsyat itu.


Kaldera itu lebih mirip lapangan bola bergaris tengah lebih setengah kilometer yang permukaannya berwarna putih keabu-abuan dan datar sedatar muka air. Hal ini karena kaldera Sumbing terbentuk dari kawah yang telah mati dan kemudian mengeras, tak heran jika permukaannya sangat datar. Kawasan kaldera memang luas dan disana terdapat beberapa puncak yang runcing. Menantang untuk didaki.

Di sisi timur kaldera, asap belerang masih terus mengepul dari kawah yang masih aktif. Saya sendiri tak yakin apakah sumber asap belerang itu bisa disebut kawah. Jika iya, maka Sumbing terbilang masih aktif meski tidak seaktif Merapi (2968 mdpl), mungkin Sumbing tengah tidur panjang. Di kawasan kaldera terdapat juga makam leluhur masyarakat Sumbing yaitu Ki Ageng Makukuhan. Disana ada beberapa gua, yang terbesar adalah Gua Jugil.

Puasa Ramadhan dan tulisan Kompas tentang tembakau Temanggung memang kemali mengingatkanku pada Sumbing. Keelokan, kekokohan, dan kepekatan debu kemarau di jalur trek menggodaku untuk mendakinya lagi. Aroma khas pucuk-pucuk tembakau di punggung Sumbing serasa menyeruku untuk kembali menyirami tanah vulkaniknya dengan peluh yang bercucur dan menjejakkan kaki di puncaknya.*

Hujan setahun lalu …


HUJAN sore di Agustus kemarau menyeruakkan aroma tanah yang khas tersiram curahan dari langit. Debu di genting rumah sebelah yang terletak hampir sejajar dengan jendela kamarku, terangkat dari permukaannya.

Sejenak menari ditingkahi deras hujan dan lantas menghilang seiring hembusan angin dari penjuru selatan Jakarta. Hawa dingin tiba-tiba menggantikan gerah yang seharian tadi menguasai ruang kamar.

Campuran aroma tanah, debu genting dan hembusan dingin membawa kembali memori saat aku masih di Jogja hampir setahun silam. Memang, aku sering mengalami suasana yang sepertinya pernah kurasakan pada suatu masa yang lampau.

Mungkin termasuk de javu. Bukan mengenai tempat tetapi lebih soal kesamaan rasa suasana. Saat hujan sesiang kemarin itu, ingatan kembali ketika sendirian di kantor Kelir, Nagan Lor tak jauh dari Kraton Jogja.

Tepatnya adalah saat membuka jendela dan pintu yang sebelumnya saya tutup rapat-rapat karena hujan turun sangat deras dan angin bertiup kencang. Keduanya datang begitu tiba-tiba karena sebelumnya cuaca di atas Nagan terhitung cerah siang itu.

Meski di sisi langit utara terlihat awan menggantung, aku tak menduga jika cuaca berubah cepat dan menghadirkan sedikit ngeri. Hujan benar-benar deras dan angin pun membanting-banting pintu dapur. Ketika itu bahkan boleh disebut badai, tamsil untuk hujan bagai tercurah dari tempayan rasanya tak berlebihan.

Ketika angin kira-kira tak lagi berhembus kencang, aku coba menengok ke luar jendela. Ternyata hujan masih sederas tadi. Air cucuran mengalir deras ke halaman yang lumayan lapang menuju ke drainase kanan kiri jalan yang membanjir, tak sanggup lagi menampung air hujan. Perbedaan suhu di dalam kantor dan luar membuat aliran udara serta merta menerobos begitu jendela kubuka.

Udara dingin menerpa wajah dan lantas menyisir kuping dan kulit kepala. Rasa sepi makin menusuk seiring aroma lembab tanah, denting genting tersiram hujan dan hembusan kencang hawa dingin. Sembribit, orang Jawa bilang.

Saya terpikir akan teman-teman kantor yang dari pagi keluar kantor. Ardian yang mengambil materi brosur di Kotabaru, Wawan yang tengah di percetakan, Iwan yang mengambil film separasi, Mas Timbul yang sedang di warnet mengirim proof desain poster lomba burung via email. Juga Mas Wiwin yang mungkin terkurung di Mazda merahnya berusaha menembus pekat hujan di jalan Magelang dan Nanang yang entah dimana.

Aku juga teringat dua keponakan Hana dan Ali serta almarhum Ibunda yang kasih sayangnya tak lekang dimakan jaman dan tak luntur terguyur air hujan. Nyesss….

Sunday, August 3, 2008

Otoritas

Seorang pemimpin umum media cetak skala nasional pernah meledek reporternya. Ledekan tersebut malah menjadi ironi bagi sang peledek. Ketika itu, awal 2008, berlangsung diskusi rubrikasi media tersebut.

Sang reporter mengutarakan beberapa informasi dan menggunakan istilah angle alias sudut pandang. Ia melafalkannya sesuai lafal yang tepat, ‘aeng:gel. Ndilalah, sang pemimpin umum spontan meledek plus menyalahkan pelafalan angle tersebut. “Keliru tuh, ngawur,” sergahnya. Beliau lantas mengkoreksi dengan pengucapan: ‘einjel. Uppsss, IMHO/In My Humble Opinion, pikir si reporter, lafal seperti itu sebenarnya untuk angel atawa malaikat.

Ndilalahnya lagi, peserta diskusi yang terdiri dari redaktur pelaksana dan beberapa reporter terdiam mendengar koreksi yang keliru tadi. Mungkin sungkan, mungkin malu atau bisa juga ragu kalau ternyata memang si reporter yang keliru. Si reporter juga terdiam, bukan karena malu atau tidak yakin dengan pelafalannya, melainkan kasihan: pelurusan kesalahan berbahasa, terjebak dalam rasa hormat pada pemegang otoritas. Memang ironi, meluruskan omongan seseorang yang terlebih dulu, dengan super PeDe, meledek pihak lain. Wuadhuh!*

Wednesday, July 30, 2008

PIK, Oase Belanja Ibukota


















Minggu, 2
7 Juli 2008 kemarin, saya bersama tiga karib berbelanja ke PIK-Perkampungan Industri Kecil Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur. Sebenarnya kami berencana jalan-jalan kesana hari Sabtu tapi karena kesibukan masing-masing maka lawatan kami mundur sehari. Wanto, salah satu teman, yang mengusulkan untuk berbelanja ke PIK ini. Kami mengiyakan apalagi setelah Wanto meyakinkan bahwa harga disana miring daripada di mall bahkan kaki lima Jatinegara sekalipun. Saya yang telah mendengar tentang keberadaan PIK sebelumnya, juga penasaran.

Terletak di kelurahan Penggilingan, kawasan ini dapat kita tempuh dengan mudah karena berada di pinggir jalan Penggilingan-Cakung. Kebetulan kami bermotor berangkat dari rumah kos di kawasan Pasar Ciplak, tak jauh dari jalan Inspeksi Kali Malang-Halim. Setelah melalui simpang tiga Kodim-Jatinegara, kami belok kanan menyusuri Jalan Bekasi Timur Raya-melewati Penjara Cipinang- lurus memasuki Jalan I Gusti Ngurah Rai. Melintasi flyover Klender, Mall Klender (Ramayana), simpang empat Buaran, Rumah Susun Klender, maka kami segera belok kiri melalui flyover Penggilingan. Bisa juga kami melewati bawah flyover namun jalanan agak menyempit karena Metromini 42 dan bajaj ngetem di kelokan itu dan juga mesti melewati lintasan rel.

Satu setengah kilometer dari flyover Penggilingan sampailah di jalan masuk PIK di sebelah kiri jalan. Di kanan-kiri jalan masuk, jajaran toko menggelar beragam produksi PIK. Seratusan meter dari mulut jalan, berdiri bangunan bergaya mall. Papan namanya menyebut PGP: Pusat Grosir Penggilingan. Mungkin akan menjadi mallnya PIK. Belum beroperasi namun sepertinya tak lama lagi akan makin meramaikan kawasan ini dan menaikkan image atawa gengsi PIK.

Jika membawa kendaraan, Anda bisa parkir di salah satu halaman toko lalu berjalan kaki dari satu toko ke toko yang lain, outlet satu ke outlet selanjutnya. Di bagian depan kawasan ini, pajangan sepatu mendominasi toko-toko. Sepertinya memang telah ditata. Luas toko dan outletnya pun terhitung lega. Makin ke dalam, cenderung mengecil. Harga sewanya mungkin lebih mahal dari pada bagian dalam, maklum lebih strategis. Dalam harga, jangan khawatir. Harga toko bagian depan dan dalam tetap bersaing dan masih bisa ditawar. Di Mall Ambasador sepertinya sulit menemukan barang yang bisa ditawar karena telah dibanderol dengan harga pas.

Kami berjalan kaki ke pertokoan bagian dalam untuk mencari jaket, celana dan kaos. Di bagian dalam, suasana perkampungan lebih terasa. Selain memang luas, tersedia pula ruang terbuka seperti lapangan badminton dan taman. Pepohonan perindang pun berjajar di sepanjang jalan yang menembus hingga sudut-sudut PIK. Jalan lingkungan lurus-lurus membentuk kompleks ini berbentuk kotak-kotak layaknya perumahan. Ruas jalan relatif lebar sekitar 4 hingga 6 meter. Kantor polisi juga ada disana, menjamin keamanan terjaga dan terkendali. Meskipun demikian, kita lebih baik tetap waspada dengan kendaraan dan barang bawaan.

Setelah memilih-milih di dua toko sebelumnya, Wanto akhirnya membeli jaket dan celana outdoor. Masing-masing berharga Rp 85 ribu dan Rp 25ribu, terhitung miring dari pada jika kita belanja di luar PIK. Setahu saya jaket oudoor seperti itu dibanderol seratusan ribu keatas. Sedangkan harga celananya saya taksir Rp 50 ribu. Saya sempat melihat celana gunung selutut berlabel Rp 15 ribu. Bentuk dan bahannya persis dengan celana yang saya beli di toko outdoor di Jogja seharga Rp 35ribu.

Soal merk, beberapa merk merupakan ‘tembakan’. Ini untuk menghaluskan istilah pembajakan. Antara lain, The North Face dan Mountain Hard Wear. Sebagian lagi merk milik para pengusaha sendiri. Perihal kualitas, menurut pedagang, bisa diandalkan lah. Bahan jaket terbilang halus dan dari beragam jenis. Parasit di bagian luar untuk menahan guyuran/percikan air hujan dan bahan katun tebal di bagian dalam untuk memberikan rasa hangat melawan tusukan hawa dingin di malam hari dan di ketinggian gunung. Jaket motor yang sedang trend sekarang terpajang di tiap toko yang menjual pakaian. Harganya juga labih murah daripada di pusat perbelanjaan lainnya, antara Rp 80ribu hingga 130ribu. Menurut pedagang, jaket-jaket di kakilima hingga supermarket kelas menengah pun berasal dari PIK ini. Pendek kata, harga lebih murah dan kualitas telah teruji standar supermarket.

Karib saya, Eko, mempunyai agenda membeli sepatu. Ia sebenarnya yang paling serius berbelanja. Dua teman saya lainnya, Wanto dan Alis tidak terlalu berencana belanja. Sebelum berangkat, mereka hanya berancang-ancang: jika ada barang bagus dan terhitung murah mungkin akan membelinya. Dibanding Eko, Wanto dan Alis malah terlebih dulu memenuhi tangannya dengan tas belanjaan. Mungkin karena sejak dari rumah Eko telah berencana membeli sepatu dan membayangkan desainnya sehingga Eko terlihat lebih memilih-milih.


Di sebuah toko sepatu, Eko tertarik dengan sepasang sepatu warna beige yang trendi. Memang bukan sepatu kantor/formal seperti yang ia rencanakan sebelumnya. Desain sepatu tersebut rupanya mampu merubah rencana sistematis nan logis: sepatu formal untuk ngantor. Sayang harganya pun sesuai dengan desainnya, Rp 225ribu. Relatif mahal di kantong Eko yang seorang CPNS golongan 3B di Medan Merdeka Barat.

Setelah sempat melihat-lihat sepatu di toko yang lain, Eko berkata bahwa ia telah jatuh cinta pada sepatu beige tadi dan akan membelinya jika bisa ditawar maksimal Rp 150ribu. “Bujet sepatu yang aku ancang memang segitu,” katanya dan lantas minta ditawarkan. Kami pun balik ke toko tadi. Kebetulan si pemilik toko sedang beberes di dekat rak sepatu tadi. Wah bisa langsung menawar ke decision makernya nih, pikir saya.

Si Bapak pemilik toko berambut putih rapi, sekitar 60an. Saya menyapa si Bapak, komplit dengan senyuman. Eko berdiri di belakang saya dengan mimik kasmaran. Kami coba menawar dengan harga Rp 125ribu (tak lupa tersenyum hehehe). Si Bapak mendongak dan menghentikan beberes. Waduh jangan-jangan jadi galak nih mendengar tawaran segitu,’ pikir saya. Ternyata, Si Bapak berkata, “Sama-sama enak saja, kan nawarnya sudah segitu, saya kasih Rp 150ribu.” Saya lega karena sesuai dengan bujet Eko. Saya masih coba menawar lagi Rp 140ribu. Terus terang saya tidak terlalu berharap Si Bapak akan melepas sepatu pada harga sekian namun tetap saya tawar agar lebih yakin saja bahwa Rp 150ribu memang harga final.

Eko yang sedari tadi telah memegang sepatu beige itu dan langsung mencobanya. Ukurannya ternyata terlalu besar untuk kaki Eko yang mungil. Dia minta ukuran 38 namun stoknya tidak ada. Si Bapak menyodorkan sepatu coklat tua yang karakter desainnya mirip dengan si beige. Merknya pun sama, Amro. Eko langsung oke-oke saja karena sama-sama trendi meski bukan pilihan pertama.


Setelah sepatu dan uang berpindah tangan, saya sempat bertanya tentang alamat toko yang tertera di tas kresek tempat kotak sepatu Eko. Tertulis alamatnya di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Saya mengira kalau Si Bapak mempunyai cabang di Pasar Senen atau semacam outlet kedua di sana. Si Bapak lalu bertutur bahwa tas kresek ini adalah sisa stok tokonya terdahulu di Pasar Senen yang turut terbakar habis. Tahun `1996, tuturnya, lantai dasar hingga lantai 5 Pasar Senen dilalap si jago merah, habis sudah barang dagangan namun tidak begitu dengan asanya. Sejak itu, ia pindah di PIK sebagai peruntungan berikutnya.

Sebelum kami pamit, usai sepenggal kisah tadi, Si Bapak mengulurkan tangannya dan mengucapkan sesuatu yang tidak begitu di jelas bagi telinga saya. Saya bengong sedangkan Eko masih sibuk dengan sepatu barunya yang langsung ia pakai. Si Bapak mengulangi lagi dan menggoyangkan tangannya pertanda mengajak jabat tangan. “Berkah. Semoga menjadi berkah ya Dik,” katanya lirih. Oh, berkah rupanya yang tadi diucapkannya, kami pun berdua menyalami Si Bapak komplit pula dengan senyum tersungging. Alhamdulillah dan semoga berkah bagi Si Bapak dan Eko.*

Sumber Peta: Peta Digital Jakarta Jabotabek ver. 2.0, Gunther W. Holtorf, 2005

Rumus Layanan Birokrasi

Kata teman saya, layanan birokrasi di Indonesia tergantung dua ‘pa atau dalam bahasa Jawa, ‘ten. Yaitu, tergantung Siapa dan Berapa alias Sinten dan Pinten.

Ingin urusan cepat selesai dan lancar serta tak ada berkas-berkas tercecer, ya tergantung sampeyan ngasih berapa. Kalau sampeyan termasuk sosok terpandang, tidak usah pakai Berapa maka urusan pun lancar. Cuman, bahasa Berapa lebih gampang dipahami daripada Siapa. Karena misalnya, tidak semua birokrat kecamatan mengenal sampeyan yang ternyata dekan PTN nomor wahid di Indonesia.

Kalau sampeyan kebetulan PNS, silakan tersinggung lho. Maki-maki saya juga nggak pa-pa. Memang, tersenyum kecut merupakan hal minimal yang saya harapkan. Tapi kalau dah terburu jengkel karena saya dinilai menyinggung integritas korps, ya ndak papa. Malah makin membuktikan kalau birokrasi memang dependen dengan dua ‘pa tersebut. Koq bisa?

Suatu malam, teman saya ngobrol via handphone dengan pacarnya (perempuan). Sang pacar seorang PNS sebuah departemen dan ditempatkan di satu kabupaten di Jawa. Setelah haha hihi, teman saya mengenalkan saya dengan pacarnya tersebut. Setelah ngobrol sebentar, saya bercanda bahwa layanan birokrasi di Indonesia tergantung dua ‘pa. Sang pacar penasaran dan bertanya, apaan tuh dua ‘pa. Saya jawab sambil terkekeh: Siapa dan Berapa. Di ujung sana hanya keluar suara, ‘O gitu ya.’ Sepertinya dia tersenyum dan tiada masalah, handphone kembali berpindah tangan.

Saya salah kira rupanya.

Dua malam berikutnya, saya mendengar kabar dari kawan yang lain. Sang pacar ternyata tersinggung berat dengan omongan saya kemarin silam dan ngomel-omel ke pacarnya. Salah satu omelan adalah menanyakan siapa dan apa pekerjaan saya. Mendengar kabar itu saya hanya tersenyum kecut.

Saya membayangkan jika sang pacar itu tahu bahwa sebenarnya guyonan tersebut saya dapatkan dari seorang karib yang mengajar di lembaga pendidikan lingkup Depdagri Pusat dan siswa-siswanya adalah para birokrat semacam lurah, camat, sekda dan bupati/walikota. Karib saya kulakan guyonan itu juga dari atasannya di Depdagri. Sekali lagi, jika sang pacar tahu bahwa guyonan itu berasal dari lingkungan birokrasi pusat: apakah ia akan tetap tersinggung dan ngomel-omel. Sebaliknya saya malah membayangkan, sang pacar tertawa terbahak-bahak ketika, misalnya mengikuti workshop dan si pemateri menggulirkan candaan seperti itu. Dalam humor pun, ternyata birokrasi tergantung pada ‘Siapa’ yang melawak: orang Kita atau bukan. *

Sepenggal Portofolio di Kotabaru

Si Oom kemarin punya cerita. Ia telah bekerja sejak setahun sebelum kuliahnya kelar. Mulanya, di sebuah radio pemerintah di kota gudeg, Yogyakarta, selepas Soeharto lengser keprabon. Ia menjadi penulis naskah sebuah acara radio. Format acaranya seputar aktivitas perguruan tinggi, lha wong namanya Universitaria. Di sini pengampu acara boleh mengisinya dengan drama radio, narasi liputan atau suatu permasalahan yang dikupas mendalam alias depthnews atau wawancara dengan satu dua narasumber. Ini cerita tentang awal dan akhir, tentang bagaimana Si Oom menapaki jalan sebagai orang radio dan meninggalkannya dan perihal si Oom dan kawan-kawan melewati periode bekerja di radio milik pemerintah yang meniup lillin setiap 11 September itu.

Si Oom berduabelas orang dalam tim Universitaria. Mereka 100% mahasiswa dari beragam perguruan tinggi di Jogja dan merupakan hasil kerja keras ibu-ibu dan bapak-bapak radio tersebut meyelenggarakan rekruitmen. Berawal dari pengumuman via harian lokal ternama, Kedaulatan Rakyat, maka 400an anak-anak muda mendaftar langsung di studio radio di bilangan Kotabaru, sebuah kawasan perumahan downtown klasik sekaligus elit. Kalau di Jakarta, Menteng. Seminggu kemudian, di tengah kesejukan Jogja, ke-400an anak muda itu memenuhi 2 ruang auditorium radio itu: tes tertulis. Belum begitu siang, Si Oom telah memenuhi empat halaman folio dengan jawaban essay tentang definisi idiom-idiom jurnalistik dan sebagian besar sisanya berisi tentang penulisan sebuah simulasi naskah berita. Oom masih ingat, “Aku sengaja menulis jawaban pelan-pelan agar tulisan tanganku dapat terbaca.” Kalau tidak ada konsekuensi penilaian, tulisan tangan Si Oom sering tidak terbaca olehnya sendiri.

Bagi Si Oom, tes ini tidak terlalu susah memang, tetapi Si Oom mengerjakannya sungguh-sungguh. Ini karena Si Oom ingin memperbanyak portofolio pengalaman kerjanya yang selama ini tertulis: pegiat pers mahasiswa. Tok til. Belum pernah bekerja di suatu instansi luar kampus dan dibayar. Usai tes tertulis yang kelar jam sepuluh, tiada lagi proses rekruitmen selain menunggu pengumuman siapa saja yang lolos ke tes wawancara 2 minggu berikutnya.

Wuih, ternyata Si Oom dan beberapa teman pers mahasiswanya lolos ke tes wawancara. Sama seperti tes tertulis, Si Oom melewati tes wawancara dengan mulus meskipun tidak yakin 100% diterima namun optimis mendapat nilai baik dalam wawancara. Harapan Si Oom akhirnya terkabul bersama 2 teman yang telah ia kenal di persma, diterima sebagai anggota tim rubrik Universiaria. We proud about it, we proud to each other. Pendek kata, seneng dan bangga.

Dua minggu training berisi seputar radio itu sendiri, jurnalistik radio, naskah dan format acara. Di penghujung training, tentu saja pelatihan teknis semacam olah vokal dan pengantar hal teknis peralatan radio. Satu hal yang masih teringat oleh Si Oom adalah karakteristik media radio yang lebih personal daripada media lainnya terutama tv. Di radio, antara penyiar dan pendengar begitu tiada jarak, personal banget.

Lepas trainiug dua minggu, mulailah masing-masing anggota tim Universitaria mengisi acara dengan beragam format. Ada yang membuat drama seputar dunia kos-kosan. Penulis naskah adalah si anggota tim tersebut dengan pemeran drtama ya tim Universitaria yang lain. Ada juga yang mewawancarai aktivis kampus dengan mengundang sang aktivis ke studio. Tiap orang mendapat jatah mengisi acara, kalau tidak salah, per bulan. Universitaria sendiri mengudara tiap Rabu. Meskipun Tiap orang hanya kebagian tiap bulan namun total aktivitas tidak terbatas hanya saat dia bertugas. Karena, bisa turut membantu produksi anggota tim yang lain: sebagai narator, pemeran dalam drama atau reporter tergantung format acara yang dipilih.

Si Oom sendiri membuat reportase tentang Referendum Timor Leste di mata mahasiswa Timor Leste di Yogyakarta dan dikemas dalam sebuah narasi. Saat itu sekitar tahun 1999, tepatnya saat presiden Habibie menggulirkan referendum bagi Timor Leste. Si Oom mewawancarai mahasiswa Timor Leste Pro referendum dan Pro Indonesia. Si Oom sempat pesimis reportase seperti itu bakal lolos siar, maklum isu sensitif. Toh, lolos juga bahkan naskah pun tanpa coretan dari penanggungjawab siaran alias tanpa sensor.

Komunikasi antar-anggota tim lumayan hangat, saling bantu dan berkomunikasi, paling tidak lewat buku catatan pesan di studio. Saat itu belum jaman handplone. Kalaupun ada, masih mahal: handset maupun nomor. Nomor HP masih dijual ratusan ribu hingga jutaan. Handsetnya masih berukuran gedhe, baterai belum lithium masih NiMH. Sony Erickson dan Nokia masih memakai antena yang mencuat keluar. Harga? Rp 1 jutaan. Sekarang, mencari di loakan pun sudah susah. Mungkin sudah termasuk barang klasik. Eh ngelantur…

Teman teman begitu bersemangat. Banyak ide yang tertuang dalam lembaran naskah yang kemudian mengudara. Lucu sekaligus membuat mereka termotivasi mendengarkan suara mereka sendiri mengudara. Mereka sadar bahwa itu adalah suara mereka sendiri tapi masih terasa ‘lucu’ mendengar warna dan intonasi suara sendiri terpancar via spektrum elektromagnetik radio. “Masak sih suaraku begini,” kira –kira begitu komentar konyol mereka.

Seingat Oom, beraktivitas di radio suatu yang mengasyikkan. Dia mengaku bangga menjadi tim Universitaria. Konon, meski bukan pendengar setia, acara ini telah ia akrabi sejak SD tahun 1985an. Selain itu, seperti yang dikatakan Pak Dhe (salah satu trainer di radio itu), anggota tim Universitaria adalah orang-orang pilihan. Lha iyalah, wong hasil rekruitmen dari ratusan orang pendaftar.

Sampai suatu ketika, kira-kira 6 bulan sejak rekruitmen, sebutan ‘Orang-orang pilihan’ inilah yang membuat perasaan Si Oom begitu merasa bersalah. Seperti anggota tim yang lain, Si Oom mempunyai jadwal siaran dan program kerja. Namun, satu demi satu jadwal siaran kosong alias si Oom tidak mengisi. Ada perasaan jenuh. Juga jengah. Dan, ternyata Si Oom tidak sendirian meskipun tidak semua anggota tim seperti Oom. Masih ada dua-tiga dari 12 orang anggota tim yang masih aktif.

Si Oom mengaku jenuh untuk tidak mengatakan malas. “Tidak ada lagi greget lagi,” katanya sambil menerawang ke masa-masa itu. Bukan perkara materi. Beberapa teman juga sudah beberapa kali tidak mengisi jadwal siarnya. Ketika Si Oom ngobrol dengan mereka, sebenarnya mereka merasa bersalah, tidak enak atilah. Terutama pada pengasuh acara sekaligus penanggung jawab Universitaria tersebut, Si Oom lupa namanya.

Selama anak-anak bandel ini membolos, Universitaria diisi dengan siaran ulang materi-materi sebelumnya. Tentu saja dua tiga orang yang masih aktif mengisinya dengan materi yang senantiasa baru. Kabar tentang aktivitas anggota tim Unversitaria, mereka dapatkan ketika bertemu dengan anggota tim yang masih aktif tersebut misalnya saat kuliah bareng.

Dari teman-teman yang masih aktif pulalah, Si Oom mendengar keluhan Ibu-ibu dan Bapak-Bapak radio tentang kepasifan Oom dan teman-teman. Karena situasi yang tak juga membaik dan untuk pertanggungjawaban ke atasan, anggota tim yang sudah pasif diminta mengajukan pengunduran diri secara tertulis. Ini juga sebagai bentuk pertanggungjawaban masing-masing personil.

Akhirnya Si Oom dan anggota tim yang pasif mengajukan pengunduran diri dan mengantar surat itu langsung ke studio. Beberapa anggota tim telah menyerahkan surat masing-masing. Si Oom datang ke studio bersama salah satu anggota tim. Surat telah siap di map masing-masing. Tapi, perasaan bersalah, malu dan takut dimarahi campur aduk dalam perjalanan ke studio radio itu. Si Oom dan temannya berangkat ke studio yang berjarak tidak sampai 10 menit dari kampus. Di jalan, Si Oom dan temannya seia sekata bahwa situasi ini tidak mengenakkan dan mengakui bahwa mereka-merekalah (anggota tim) sendiri yang memang bandel. “Kami menerima jika jika Ibu dan Bapak studio, misalnya, memarahi kami,” kenang Oom.

Si Oom dan temannya sampai di studio dan ingin menemui Ibu Pengasuh, bukan sekedar untuk menyampaikan surat pengunduran diri namun juga untuk pamit dan minta maaf secara lisan. “Demi unggah-ungguh,” kata Oom, demo soapn santun dan kepatutuan. Sayang Ibu pengasuh sedang tidak ada ditempat. Mereka diterima staf. Mas staf menerima surat itu dan juga berkata bahwa kepasifan teman-teman memang disayangkan. Si Oom dan temannya tersenyum kecut lalu mohon diri.

Sepanjang jalan balik ke kampus, perasaan kami plong, kata Oom. Bagaimana dengan rasa bersalah dan enggak enak ati? Ternyata masih mengganjal hingga berbulan-bulan setelah itu.*

Pada jam kerja pun- nine to five-, seorang pengangguran juga menunggu sesuatu:

Dering handphone dari HRD tempat ia mengirim aplikasi sebelumnya.

‘Aplikasi Anda telah kami proses dan mohon datang ke kantor di Menara XYZ, lantai 5, untuk wawancara kerja’

‘Psikotest pada Sabtu minggu depan dari jam 9 dan jangan lupa membawa pensil”

‘Kami tertarik dengan portofolio Anda, bisa datang ke kantor untuk interview tahap kedua dan presentasi?’

Atau, setelah sekian tahap seleksi,

‘Anda menginginkan gaji berapa?’

Wuihhh….*

Friday, July 25, 2008

Praktikum Cinta EBS episode II

Skenario simulasi di manuskrip aslinya menyebut : Gunakan saat makan/minum bersama teman cewek, pacar sendiri atau ceweknya teman. True storynya, dipake saat EBS sang PNS Medan Merdeka Barat chatting.

EBS : Boleh dong aku jadi semutmu

Cewek : Waa… dah da semut rajanya jee…

EBS : Yo wis, aku jd semut nakalmu saja. Boleh kaaannnn?! (dasar pejuang cinta, die hard)

Cewek : Hhhmmm… emang berani (provokasi nih)

EBS : Jd semut nakal sdah berisiko dilabrak, palagi jadi semut jaman sekarang, lebih berat lagi

Cewek : mang knapa?

EBS : Gula jaman reformasi beda ama gula jaman Orba palagi ma jaman Tanam Paksa lho.

Cewek : oh…karena gulanya gula rafinasinya ya? (mulai terpancing serius) impor ya?

EBS : Eee… gula sekarang enggak semuanis kamu!

Cewek : ;-)’

***

Praktikum Cinta EBS episode I

Sebut saja EBS, seorang kawan pria (yang ternyata) sekampus dan kukenal setelah sama-sama tinggal di Betawi ini. Dia sekarang PNS di sebuah instansi di Medan Merdeka Barat, masih muda 24an tahun, humoris dan antusias. Suatu malam, kita ngobrol cem-macem, perihal cewek tentu saja jadi topik menarik. Pokoknya ampe lidah tidak berasa ludah saking asyik ngoceh.

EBS : kasih bocoran ilmunya dong biar ngerayunya makin sip!

Gw : Banyakin aja nonton film komedi-cinta Indonesia yang bintangnya Agus Ringgo, Tora dll

EBS : wah film banget, yang ori aja dari sampeyan.

Gw : Yo wis… yang ini nggak vulgar lho ya n ngga melecehkan. Bla…bla…bla ….

Empat hari berlalu tanpa ada progress. Hari kelima:

EBS : Tadi wis aku cobain. Wah beyond expectation tenan!

Gw : Lha piye to?

EBS : Tadi pagi-pagi, jam 8 (Bagi PNS, jam segitu masih terhitung ‘pagi-pagi’) ketemu Anis di depan lift kantor. Dia temen cewek seangkatan prajabatan namun sejak Februari ga pernah ketemu karena beda lantai beda direktorat. Manis juga, grade 7 lah. Langsung saja aku praktikin.

EBS : ‘Nis, sudah tahu kabar pagi ini? (manusia cenderung ngeh dengan segala sesuatu yang up-to-date dan puasti merespon!)

Anis : (antusias dan retina mata membulat) ‘Memangnya ada apa mas?’ (siapa tahu ada gosip atawa intrik kantor, teman seberang meja nrima amplop ga bagi-bagi, bos dipanggil KPK, atau Sidak pak Menteri).

EBS : ‘Pagi ini … kamu maniiisss banget!!! (EBS langsung bergegas berlalu seperti wejangan 5 hari yang lalu.

Anis : speechless, melongo sampai temannya menyolek lengannya mengingatkan bahwa lift sudah terbuka.

Nothing happen ‘til lunch time.

Di kantin, Nokia N70 EBS bertuit-tuit.

Sebuah pesan pendek dari Anis:

‘Mas, lagi ngapain?’

***

Manusia o’on di Jumat siang bolong

Sebuah interview kerja di Kebayoran

Mr A : Selamat siang…. Apa kabar?

Gw : Siang, kabar baik

Mr A : Silakan perkenalkan diri dan ceritakan aktivitas sekarang ini

Gw : pekerjaan terakhir sebagai reporter di majalah XYZ dengan job desk bla..bla..bla selama 6 bulan etc.

…..

…..

Berikutnya, sebuah pertanyaan cerdas tercetus oleh Mr A dan sebuah jawaban o’on dr gw:

Mr A : Media ini adalah media online, jadi bukan cuma harian bahkan detik per detik. Jika anda menemukan berita atau mendapat perkembangan suatu peristiwa, katakanlah saat itu jam 2-3 dini hari, apa yang Anda lakukan?

Gw : Menghubungi narasumber yang bersangkutan! (Yuakkiiiin)

Mr A : jam 2 dini hari?

Gw : (sepersekian detik, ‘wah pertanyaan jebakan nih’) saya buka internet, pelajari perkembangan berita untuk dipakai sebagai penelusuran lebih lanjut dan pagi-pagi menghubungi narasumber tersebut (dengan intonasi terakhir mulai ragu)

Mr A : Ooo…jadi pagi-pagi reportase lagi. Oke, cudah cukup dan nanti kita hubungi lagi. Selamat siang!

Sejak keluar ruang interview, di atas Metromini 69, PPD 300 hingga sampai Halim-Cawang, seluruh anggota tubuh serasa tak henti merutuk otak o’on ini:

Bego banget lu! Bilang kek, meski jam 2 dini hari, narasumber dah tidur, lagi dugem ato dikubur idup-idup kan masih bejibun narasumber lainnya yang masih dalam lingkaran persoalan: polisi (24 jam kan!?), aparat, tetangga, dokter, juru medis, forensik, tongkrongin rumahnya, rumah sakit, dll. Lha malah nunggu ayam berkokok, reportase esok paginya. Ini media detik per detik, Bung!

Sayang, tidak ada interview edisi revisi. Duh!

Gara-gara merutuki diri sendiri malah kebawa mimpi di atas PPD 300, ketiduran sampai Prumpung mestinya turun di Halim-Cawang.

Friday, February 1, 2008

...Azizah, Balsem Geliga, Simpati PeDe, M150+susu...


Pagi-pagi foto bareng mas Jalu, aktor layar lebar, sinetron dan bintang iklan komersial, di luar predikat/profesi laen yang mungkin masih banyak. Bapak ini (istrinya lg hamil, tinggal di Semarang) tetangga kamar di kos-ku di Cibubur.

Aih... di Cibubur, dunia sempit juga ternyata, Mas Jalu ini main di sinetron Azizah, Dia di Azizah bermain sebagai si tukang kebun, Parjo.

Pertama liat sih pangling gitu, wong karakter sehari2 berbeda dengan si Parjo versi sinetron atau iklan Geliga atawa Simpati PeDe.


Wednesday, January 2, 2008

Menembus pelangi






















Saya suka berlama-lama di halaman samping rumah Jogja, sekarang menjadi teras. Atau, kala berkunjung ke rumah nenek Temanggung dan Wates. Disitu bisa tercium aroma jerami saat panen, lumpur sawah jika mulai musim tanam dan gemericik air kolam Bapak.