Friday, January 29, 2010

Januari

Tiga hari sebelum kalender bergulung.




















Bulan ini kulihat tiga kali mentari sore begitu cantik
Berpijar hangat dari selatan khatulistiwa

Wuihh, sinar putihnya merebut bola mataku dari monitor Samsung
Tiga kali ia berpendar sumringah

Tiga kali pula aku posting blog di bulan ini

Sepertinya bulan depan ia akan mengerling makin genit
Persis papan solarcell,
memberi energi batin dan jari menari di papan ketik

***
Cipaku-Senayan-ESDM Thamrin-Batusari

Tuesday, January 19, 2010

Aceh, Majene dan Papua
















Hari ini aku sudah minum Kopi Brown keluaran Kopiko plus sebotol (isinya aja) Kratingdaeng, katanya biar melek dan ber-chemangat.

Maunya, biar aku segera beranjak ke Bandara untuk terbang estafet ke Aceh lalu besoknya ke Majene. Empat hari disana, sebelum ke Jayapura selama seminggu. Ujung ke ujung, kata orang.

Selintas kutengok langit dari jendela. Birunya bercampur silau matahari dari barat. Adzan ashar sudah 30 menit berlalu. Kini tak ada suara lagi, hening.

Suara alam lalu menguasai rumah ini: air kran menderas di permukaan wastafel dan denting gelas dan sendok beradu ketika ditiriskan di rak piring.

Di mushola rumah di lantai dua, samping kamar bapak, gordyn jendela sengaja kuseret sampai tepi. Sinar mentari sore ini begitu hangat menyirami sajadah yang terbentang.

Angin selatan menyusup lewat jendela, turut mengelus rambutku ketika sujud. Alhamdulillah!

*Cipaku, Selasa sore 16.03

Thursday, January 7, 2010

Cinta Boleh Menunggu



Januari lima tahun lalu



Dua pijar memancar dari kedua mata mereka, ketika bertatapan di halaman rumah saya di Jogja. Jarak mereka dengan saya tak sampai lima langkah. Tak susah pula menangkap gelagat suka diantara laki-perempuan adik angkatan kuliah saya itu.

"Menunggu seseorang?" Tanyaku memergoki si laki begitu gelisah. Pandangan matanya seperti melompati Metro TV yang dari tadi didepannya. Tatapannya bukan pada Nazwa Shihab tapi pada pintu ruang tamu.

Ia menggeleng tersenyum nyengir. Sedikit gelagepan ketika tak mampu menyangkal tapi malu mengiyakan. Saya tersenyum juga, ia menunggu seseorang, bisik batin saya. Tak perlu bertanya lagi, toh saya pernah muda, ia sedang menikmati debar jantung dalam penantian.

Sepuluh menit kemudian, setelah menyeduh teh, lelaki 20 tahun itu menghilang dari ruang tengah. Olala, rupanya ia bergeser ke halaman depan. Seorang perempuan muda, sebaya dengannya, melangkah mantap masuk pekarangan.

Langkahnya meragu ketika melihat saya melongok di pintu. Saya memang cuma berniat melongok sebentar, mencari tahu dimana tamu saya itu. Kembali ke ruang tengah, saya sempat melihat dari jendela mereka berbincang rapat. Di saat itulah saya lihat binar mata mereka, saling menyerusuk. Ah indahnya masa muda, batinku.

***
Dua tiga hari berselang, di tempat berbeda, tanpa diketahui satu sama lain, keduanya bertutur lirih. Masing-masing mengaku pada saya kalau saling tertarik tapi tidak menyatakan terus terang satu sama lain.

"Mengapa tidak kau katakan saja padanya?" Tanyaku ketika si lelaki berbagi cerita dan menyodorkan Gudang Garam-nya di kantin Sastra. Ia nyengir saja. Ah anak muda, masih saja kau menunggu waktu, batinku.

"Disalip di tikungan, tahu rasa kau!" Akhirnya terucap lisanku agar ia tersentak. Malah jawabnya terkekeh mengerling pada saya, "Kalau ada yang menyalip, aku tahu persis siapa itu Bang."

***
Bagaimana caranya membuat seorang lelaki menyatakan cinta pada perempuan. Ini bukan buku self help atau judul artikel di Kosmopolitan. Inilah pertanyaan si perempuan setelah sukses menyeret saya ke selasar Fakultas Ekonomi. "Ndak taulah, aku kan bukan laki-laki itu. Kalau aku sendiri yang kau jatuh cintai, ndak perlu menunggu lama untuk ambil langkah duluan he-he-he," jawab saya ngawur.

***
Tanggal satu Januari 2010 kemarin mereka menikah di kota sebelah timur Solo. Sebaris kalimat pendek mampir di email dan inbox FB saya: Makasih mas, udah mau jadi teman berbagi cerita, kapan nyusul? Qe3 ntar ya kami ceritain gimana akhirnya kami jadian :D seru deh pokokna...
****

Wednesday, January 6, 2010

Tikus Jakarta di Manado


"Di setiap kota yang aku sambangi, aku enggan bangun siang di pagi pertama"




Aku suka jalan-jalan. Termasuk dalam perjalanannya hingga sampai di tujuan dan pulangnya. Aku juga mengangguk jika orang bilang journey is the destination, perjalanan itulah yang menjadi tujuan. Jika sampai tujuan, perjalanan akan terus berlanjut.

Aku akan menyerusuk ke tempat-tempat menarik yang sering ditulis di majalah wisata atau buku panduan wisata. Atau malah mencoba tempat-tempat yang jarang dibicarakan oleh media arus utama. Dipandu oleh cerita dari mulut ke mulut atau hasil browsing di internet, mengintip postingan kawan blogger atau backpacker yang lebih dulu menemukan surga tersembunyi di suatu daerah.

Awal Desember tahun lalu, aku mendapat kesempatan ke Manado, nun di Sulawesi Utara. Tugas kantor liputan kongres sebuah organisasi profesi. Acaranya berlangsung Senin dan Selasa, menumpang Boeing 737-900ER-nya Lion Air aku telah mendarat di Sam Ratulangi pada Minggu petang.

Instruksi dari kantor, tempat acara di Novotel Manado. Tanpa dijelaskan di jalan apa dan berada di sisi mana dari Manado, apakah di tengah kota, di pantai atau malah lepas pantai, wuihhh. Okelah kalo beg-gitu, batinku. Untunglah, sebelum berangkat aku sempat menelpon kawan asal Manado yang tinggal di Jakarta untuk mendapat info soal akomodasi di kota pesisir itu. Soal hotel yang sesuai bujet yang dekat dengan tempat acara, moda transportasi serta posisi Novotel.

Fendry, kawanku itu bilang, Novotel di tengah kota tepatnya diapit jalan utama, Sam Ratulangi dan Boulevard. "Ada beberapa hotel di sekitar Novotel. Kau menginap di Wakeke saja. Di situ ada Hotel New Queen, dari situ ke Novotel bisa jalan kaki 3 tikungan 10 menitlah," terangnya. Ia fasih soal navigasi jalan-jalan di Manado karena meski lahir dan besar di luar kota Manado, Fendry bersekolah SMA tak jauh dari Wakeke. "Beradu punggung," katanya.

Berbekal informasi kelas A-1, info kelas wahid dari seseorang yang tahu seluk-beluk kota tujuan, langkahku mantap begitu sejak mendarat. "Ke Wakeke!" suaraku bulat setelah menerima tawaran sopir taksi bandara. "New Queen ya?" tanyanya menebak. Aku mengangguk mantap. Hari telah gelap, angka di arloji menunjuk angka delapan.

Sepanjang perjalanan, bak turis kegirangan, mataku jarang lurus ke depan. Lebih sering menyururi kanan-kiri. Suasana jelang natal begitu terasa, ABG sibuk bersiap konvoi dengan mobil. Misalnya di daerah Kairagi, deretan Avanza, Xenia dan Kijang berjejer di pinggir jalan. Pintu belakang sengaja dibuka mendongak lebar-lebar ke atas, mereka asik berdesakan di pantat mobil, menjuntaikan kaki mereka.

Hey ini Manado bung, pekik batinku. Sejurus dengan mayoritas warga pemeluk agama Katolik dan Kristen, sepanjang jalan ke arah janting kota, gereja-gereja berdiri anggun. Kalau di Jawa, ya masjid.

Ketika rumah-rumah mulai merapat pertanda mendekati tengah kota, aku baru ingat untuk menanyakan letak Hotel Novotel. Yogi, sopir taksi, menunjuk ke arah kanan depan. "Itu pak, Wakeke sebentar lagi," katanya, satu pertanyaan dijawab dua jawaban yang saling melengkapi. Dia tahu banget informasi yang dibutuhkan orang asing seperti aku.

Setelah memutar setir tiga kali, taksi perak memasuki halaman hotel New Queen. Hotel bintang tiga dengan halaman luas. Tiga mobil terparkir kaku disana. Bell boy menyambut ramah, disusul resepsionis setengah membungkuk riang. Tamu datang membawa rejeki, mungkin begitu batinnya.

Seperti kebiasaanku di setiap hotel yang aku tumpangi: bertanya ini-itu untuk lebih mengenal kota yang aku singgahi sebelum menghitung langkah menyusurinya. Pertanyaan pada sopir taksi tadi kuulangi lagi untuk resepsionis: di mana letak Novotel.

"Di situ kan, ujung Sam Ratulangi yang catnya kuning gading?" kataku yakin berbekal info dari Fendry dan dikuatkan sopir taksi.

"Bukan Pak!" jawabnya tak kalah yakin. "Dulu di situ, gedungnya tetap ada tapi diganti jadi Rits Hotel. Novotel sudah pindah ke arah bandara," sambungnya menyusul gelagat kagetku.

Aku tercekat, waduh salah hotel nih. Mestinya aku memilih hotel yang dekat dengan Novotel, kalau ada. Terbayang sudah, esok hari tidak bakal deh aku lenggang kangkung 3 tikungan 10 menit ke Novotel. Tergambar juga, senyum bahagia sopir taksi pagi-pagi mengantarku.

"Jauh ya?" tanyaku meringis garing, berharap ia akan menjawab, 'dekat kok'. Ia terdiam sebentar, mungkin menghitung dengan kira-kira. Waduh, batinku, kalau ia saja sampai harus menghitung-hitung, pasti jauh nih. Dan, benar saja.

"Jauh Pak. Lima belas kilo dari sini, ke arah bandara, memang di luar kota." Waksss, dia bilang 'jauh', tanpa embel-embel cukup jauh, lumayan jauh atau relatif jauh. Jauh ya jauh.

Memang. Karena aku harus menengok tempat acara, setelah mandi dan ganti baju, malam itu juga aku naik taksi ke Novotel. Di belokan tak jauh dari hotel, plang penunjuk arah bertuliskan: Bandara Sam Ratulangi 18 km. Ku tahu kemudian, Novotel berjarak cuma tiga kilometer sebelum bandara. Argometer taksi pun mengerling genit di angka Rp 53.500 begitu aku sampai gerbang Novotel.

Kutarik nafas dalam-dalam seolah tak mau rugi. Oksigen Manado harus banyak-banyak kuhirup lha wong bolak-balik New Quen-Novotel butuh Rp 100.000 je, batinku. Ndak usah pusing amat dah, aku udah sampai Manado, here I am! Sekian rencana esok hari untuk lebih intim dengan Manado berderet mengembang di senyumku. Tetep sumringah as always qe3


Belok Kiri: Bubur Manado









http://www.suaramanado.com/img_berita/Wakeke%20Tinutuan.jpg


Seperti ku bilang tadi, esok paginya aku sengaja bangun pagi-pagi. Olala, ternyata aku jendela kamarku menghadap ke ufuk timur. Langit memerah sebelum mentari mengintip. Selesai mandi air hangat di bath tube, aku langsung keluar hotel. Langkahku panjang memaksa paru-paru bekerja lebih untuk menghangatkan suhu badan, menepis dingin pagi.

Agenda yang telah terbayang, pagi-pagi akan kususuri jalanan utama Manado: Sam Ratulangi, Boulevard dan ku tengok Teluk Manado. Rencana itu buyar begitu aku belok kiri sekeluar halaman hotel.

Waaaa… ternyata New Queen bertetangga dengan Pinotuan Wakeke, rumah makan bubur Manado. Segera aku masuk kesitu, memilih duduk di sudut. Memesan menu bubur manado komplit dan bakwan plus membeli koran lokal: Tribun Manado, Manado Post, Komentar dan beberapa koran lainnya.

Sambil menekur menunggu pesananku datang, aku bersyukur 'salah' tempat menginap. Atau tepatnya, inilah kawasan yang bener kalau menginap di Manado. Tengah kota, sesuai bujet, tepat di kawasan jajan. Ibarat jalan Sabang di Jakarta.

Jauh dengan Novotel tak lagi ku pikirkan. Toh kulihat sendiri semalam, tidak ada hotel yang berdekatan dengan Novotel. Bahkan kanan-kiri hotel berbintang 5 itupun sawah dan ladang penduduk. Benar-benar di luar kota.

Meski Fendri juga belum tahu kalau Novotel telah pindah tapi ia tuan rumah yang baik dan memilihkan hotel untukku dengan tepat. Apalagi, setelah jalan kaki ke ujung jalan, di situ berdiri gapura mengucap salam: Selamat Datang di Sentra Wisata Kuliner Jalan Wakeke, Manado. Yihaaa… aku merasa jadi seekor tikus di gudang keju!

Breakfast Out

Selain rumah makan yang aku sambangi, masih ada tempat makan enak lain di sepanjang Wakeke. Di seberang New Queen, rumah makan Ikan Bakar menawarkan masakan laut. Kuperhatikan, sejak sebelum jam 6, parkiran telah penuh dengan mobil. Beberapa diantaranya plat merah dan plat hitam DB, pemiliknya berarti warga Manado dan sekitarnya. Busyet dah, orang sini memang doyan memanjakan lidah. Sarapan saja dibelain di luar rumah. Esok harinya, Selasa, giliran warung makan sebelah kanan hotel yang kucoba. Yummyy...

Hingga aku pulang pada Rabu sore, ku tahu persis Manado punya bejibun 'episentrum' kuliner yang mengguncang selera lidah, merentang di Samrat, Boulevard hingga sepanjang garis pantai Teluk Manado.

Benar juga sepotong lirik yang didendangkan saat pesta perpisahan penutup acara kongres di salah satu rumah makan di teluk Manado: … di Manado ku ingin hidup seribu tahun lagi, du-du-du-duuu…*

PS: trims buat Fendri Ponomban *maaf, ndak sempat nenteng saledo ke Manggarai :D*, Budi Susilo dan Dian Pangemanan 'Tribun Manado'.