Wednesday, March 31, 2010

Jogja Hospitality!

Jogja, kota pelesiran dan budaya, dikenal luas sebagai kota yang ramah. Mengikuti atmosfer masyarakatnya yang cenderung terbuka, pelancong pun tak sungkan akrab satu sama lain.



Pas kemarin aku dan istriku pulang ke Jogja, 27 Maret 2010,  aku mendapati  atmosfer keakraban banhkan antara pelancong asing dan wisatawan domestik.

Selepas belanja batik di Pasar Beringharjo dan beli sandal  kami berjalan 200-an meter ke arah simpang empat Kantor Pos, sekitar sesiangan. Meski tengah hari, tapi matahari tidak terik karena mendung tipis menggantung.

Karena berseberangan dengan tempat mengepos surat-surat, kawasan ini oleh masyarakat Jogja lebih sering disebut Kantor Pos Besar. Disinilah posisi Nol Kilometer Yogyakarta.

Rumah Baru

Maret ini aku pindahan ampe dua kali karena punya rumah baru

Pertamax, ingkang kapisan. Dari kos di Batusari, JakBar bergeser 2 kilometer ke Asofa, Sukabumi Utara. Masih sama-sama di Kebon Jeruk, West Jakarta.
Ini setelah mengingat, mempertimbangkan dan akhirnya memutuskan. Lha wong just married je koq isih ngekos bareng para lajang :)
Keduax, kaping pindonipun. Dari rumah lama ke apartemen yang baru ini. Dua-duanya aku bayar kontan masih kontrak lha wong numpang di ruko yg punya hosting n server qe3
Oya, alasannya sih pengen ganti suasana ciee… Tentunya, rumah lama tetep sering aku tengok. Yah, aku sempetin-sempetin beberes dah, siapa tau ada yang bertamu. Trus aku ajak main ke apartemen kwek-kwek-kwek.
Oitss, sempetin mampir-mampir ya qe3 Salam dari nDalem Asofa dan Grha WordPress, prikitiuwww… :D

Wednesday, March 17, 2010

Atia dari Linggau

Atia, putri dari kakak laki-laki istriku, berambut kriting. Itu musabab tante dan budhenya memanggil mesra anak 4 tahun itu, Kriwil. Mukanya lucu, saking lucunya jadi lutu, boleh juga anak gaul nyebut: lutyu. Ih lutyuna... kwek kwek kwek!

Atia si perajuk manja. Datang di Rabu sore bareng bapak-ibunya bermobil Suzuki Vitara. Langsung dari Lubuk Linggau, 4 jam dariTanjung Enim, 8-9 jam dari Palembang ke arah Bengkulu. Hari pertama mengenalku selalu berlindung di balik ibu dan tantenya.

Atia malu-malu, menjerit kencang begitu tanganku terulur menawarkan gendongan. Makin histeris ketika aku mengedipkan mata sebelah. Genggaman tangannya mengerat-ogah mendekat tapi mata binarnya penuh ingin tahu.

Atia melengking kegirangan ketika aku gendong tinggi-tinggi sore harinya setelah tiba-tiba ia nemplok di pundakku. Dasar bocah balita, tadi pagi emoh sekarang minta gendong.


Atia seperti prangko. Lengket padaku yang nyaris jadi amplopnya. Minta gendong tiap melihatku, mencari-cari sampai ketemu. Ssttt... jangan coba bilang aku lagi pergi, kalau kau tak bisa meredam tanyanya.

Atia, bak sarapan batre alkalin, lithium atau malah polimer. Layaknya laptop mutakhir, Core II Duo dengan RAM 2 Giga DDR 3. Bibir dan polahnya beriringan lincah tak berjeda. Kalau kau punya Handycam, siapkan 10 kaset Mini DV. Kalau kau bawa kamera digital, kartu memori 16 giga hanya cukup untuk 3 hari merekam tingkahnya.

Atia tetaplah Atia. Pagi-pagi itu di rumah simbah Sami di Tanjung Enim, ia sudah melengking manja. Merajuk ke ibu-bapaknya segera main ke bawah. Mereka di lantai dua Rumah Bagus, sebutan tetangga kanan kiri simbah Sami.

Atia menapak cepat di tangga menurun. Bukan menerebas dapur mencari roti-fresh-from-the-oven bikinan Budhe Tuti, bukan pula menghambur ke teras bermain bareng Ando sepupunya.

Atia tanpa menoleh di ujung tangga langsung belok kiri, lalu ke kanan dan menjentikkan jari mungilnya di badan pintu. Pintu kamar kami, omm dan tantenya yang pengantin baru belum ada 2 kali 24 jam.

Atia sejatinya tidak mengetuk. Jejarinya masih terlalu lemah untuk mencipta suara ketukan. Pertemuan ujung jarinya dengan pintu cuma berbuah tik-tik-tik bukan tok-tok-tok.

Atia merengut. Cemberut.

Atia tak sabar menunggu gendang telinga kami memerintah tangan membukakan pintu. Dara kecil itu segera menarik gagang pintu tepat ketika kami yang di dalam kamar ngobrol menoleh ke pintu. Gagang pintu bergeming, per-nya masih terlalu liat dibanding otot lengan Atia.

Atia alih-alih tertawa. Berbalik badan meski Simbahnya membantu membuka pintu. Kami hanya bisa menatap punggungnya yang merajuk di kuping Simbah Sami.

Atia bilang, gara-gara jadi penganten ommnya tidak sayang lagi padanya. Ommnya selalu dekat dengan tantenya.

Atia cemburu. Matanya berkaca begitu menangkap basah omm-tantenya ngobrol. Tak ada Simbah dalam jangkauan tangannya, ganti ia curhat ke ibunya. Uneg-unegnya sama saja: Omm-nya sudah lupa pada Atia.

Atia kembali tertawa jelang berangkat ke Palembang. Menjenguk kerabat dan jalan-jalan: beli baju, pamitnya. Minta gendong lagi sambil foto-foto.

Atia tak mau lepas. Pelukannya merenggang ketika seisi rumah sepakat koor: Omm-Inung-akan-nyusul-Atia-pakai-mobil-Panther-merah. Nanti-ketemu-di-Palembang-yaaaa...!


Atia mengangguk. Terbayang sudah. Potret-potret di Jembatan Ampera, mencelupkan Pempek Candy di mangkok cuka dan belanja baju di Pasar 16 Ilir. Omm Inung pasti datang. Passsti datang.

Atia tak henti bertanya sesampai di kota terbesar Sumatera Selatan itu: mana Omm-nya? Jangankan di Palembang, sampai Atia terbang piknik ke Jogja, kota tempat kuliah Ayah-Ibunya dulu, Omm-nya tak juga menyusul. Atia balik ke Linggau-pun, tak ada kabar berita.

Atia mengadu pada ayahnya. Ayah menelpon Tantenya. Laporan langsung dari Linggau: Atia bilang, Omm-nya ndak nyusul ke Palembang, Omm Inung pembohong!

Atia tak tahu. Kami sudah balik Jakarta. Di rumah Asofa, Kebon Jeruk, omm-nya ini cuma bisa nyengir heran: kok masih ingat aja ya? Tantenya bilang: Atia anak pintar, memorinya kuat.

Atia dapat doa Omm dan Tante, pintar-pintarlah kau, Nak, sampai kuliah di Jogja kayak Ayah-Ibumu. Tapi bolehlah kau lupakan kalau Omm-mu ini pembohong, he-he-he.

*** Cipaku-Kebayoran Baru, Asofa-Kebon Jeruk, 17032010 ***