Monday, October 26, 2009

Penantian Bodoh

"Kerudungnya ia lepas ketika pelayan Warung Nasi Ampera berlalu dari meja kami," kata Madi padaku via gmail.

Minggu sore itu, katanya eh tulisnya, mereka akhirnya duduk satu meja. Bukan berhadapan seperti waktu di KFC Cikini waktu malam Tahun Baru lalu, kini bersisihan di meja nomor dua dari sudut.

Madi mengirim email panjang setelah ajakannya chatting kutolak. Bukannya sibuk, tapi aku males 'ngobrol pake jari', mending sekalian nelpon. Nah, opsiku ganti ia tepis. "Aku lagi melow bang. Abang pasti ketawa kalo dengar suaraku yang lagi... Ah, aku kirim email aja. Sebelom jam 12 pasti dah ada di inbox. Ntar aku sms kalo dah aku kirim ya!" Janjinya.

...
(Aku terbahak begitu membuka emailnya, sebelumnya kusangka ia akan bercerita dengan lugas, eh malah layaknya 30% cerpen, 40% reportase dan 30% seperti emergency call.

Bising lalu lintas seperti mèntal, tak mampu menembus pintu dan dinding kaca. Hanya klakson Patas P6 sesekali sukses menerobos hingga ke dalam. Lalu lalang mobil pada 5 hari usai lebaran memang masih lengang.

Blasss, belum ada mobil plat hitam omprengan melintas mengantar pulang orang-orang kantoran Kuningan pulang ke Bekasi. Mereka biasanya tancap gas menuju pintu tol Tebet begitu keluar dari tikungan Kuningan-Mampang jika semua kursi terisi. Kalau belum, mereka akan menyisir hingga depan Hero, meski jarang terjadi.

Sambil menaruh tas selempangku di kursi, kulirik Riri yang agak sibuk merapikan bawaannya: dompet, hape dan tas postman berisi netbook Dell-nya. Kerudungnya ia lepas ketika pelayan Warung Nasi Ampera berlalu dari meja kami tadi. *Emang Riri masih pakai jilbab? Pikirku. Untungnya Madi menulis kemudian...*

Sebenarnya bukan jilbab, lebih tepatnya selendang yang ia lebarkan dan dipakai menutupi rambut sebahunya. Waktu melihatnya turun dari Blue Bird, kukira ia kembali memakai jilbab eh ternyata selendang dari tenunan Lombok. Kini, selendangnya ia lilitkan di lehernya, tepatnya
jadi syal.

Aku jadi inget sama komentar Abang soal syal: aktivis LSM sekarang bergaya pake syal sebagai dresscode. Biar kelihatan suka sibuk utak-atik proposal dan laporan proyek eh program sampai larut malam he-he-he.

Waktu Riri bilang kalo celetukan abang itu celetukan sentimen eh abang ngeles tapi malah bikin dia makin sewot: kalau nggak gitu ya pakai syal karena sering diskusi soal politik, sosial, energi dan lingkungan di StarBuck yang ACnya adem bin boros listrik wakakak....

TbC, 2 b continue

--
Dikirim dari perangkat seluler saya

Wednesday, October 21, 2009

situs referensi gerbang energi

situs referensi gerbang energi

Mbak Arni dan Omm-omm Kos

Kami yang ngekos di rumah itu, kalo ngikutin lazim sebutan, bakal
disebut anak-anak kos. Bedanya, kami lebih sering dan akhirnya jadi
kebiasaan dipanggil sebagai 'omm'.

Itu bukan kami orangnya sepuh-sepuh, katakanlah dah berumur. Tepatnya
karena mengikuti panggilan anak-anak induk semang kami, mbak Arni dan
mas Aldi, yg berjumlah tiga. Nah, orang tua dan saudara-saudara mereka
lantas ikutan memanggil kami: 'halo omm Inung, omm Veen, omm Iko...'
Gitu deh.

Kecuali sebagian kecil dari kami yang telah kepala tiga, termasuk aku,
omm-omm kos masih terbilang muda, paling muda omm Eri, 23 tahun dan
diatasnya omm Veen yang 28 tahun. Yang lain di kisaran antara
keduanya.

Funding
Kondisi rumah tangga induk semang juga membentuk hubungan omm-omm kos
dengan mbak Arni dan Mas Aldi. Bukan affair loh. Tapi transaksional.
Weleh-weleh, istilahnya koq sok banget. Malksudnya sih ya hubungan
utang-piutang.

Eitss jangan salah kira lho, kalau kami sering dikejar-kejar oleh mbak
Arni soal duit bulanan kos. Sebaliknya malah induk semang kami kadang
kala (baca: sebulan sekali) meminjam uang dari kami. Katanya, "Buat
belanja," atau kali lain, "Buat uang sekolah anak-anak."

Okelah, toh buat kami mungkin itulah yang bisa dilakukan buat membantu
mereka. Nah daripada berhitung-hitung, mending aku ingat-ingat pola
omm-omm kos menanggapi permintaan pinjaman.

1. Omm Veen: Jawa tulen, ndak tegaan, seorang staf IT, lulusan UGM.
Segera merogoh kantong atau mengambil dompet begitu mbak Arni
presentasi permintaan pinjaman. Tanpa menanyakan bakal dikembalikan
kapan toh bisa langsung dipotong uang kos bulan depan. Kenyataannya
sih, pas pembayaran uang kos, tidak serta merta dipotong sejumlah uang
pinjaman itu. Nyicil.

2. Aku: Jawa juga, sealmamater dengan Veen. Bedanya dia sukses pake
toga, sedangkan aku cabut dari bangku kuliah di tahun keempat dengan
jumlah SKS tak lebih dari 58. Ndak tegaan juga untuk menolak pengajuan
kredit dari mbak Arni. Bedanya dengan Veen pada soal jumlah dan
frekuensi.

Kredit yang dikucurkan Veen sampai 200 ribu sedangkan aku hanya
puluhan ribu. Rasio frekuensi antara aku dan Veen, 1:3.

Omm yg lain: "Wah lagi ndak bawa uang cash!" Atau malah, "Ndak punya
mbak!" Jawaban efektif dan efisien. Alhasil, Veen-lah penyandang dana
alias funding reguler qe3.*


Next: Job Hunter and Anger Management

--
Dikirim dari perangkat seluler saya

Monday, October 12, 2009

Ciplak.Kalimalang.07.09

Boarding House Punye Cerite

Setiap alamat selalu menyimpan cerita, bukan sekedar sesuatu. Karena, cerita layaknya berita, peristiwa atau rangkaian kisah yang disampaikan *Vademekum Wartawan-nya Kompas*. edangkan sesuatu hanya menunjuk antah berantah.

Begitu juga dengan sebuah alamat tempat aku ngekos, di belakang SD Putra, sejajar dengan Jl Kalimalang. Jika kita naik mikrolet 09, 29 dan metromini 58 dari Cililitan atau 18 dan metromini 54 dari Kampung Melayu, sebutlah Pasar Ciplak pada kernet dan sopir, pasti langsung diangguki dan kita turun tepat di simpang tiga dekat SD Putra. Di situ juga segarnya buah-buahan dipajang di kios-kios yang berjajar rapi.

Kalau sampai terus hingga Futsal Gudang Seng, berarti kebablasan. Dari lampu merah Penas, gedung Wika- jl DI Panjaitan, cuma 400 meter.Rumah kos bercat putih itu sepertinya bangunan lama meski bukan rumah kuno. Paling cepat mungkin dibangun tahun awal 80an. Didepannya ada teras yang dipenuhi dengan tanaman dalam pot koleksi mBak Arni, induk semang kami. Setelah membuka pintu depan yang berdaun pintu kanan-kiri, tampak ruang tamu lebar dan memanjang, 4 meter kali 12 meter.

Di sisi ruang tamu, berjajar 3 pintu kamar yang dikoskan. Ruangannya lega banget untuk ukuran kamar kos di Jakarta, lebar 4 meter panjang 6 meter! Harga sewa sebulan Rp 400ribu. Bandingkan dengan kamar kawanku Tami di bilangan Karet yang cuma 3x2 meter dan harga sewanya Rp 600-800meter per bulan, itupun satu sisi berdinding triplek tanpa jendela. Di sana cuma 'menang' dekat dengan kawasan Sudirman.

Pantas saja, waktu Tami pindah ke rumah ini, ia bilang kamarnya jauh lebih manusiawi plus jendela lebar yang membawa angin dari arah komplek Halim leluasa mengirim oksigen.

Dua dari kamar itu dipakai oleh masing-masing Milo dan Joe, duo sobat sejati sejak masih TK di Jepara, Jateng hingga kini berkarier di Ibukota. Milo kini kerja di Mahkamah Agung dan Joe, dedengkot Grup Puisi Cinta di Facebook, manajer di sebuah perusahaan konstruksi spesialis menara BTS. Satu kamar lagi yang paling depan dekat teras lebih sering untuk keluarga mbak Arni. Sebetulnya juga dikoskan tapi belum ada yang mau.

Di lantai atas, ada 3 kamar yang lua snya bervariasi plus ruang bebas tempat kami ngobrol. Waktu aku datang pertama kalinya, Oktober 2007, kamar terlapang dipakai Aan, kerja di Mahkamah Konstitusi. Kira-kira 4x5 meter. Kini setelah Aan menikah dan tinggal di Utan Kayu, ditempati Veen.

Sebelahnya lebih kecil, lebar 3 meter dan panjangnya 5 meter juga. Kini dihuni Tabi, amtenar Pertamina :). Kamar ketiga, paling kecil. Lebar 2,5 meter dan panjang kurang dari 4 meter. Sebelum pindah ke Batusari Juni 2009 kemarin, aku sempat ngekos di kamar yang salah satu sisinya berdinding triplek. Sewanya Rp 275ribu per bulan. Ketiga kamar membentuk posisi 'L' yang di depannya terdapat ruang kosong yang memang untuk kongkow, mungkin dulu dimaksudkan untuk ruang tamu kos.

Di rumah bagian belakang masih ada satu kamar luuasss yang juga dikoskan, 4,5 x 7 meter plus kamar mandi dalam. Sekarang dihuni oleh dua bersaudara dari Sragen, Anto dan Eri. Yang pertama bekerja di BPS dan yang kedua sehari-hari di Datascript. Di depan kamar mereka ada halaman belakang yang lapang dengan pintu akses keluar rumah. Pintu ini sekaligus pintu belakang rumah besar ini.

Anak dan Menantu
Keluarga mbak Arni tinggal di rumah ini juga, tepatnya setelah dapur yang berada di antara ruang tamu dan rumah keluarga mbak Arni. Ia tinggal bersama suaminya, Ardi, dan tiga anak lelakinya.Sejatinya, pemilik rumah adalah orangtua mas Ardi. Kami memanggilnya
Pak dan Bu Shafi, pensiunan TNI AU yang memilih menghabiskan masa tuanya di Klender, Jakarta Timur, 30 menit dari rumah ini. So mbak Arni adalah menantu.

Nah didapuknya mbak Arni sebagai induk semang oleh sang mertua bukan karena ia perempuan yang punya stereotype lebih andal mengurus sektor domestik alias tetek bengek rumah. Juga bukan lantaran sang suami lebih sibuk di sektor publik bekerja di kantoran. Bukan itu sodara- sodara! Tapi karena prosesor yang tertanam di kepala mas Ardi tak lebih dari Pentium II ketika anaknya yang sulung kelas 2 Smp sudah beranjak bengal dengan prosesor Core 2 Duo hehehe, piss!

Next: mbak Arni dan Omm-omm Kos

--

Thursday, October 1, 2009

Detak detik

Waktu berdetak begitu menyenangkan sesiang ini, seharian ini, semingguan ini... Ahh, apa sih yang tidak menyenangkan ketika sehari-hari bersamamu, Han qe3