Jogja, kota pelesiran dan budaya, dikenal luas sebagai kota yang ramah. Mengikuti atmosfer masyarakatnya yang cenderung terbuka, pelancong pun tak sungkan akrab satu sama lain. |
Pas kemarin aku dan istriku pulang ke Jogja, 27 Maret 2010, aku mendapati atmosfer keakraban banhkan antara pelancong asing dan wisatawan domestik.
Selepas belanja batik di Pasar Beringharjo dan beli sandal kami berjalan 200-an meter ke arah simpang empat Kantor Pos, sekitar sesiangan. Meski tengah hari, tapi matahari tidak terik karena mendung tipis menggantung.
Karena berseberangan dengan tempat mengepos surat-surat, kawasan ini oleh masyarakat Jogja lebih sering disebut Kantor Pos Besar. Disinilah posisi Nol Kilometer Yogyakarta.
Letaknya di ujung Jalan Ahmad Yani atau Malioboro dan dikelilingi tempat-tempat bersejarah: Wisma Kepreisdenan Gedung Agung, Benteng Vrederberg, Kraton Kasultanan dan Bank Indonesia.
Setelah berfoto-foto dengan kamera SLR Canon EOS iDs Mark II hape Sony Erikson, kami duduk di bangku taman yang tersebar dan memang disediakan sebagai fasilitas publik.
Nah, saat itu aku perhatikan seorang Mas Bule berjalan sendirian dari arah seberang Kantor Pos. Sampai di bangku-bangku taman, ia berhenti sejenak dan membuka lembaran peta dan buku tebal Lonely Planet.
Terus, Mas Bule duduk di bangku berjarak 2-3 bangku dari tempat kami duduk. Masih saja ia sibuk dengan petanya. Sejenak ia melihat sekeliling, sepertinya menandai nama plang jalan dan gedung sekitar. Lantas ia kembali ke peta. Mungkin untuk mencocokkan amatan visual dengan keterangan di peta dan buku.
Terus, Mas Bule duduk di bangku berjarak 2-3 bangku dari tempat kami duduk. Masih saja ia sibuk dengan petanya. Sejenak ia melihat sekeliling, sepertinya menandai nama plang jalan dan gedung sekitar. Lantas ia kembali ke peta. Mungkin untuk mencocokkan amatan visual dengan keterangan di peta dan buku.
Terus terang aku ingin mendekat. Ada dorongan untuk membantunya, ya siapa tahu ia agak kebingungan dalam navigasi. Jujur pula, aku merasa ragu untuk menawarkan bantuan. Kalu saja ia imemang ingin menikmati eksplorasi kota dari pengamatannya sendiri.
Olala, ternyata sudah ada dua anak ABG yang lebih dulu mendekatinya dengan spontan. Aku perhatikan, mereka tampaknya juga pelancong. Wisatawan domestik gitu deh.
Umur-umurannya sekitar anak SMP atgau SMA. Biasanya ikut rombongan studi tour sekolahnya.
Sebelumnya, kedua anak ini berjalan santai dan lantas berbelok nyamperin begitu melewati Mas Bule. Yup, ada spontanitas yang didorong keingintahuan mereka.
“Hello sir!” aku mendengar anak berjaket abu-abu menyapa hangat. Kawannya yang berjaket hitam turut menyapa dengan senyuman.
“Hai, apa kabarrr?” spontan pula Mas Bule menjawab dengan lafal ‘r’ yang tebal. Aku perhatikan, Mas Bule menjawabnya tanpa berpikir lama. Tak ada sedikitpun sikap canggung karena terganggu. Kedua anak itu lantas duduk di samping kanan Mas Bule.
Obrolan selanjutnya kurang aku dengar lagi. Dari sayup-sayup dan kulihat dari kejauhan, mereka ngobrol soal asal dan sudah kemana saja di Jogja. Mas Bule menunjuk bukunya dan si anak berjaket abu-abu turut mengikuti telunjuk Mas Bule.
Uniknya, tak lama kemudian, teman-teman kedua anak tadi ikutan bergabung. Ramailah obrolan mereka yang komplit dengan gerakan tangan menunjuk kesana kemari. Nah, tampaknya bahasa tarzan sudah mulai dipakai
Atau, mungkin juga tidak. Gerakan tangan bisa jadi benar-benar untuk membantu menunjuk arah. Karena dari tadi, mereka ngobrol tanpa jeda. Berarti, bahasa Inggris anak-anak tadi lumayan lancar mengalir.
Sepertinya, pelajaran Bahasa Inggris di sekolah menengah jauh lebih maju dari pada jamanku di SMP 10 dan SMA 7 Jogja Atau guru mereka sukses menanamkan kepercayaan diri untuk, “pokoknya, berani aja cas-cis-cus ngomong Enggres!” qe3
Bisa jadi, ini potongan obrolan mereka, “I’m from Detroit, US,” kata Mas Bule.
“Whoaa… long journey, Sir. And we’re all from Cirebon, West Java,” jawab mereka
Moga aja anak-anak itu atau malah Mas Bule, juga teman mereka baca postingan ini, so aku bisa tahu dari mana mereka.
Anyway, balik lagi main ke Jogja ya!
omong2 soal keramahan jogja, saya jadi inget sepotong adegan di film "Punk in Love", masbro. ketika mereka pertama nyampe di Jakarta setelah melakukan perjalanan dari Malang.
ReplyDeletesalah seorang tokoh ngomong kira-kira gini, "orang Jakarta mukanya galak-galak ya. lihat tuh nggak ada yang senyum..."
kalo jogja sih sampe sekarang masih murah senyum. banget. orang-orangnya suka nolongin tanpa diminta. ibu saya aja sampe bilang gini, "sejak kuliah di jogja kamu kok jadi tambah sopan aja." :D
Brader morishige.... saya ngakak baca celetukan Ibunda sampeyan qa3
ReplyDeleteSyukurlah, lengkung senyum masih menyapa kita di Jogja. Senyum dan tegur sapa pun disini malah termasuk dalam norma dan nilai sosial. komplit pula dengan kontrol sosial.
Pas pulang kemaren, saya ngobrol dengan mbakyu saya. Salah satu potongannya, mbakyu saya crita, "Anaknya Pak Anu (sudah dewasa) itu jadi rasanan (gunjingan) tetangga, kalau jalan dan ketemu orang ndak pernah senyum. Kala disapa kok diem saja."
Begitulah masyarakat Jogja hidup dan menghidupi. Ini termasuk menjaga cara hidup dan mendorong (lewat norma, nilai dan sanksi sosial) anak dan kerabat.
Ini merembes pula pada para pendatang untuk turut bergaul ala atau paling tidak, dengan sentuhan Jogja. Seperti, ehm, menjadi lebih sopan qe3 wakakakak.
Oya, abis ini mau bikin postingan soal teguran pedagang kaki lima pada sepasang pelancong domestik yang buang sampah sembarangan di Malioboro. :)
Saya salut ama ibu bakul itu, ndak takut si pelancong kapok ke Jogja. Emang bener pembeli belum tentu raja, kalo tabiatnya nyampah ya harus ditegur qe3