Saturday, November 14, 2009

Venus

[ jalur fiksi ]

Konon, perempuan termotivasi ketika dihargai. Sedangkan laki-laki saat dibutuhkan.
Gw sendiri ngalamin hal pertama dan sekaligus membuktikan asumsi kedua.

Dua tahun lalu, gw pindah kerja. Semua serba baru. Lantaran, dari kuliah hingga pekerjaan pertama, gw habiskan di Surabaya. Jadi orang kantoran perusahaan konsultan manajemen, sesuai jurusan gelar sarjana.

Lalu terbang ke Jakarta untuk karier anyar: reporter berita di TV swasta.

Gw jabanin aja, meski tetep pake perhitungan. Satu, dari sewaktu kuliah, gw udah demen nulis dan sedikit pengalaman jurnalistik.

Kedua, deal dengan orang HRD, gw ditempatkan di desk ekonomi. Artinya, masih nyambung lah.

"Tapi, saya tidak tahu mbaknya ditugaskan di sub-desk mana. Makro, perbankan, bursa saham, investasi, feature ekonomi atau yang lain tergantung redaktur masing-masing.

Juga hasil pelatihan in-house kami," kata si bos HRD, lewat telepon ketika mengabarkan hasil rekruitmen final.

Gw tetep jabanin. Gw yakin mampu adaptasi ngerjain sesuatu yang baru. Toh punya bekal dan teman-teman.

Tiga bulan pertama hingga tembus setengah tahun bisa dilalui dengan mulus. Jika ada sedikit aral, ah itu biasa.

Masalah muncul ketika ada rolling untuk angkatan gw. Sebelumnya floating alias tidak ada spesialisasi berita. Gw sendiri misalnya, hari ini disuruh ke KPK, minggu depan bisa disuruh ngepos di DPR, lain hari liputan acara Kehutanan, besoknya bisa digeser ke DPR.

Hasil rolling lantas membagi per seksi. Untungnya, gw masih di desk ekonomi. Tapinya, kebagian liputan kementerian energi, dan BUMN.

Keduanya asing banget buat gw. Pernah sesekali liputan bareng kameraman, itupun seminar ini itu. Gw terus terang ga ngikutin isu sektor energi dan BUMN. Sedangkan jika ngepos di kementerian tertentu, mesti ngikutin isu.

Sekali lagi, keyakinan ama adaptasi yang ngebantu gw. Mungkin hanya butuh sebulanan, udah bisa bikin gw tune-in sedikit demi sedikit dengan isu energi. Apalagi yang lagi santer waktu itu soal naik enggaknya BBM. Bisalah ngikutin sana sini.

Lain perkara buat isu energi lainnya. Kayak tambang batu bara, timah, nikel, emas, apalagi minyak gas. Gw totally blank!!

"Thermal coal, IUP, PKP2B, average selling price, DMO, troy ounce, overburden removal, ekuivalen barel minyak per hari, boepd, bod, mmbtu, mmscfd, ... ... ..."

Apalagi jika sudah disuruh cover perusahaan tambang. Gw makin mesti bikin riset dadakan. Paling nggak, tanya kanan kiri. Lebih ribet lagi perusahaan tambang yang emiten alias Tbk.

Omi
Salah satu tempat gw tanya ABCnya sektor energi adalah Omi. Gw manggilnya mas Omi. Sebenarnya ada huruf R didepannya, Romi. Tapi entah entah mengapa anak-anak memanggilnya 'Omi', toh dia pun menoleh.

Tak tahu juga gw lebih banyak bertanya pada dia dibanding dengan yang lain. Dari agenda liputan, nama narasumber dan jabatan juga nomer-nomer kontak.

Salah satu alasannya, mungkin karena dia terkesan open. Ga jual mahal, ga pelit dan segera ngejawab yang gw tanyain. Juga, bakal bilang terus terang kalo dianya nggak begitu ngerti tentang satu dua hal yang gw tanyain. Alias, ga jaim.

Satu lagi, "Kalo didekat mas Omi, ngerasa nyaman aja," kata satu orang teman cewek. Gw amini tuh testimoni. Dengan diam-diam, dalam hati saja.

Frekuensi komunikasi gw dengan mas Omi sedikit makin sering setelah gw juga mesti nulis untuk versi online.

Dia paham arah yang gw tanyain atau bahkan yang gw debat. Mungkin dia bisa lihat gabungan kebingungan dan karakter keras kepala di mata gw.

Sekali dua kali, untuk nggak nyebut sering, dia ngusulin angle yang bisa gw ambil. Terutama kalo gw mulai panikan, karena redaktur juga panikan. Hufftttt

Bo'ong
Hari ke hari, kami sering ketemu. Di liputan. Lalu disambung di telepon. Dari situ, bersambung lagi di obrolan esok paginya.

Begitu seterusnya.

Sampai satu ketika, gw berbohong pada mas Omi.

"Pacarmu di Jakarta juga?" tanyanya tiba-tiba di parkiran basement. Ada semburat aneh di matanya, keknya dia penasaran tentang gw.

Sebelumnya, kami ngobrolin waktu luang masing-masing di akhir pekan, sabtu minggu.

Dia menghabiskannya dengan istri dan si junior, gw baca buku di kamar kos. Plus nonton kartun dan tidur. Menjelang umur seperempat abad, gw jomblo hehehe.

"Ada deh," jawab gw, ngeles.

"Yaelah, kalo kamu di kos mulu. Kapan ketemuannya? Emang dia anak media juga?"

"Dia di sini juga kok. Sama-sama sibuk," kata gw, mengerling ke kanan atas. Bo'ong!

"Minggu juga ga jalan bareng?"

"Capek, mas! Mending tidur!" jawabku sambil membuang muka. Obrolan pun berakhir.

+++
Denger ga seh!
Gw lupa harinya. Tapi masih inget mas Omi nelpon ke Samsung gw malem-malem ketika gw masih di kantor, jelang pulang. Kira-kira jam 9 malem.

Dia nanyain besok gw kemana dan ngerjain apa hari ini. Bingung, mas. Boss belum bilang apa-apa, jawab gw.

"Ya udah, paginya sarapan aja ama gw. Siangnya makan siang bareng. Sore juga sekalian...," gombalnya.

Ini bukan yang pertama kali dia ngegombal. Gw dah terbiasa, seharusnya sih.

"Udah berapa cewek yang kamu bilangin begitu mas?" tanya gw bercanda.

"Baru kamu. Sumpeh deh!"

"Pacar-pacarmu dulu yang juga reporter?" ada nada cemburu di ujung tanya gw.

"Gue blom pernah pacaran ama anak media!" jawabnya disambung dengan terkekeh.

"Kalo yang satu ini gimana, yang lagi kamu ajak ngomong inih?" tanya gw spontan abis.

"Apaan??"

"Ya udah kalo ga denger..." ketusku.

Dia seharusnya denger apa yang gw bilang. Gw yakin dia denger apa yang gw bilang. Gw berharap dia denger apa yang gw bilang. Damn, gw jatuh cinta!

+++

Hari-hari berikutnya mengalir seperti biasa. Liputan, ngantor, pulang, tidur.
Gw masih sms, YM-an ama mas Omi. Nelpon kadang kala, kalo dia nggak ngejawab pesan pendek gw.

Dia sendiri, gw itung-itung makin sering nelpon. Basa-basinya, 'kabar baek sista?' Atau 'mane aja loe?'

Satu malem, setelah siangnya gw dan dia liputan bareng di PP, dia nelpon lagi. Lumayan lama ngobrolin ABC, tapi pelan mulai menjurus.

Di ujung kalimat, dia menyisipkan 'say', 'cin' atau apalah gombalan lainnya.

"Gw tutup telponnya kalo masih bilang begituan!" ketus gw.

"Napa sehhh?" tawarnya.

Sekali lagi, spontan gw meletus. Didorong sesak dari hati, meluncur di bibir.

"Gw nggak mau ngerusak rumah tanggamu!"

Sumpah. Gw nggak tahu dari mana pilihan kata itu. Bisa aja gw pilih kalimat yang lebih halus. Sudah telanjur, toh gw juga lega.

+++

Gw mulai jaga jarak meski dia masih kontak. Kadang gw jawab, seringkali gw diemin.
Sampai-sampai dua minggu lebih, dering HP gw cuekin. Auk!

Pernah sih, gw sengaja telpon dia. Gara-garanya, temen kantor butuh banget nomer HP narasumber.

Mungkin karena posisi hari sabtu, temen-temen yang gw tanyain, nggak nyahut. Bisa juga karena emang nggak punya, si narsum emang jarang eksis.

Gw akhirnya telpon mas Omi. Dia ternyata punya dan mengirimkannya via SMS.

Ketika hari senin, dia nanyain apakah si narsum mau ngangkat telepon. Gw jawab pendek-pendek.

"Auk, bukan gw yang nelpon. Anak baru!" jawab gw tanpa menoleh. Mas Omi nanya lagi, gw diemin.

Dua minggu berikutnya, bahkan ketika dia nanyain nomer kontak narsum yang sama, gw ga jawab. Katanya, ga sengaja menghapus nomer HP si narasumber. Jahat ya gw? Hhmmmm....

+++

Mungkin, perempuan kayak gw seperti yang digambarin sebagai analogi Venus- Mars. Kalo enggak salah kutip seh...

Gw terlalu tersanjung, untuk tidak bilang terbuai, merasa dihargai ketika masih baru liputan di sektor energi.
Pertanyaan-pertanyaan gw dijawabnya, disela waktunya mengejar deadline.

Di sisi dia, mungkin saja dia termotivasi, untuk tidak bilang GR, ketika gw butuh bantuannya. Berandai-andai menjalin hubungan rahasia dengan gw. Fiuuuhhhh....

Sampai sekarang, gw masih mendiamkannya. Ucapan selamat ulang tahun dari dia di wall FB, awal Mei lalu, malah gw jawab dengan omelan via whatsapp.

Gara-gara dia, temen-temen gw ngoceh minta traktiran. Biasa memang, tapi gw ngamuk.
"Gw nggak suka kamu pake nulis di wall. Gw nggak suka kamu ngelibatin orang lain!"

Mas Omi sudah minta maaf, tapi gw cuekin. Dia juga bilang kalo sayang ama gw. Gw tetep bergeming.

Sampai sekarang.
+++
2009-11-14 Dari obrolan berseri: @Harmoni, Kebon Sirih, Gandaria.
+++

Monday, October 26, 2009

Penantian Bodoh

"Kerudungnya ia lepas ketika pelayan Warung Nasi Ampera berlalu dari meja kami," kata Madi padaku via gmail.

Minggu sore itu, katanya eh tulisnya, mereka akhirnya duduk satu meja. Bukan berhadapan seperti waktu di KFC Cikini waktu malam Tahun Baru lalu, kini bersisihan di meja nomor dua dari sudut.

Madi mengirim email panjang setelah ajakannya chatting kutolak. Bukannya sibuk, tapi aku males 'ngobrol pake jari', mending sekalian nelpon. Nah, opsiku ganti ia tepis. "Aku lagi melow bang. Abang pasti ketawa kalo dengar suaraku yang lagi... Ah, aku kirim email aja. Sebelom jam 12 pasti dah ada di inbox. Ntar aku sms kalo dah aku kirim ya!" Janjinya.

...
(Aku terbahak begitu membuka emailnya, sebelumnya kusangka ia akan bercerita dengan lugas, eh malah layaknya 30% cerpen, 40% reportase dan 30% seperti emergency call.

Bising lalu lintas seperti mèntal, tak mampu menembus pintu dan dinding kaca. Hanya klakson Patas P6 sesekali sukses menerobos hingga ke dalam. Lalu lalang mobil pada 5 hari usai lebaran memang masih lengang.

Blasss, belum ada mobil plat hitam omprengan melintas mengantar pulang orang-orang kantoran Kuningan pulang ke Bekasi. Mereka biasanya tancap gas menuju pintu tol Tebet begitu keluar dari tikungan Kuningan-Mampang jika semua kursi terisi. Kalau belum, mereka akan menyisir hingga depan Hero, meski jarang terjadi.

Sambil menaruh tas selempangku di kursi, kulirik Riri yang agak sibuk merapikan bawaannya: dompet, hape dan tas postman berisi netbook Dell-nya. Kerudungnya ia lepas ketika pelayan Warung Nasi Ampera berlalu dari meja kami tadi. *Emang Riri masih pakai jilbab? Pikirku. Untungnya Madi menulis kemudian...*

Sebenarnya bukan jilbab, lebih tepatnya selendang yang ia lebarkan dan dipakai menutupi rambut sebahunya. Waktu melihatnya turun dari Blue Bird, kukira ia kembali memakai jilbab eh ternyata selendang dari tenunan Lombok. Kini, selendangnya ia lilitkan di lehernya, tepatnya
jadi syal.

Aku jadi inget sama komentar Abang soal syal: aktivis LSM sekarang bergaya pake syal sebagai dresscode. Biar kelihatan suka sibuk utak-atik proposal dan laporan proyek eh program sampai larut malam he-he-he.

Waktu Riri bilang kalo celetukan abang itu celetukan sentimen eh abang ngeles tapi malah bikin dia makin sewot: kalau nggak gitu ya pakai syal karena sering diskusi soal politik, sosial, energi dan lingkungan di StarBuck yang ACnya adem bin boros listrik wakakak....

TbC, 2 b continue

--
Dikirim dari perangkat seluler saya

Wednesday, October 21, 2009

situs referensi gerbang energi

situs referensi gerbang energi

Mbak Arni dan Omm-omm Kos

Kami yang ngekos di rumah itu, kalo ngikutin lazim sebutan, bakal
disebut anak-anak kos. Bedanya, kami lebih sering dan akhirnya jadi
kebiasaan dipanggil sebagai 'omm'.

Itu bukan kami orangnya sepuh-sepuh, katakanlah dah berumur. Tepatnya
karena mengikuti panggilan anak-anak induk semang kami, mbak Arni dan
mas Aldi, yg berjumlah tiga. Nah, orang tua dan saudara-saudara mereka
lantas ikutan memanggil kami: 'halo omm Inung, omm Veen, omm Iko...'
Gitu deh.

Kecuali sebagian kecil dari kami yang telah kepala tiga, termasuk aku,
omm-omm kos masih terbilang muda, paling muda omm Eri, 23 tahun dan
diatasnya omm Veen yang 28 tahun. Yang lain di kisaran antara
keduanya.

Funding
Kondisi rumah tangga induk semang juga membentuk hubungan omm-omm kos
dengan mbak Arni dan Mas Aldi. Bukan affair loh. Tapi transaksional.
Weleh-weleh, istilahnya koq sok banget. Malksudnya sih ya hubungan
utang-piutang.

Eitss jangan salah kira lho, kalau kami sering dikejar-kejar oleh mbak
Arni soal duit bulanan kos. Sebaliknya malah induk semang kami kadang
kala (baca: sebulan sekali) meminjam uang dari kami. Katanya, "Buat
belanja," atau kali lain, "Buat uang sekolah anak-anak."

Okelah, toh buat kami mungkin itulah yang bisa dilakukan buat membantu
mereka. Nah daripada berhitung-hitung, mending aku ingat-ingat pola
omm-omm kos menanggapi permintaan pinjaman.

1. Omm Veen: Jawa tulen, ndak tegaan, seorang staf IT, lulusan UGM.
Segera merogoh kantong atau mengambil dompet begitu mbak Arni
presentasi permintaan pinjaman. Tanpa menanyakan bakal dikembalikan
kapan toh bisa langsung dipotong uang kos bulan depan. Kenyataannya
sih, pas pembayaran uang kos, tidak serta merta dipotong sejumlah uang
pinjaman itu. Nyicil.

2. Aku: Jawa juga, sealmamater dengan Veen. Bedanya dia sukses pake
toga, sedangkan aku cabut dari bangku kuliah di tahun keempat dengan
jumlah SKS tak lebih dari 58. Ndak tegaan juga untuk menolak pengajuan
kredit dari mbak Arni. Bedanya dengan Veen pada soal jumlah dan
frekuensi.

Kredit yang dikucurkan Veen sampai 200 ribu sedangkan aku hanya
puluhan ribu. Rasio frekuensi antara aku dan Veen, 1:3.

Omm yg lain: "Wah lagi ndak bawa uang cash!" Atau malah, "Ndak punya
mbak!" Jawaban efektif dan efisien. Alhasil, Veen-lah penyandang dana
alias funding reguler qe3.*


Next: Job Hunter and Anger Management

--
Dikirim dari perangkat seluler saya

Monday, October 12, 2009

Ciplak.Kalimalang.07.09

Boarding House Punye Cerite

Setiap alamat selalu menyimpan cerita, bukan sekedar sesuatu. Karena, cerita layaknya berita, peristiwa atau rangkaian kisah yang disampaikan *Vademekum Wartawan-nya Kompas*. edangkan sesuatu hanya menunjuk antah berantah.

Begitu juga dengan sebuah alamat tempat aku ngekos, di belakang SD Putra, sejajar dengan Jl Kalimalang. Jika kita naik mikrolet 09, 29 dan metromini 58 dari Cililitan atau 18 dan metromini 54 dari Kampung Melayu, sebutlah Pasar Ciplak pada kernet dan sopir, pasti langsung diangguki dan kita turun tepat di simpang tiga dekat SD Putra. Di situ juga segarnya buah-buahan dipajang di kios-kios yang berjajar rapi.

Kalau sampai terus hingga Futsal Gudang Seng, berarti kebablasan. Dari lampu merah Penas, gedung Wika- jl DI Panjaitan, cuma 400 meter.Rumah kos bercat putih itu sepertinya bangunan lama meski bukan rumah kuno. Paling cepat mungkin dibangun tahun awal 80an. Didepannya ada teras yang dipenuhi dengan tanaman dalam pot koleksi mBak Arni, induk semang kami. Setelah membuka pintu depan yang berdaun pintu kanan-kiri, tampak ruang tamu lebar dan memanjang, 4 meter kali 12 meter.

Di sisi ruang tamu, berjajar 3 pintu kamar yang dikoskan. Ruangannya lega banget untuk ukuran kamar kos di Jakarta, lebar 4 meter panjang 6 meter! Harga sewa sebulan Rp 400ribu. Bandingkan dengan kamar kawanku Tami di bilangan Karet yang cuma 3x2 meter dan harga sewanya Rp 600-800meter per bulan, itupun satu sisi berdinding triplek tanpa jendela. Di sana cuma 'menang' dekat dengan kawasan Sudirman.

Pantas saja, waktu Tami pindah ke rumah ini, ia bilang kamarnya jauh lebih manusiawi plus jendela lebar yang membawa angin dari arah komplek Halim leluasa mengirim oksigen.

Dua dari kamar itu dipakai oleh masing-masing Milo dan Joe, duo sobat sejati sejak masih TK di Jepara, Jateng hingga kini berkarier di Ibukota. Milo kini kerja di Mahkamah Agung dan Joe, dedengkot Grup Puisi Cinta di Facebook, manajer di sebuah perusahaan konstruksi spesialis menara BTS. Satu kamar lagi yang paling depan dekat teras lebih sering untuk keluarga mbak Arni. Sebetulnya juga dikoskan tapi belum ada yang mau.

Di lantai atas, ada 3 kamar yang lua snya bervariasi plus ruang bebas tempat kami ngobrol. Waktu aku datang pertama kalinya, Oktober 2007, kamar terlapang dipakai Aan, kerja di Mahkamah Konstitusi. Kira-kira 4x5 meter. Kini setelah Aan menikah dan tinggal di Utan Kayu, ditempati Veen.

Sebelahnya lebih kecil, lebar 3 meter dan panjangnya 5 meter juga. Kini dihuni Tabi, amtenar Pertamina :). Kamar ketiga, paling kecil. Lebar 2,5 meter dan panjang kurang dari 4 meter. Sebelum pindah ke Batusari Juni 2009 kemarin, aku sempat ngekos di kamar yang salah satu sisinya berdinding triplek. Sewanya Rp 275ribu per bulan. Ketiga kamar membentuk posisi 'L' yang di depannya terdapat ruang kosong yang memang untuk kongkow, mungkin dulu dimaksudkan untuk ruang tamu kos.

Di rumah bagian belakang masih ada satu kamar luuasss yang juga dikoskan, 4,5 x 7 meter plus kamar mandi dalam. Sekarang dihuni oleh dua bersaudara dari Sragen, Anto dan Eri. Yang pertama bekerja di BPS dan yang kedua sehari-hari di Datascript. Di depan kamar mereka ada halaman belakang yang lapang dengan pintu akses keluar rumah. Pintu ini sekaligus pintu belakang rumah besar ini.

Anak dan Menantu
Keluarga mbak Arni tinggal di rumah ini juga, tepatnya setelah dapur yang berada di antara ruang tamu dan rumah keluarga mbak Arni. Ia tinggal bersama suaminya, Ardi, dan tiga anak lelakinya.Sejatinya, pemilik rumah adalah orangtua mas Ardi. Kami memanggilnya
Pak dan Bu Shafi, pensiunan TNI AU yang memilih menghabiskan masa tuanya di Klender, Jakarta Timur, 30 menit dari rumah ini. So mbak Arni adalah menantu.

Nah didapuknya mbak Arni sebagai induk semang oleh sang mertua bukan karena ia perempuan yang punya stereotype lebih andal mengurus sektor domestik alias tetek bengek rumah. Juga bukan lantaran sang suami lebih sibuk di sektor publik bekerja di kantoran. Bukan itu sodara- sodara! Tapi karena prosesor yang tertanam di kepala mas Ardi tak lebih dari Pentium II ketika anaknya yang sulung kelas 2 Smp sudah beranjak bengal dengan prosesor Core 2 Duo hehehe, piss!

Next: mbak Arni dan Omm-omm Kos

--

Thursday, October 1, 2009

Detak detik

Waktu berdetak begitu menyenangkan sesiang ini, seharian ini, semingguan ini... Ahh, apa sih yang tidak menyenangkan ketika sehari-hari bersamamu, Han qe3

Wednesday, August 12, 2009

Wijaya!!

Dah semingguan ini di Wijaya, antara Blok M n Mampang, 25 menit dari batusari. Pulang jg segitu juga via Ratu Plaza, belok kiri di fX, Hotel Mulia lurus *ga belok kanan ke Slipi, kejauhan bgt*

Tembus deh belakang Pasar Palmerah/Gramedia, ithik2... tekan Rawa Belong, Binus, lampu merah kekiri 300 m sampe Casa Goya *ga masuk situ :)*, n finish di Batusari.

Monday, July 13, 2009

Bocoran hari ini...

Waktu rapat tadi pagi, ada beberapa pelajaran yg sayang kalu cuman kuingat-ingat:
1. kalo bikin acara press conference yang acara utamanya di dalam gedung, press-con jg sebaiknya dalam gedung.
kasus nih, kelar ninjau pameran di ruang lobby hotel Sahid, direncanakan menteri pertanian datang ke press-con bareng dirjen, gubernur dll, nah ada yg usul press con di ruangan terbuka pojok area kolam renang, PRnya Martha Tilaar kontan menggeleng. "Sebaiknya di dalam ruang. pertama karena ada menteri dan kedua, karena acara utamanya di indoor jg.
bener juga sih kalo beberapa kali press-con, Pak Anton sang mentan kita lebih milih di bawah terik matahari atau tenda, lha iyalah karena acara utamanya peninjauan lapangan di tengah hamparan sawah padi atau kebun kopi. paling jauh ya acara dialog dg wartawan di pendopo: beratap tapi tanpa dinding, semi indoor gitulah.
2. Oya, press con jg ngundang wartawan daerah setempat, so karna kita ga begitu kenal peta media disana, mending minta bantuan atau kerjasama dengan humas pemkot/pemda yg udah kenal secara instusi n personal dengan para wartawan. Bagus juga kita kalo kita punya kenalan wartawan daerah itu dan direkrut jd konsultan media, jadi 'EO' penggerah dan penggerak temen-temen media di daerah itu. Lebih luwes, akrab, dan efektif serta meminimalisir risiko miskomunikasi. acara di lain waktu di kota oti jg bakal lebih enak lagi karena udah py networking media.
3. kalo bikin acara di luar kota, sebaiknya dibentuk panitia lokal yang menangani koordinasi di tempat acara, misalnya: mengurusi stand pameran, kontak dg hotel, MC lokal, merekrut panitia lokal, kebutuhan transportasi-logistik, dan agenda tambahan yg mendadak plus guide terpercaya kita pas sesi jalan-jalan qe3
***

Friday, July 3, 2009

Ex Heartbreaker

“Tau ndak Mas?”
“Ndak je jeng!”
“Aku kie arep crito je!”
“Hehehe, lha piye to?”
“Aku ketemu meneh… sama bangsat satu kae hihihi…”
“Katamu ‘bangsat’, koq malah cekikikan? Ngumpatnya gak tulus!”
“Sik to… pancene ngono je arek-e. Rasah sok cemburu, gak ilok!”

Lola, pastinya bukan nama paspor, lantas bercericit sepanjang lunch-break pas acara diskusi panel tadi siang. Ia sendiri bekerja di government affair (GA- bukan general affair lho) di perusahaan asing produsen makanan di bilangan TB Simatupang.

Kemarin pagi, waktu acara Press-Con, ia ketemu dengan lelaki dari masa lalunya. Sepanjang ia bercerita, umpatan jawa-timurannya pun meletup-letup hampir di setiap penggal kalimat yang keluar dari bibir mungil ber-lipgloss. Tarikan nafasnya turun naik mengikuti bangun rasa hatinya yang (kembali) kasmaran. Tisu makan yang telah kucel terus saja ia kremes-kremes, saking gemesnya pada subyek curhatannya.

Katanya sih, si Bangsat-Cute, demikian ia menjulukinya *aq baru tahu ada begundal yg manis qe3* aslinya bernama Bangkit … … . Sekarang ia berkarir di Jakarta, sama-sama GA, di perusahaan asing kondang spesialis pakan ternak.

Pertemuan mereka setelah 3 tahun tak bersua itu bergulir mengalir, saling tanya kabar dan tukeran kartu nama. Standar lah. Tukeran nomer HP ndak, tanyaku iseng. “Gak, wong nomere isih sama kok. Paling-paling ngeluarin HP masing-masing buat nunjukin aktualisasi qe3,” katanya tanpa bermaksud nyindir diriku yang berHP jadul, Motorola C381.

Jebolan HI UGM ini lalu lebih banyak berbusa-busa soal kelakuan dia dan Bangkit duluuu… yang membuatnya sebel gimana gitu. Lola masih ingat betul bahasa tubuh mereka berdua. Ia haqul yaqin mereka saling tertarik meski masing-masing udah punya pacar. “Chemistry kita udah deket lho. Tenan!” klaimnya sambil menggigit bibir. Ia akui kalau selalu jaim sedangkan dimatanya, Bangkit cenderung jelalatan.

“Beda sama pacarku yang adem, cool. Ganteng sih tapi aku kan pengennya dibandelin juga qe3,” ceplos Lola. Aku menelan ludah, weleh-weleh bocah iki!

Sayangnya, mereka toh tetap bersama pasangan masing-masing. Patah hati dong, ledekku. Ia hanya mengangkat bahu. Usai kuliah kelar, semua bubar jalan. Lola dan pacarnya masih di Jogja, Bangkit menyeberang ke Balikpapan.

“Bener-bener lost contact. Tapi emang gak ada alasan buat komunikasi. Lha wong gak pernah ngobrol beneran. Paling-paling dia yang nggombal, curi-curi pandang. Kalo aku ya sok gak sengaja nyenggol tangannya hihihi,” Lola kembali terkikik.

“Pacarmu?”
“Gak pernah marah tuh.”
“Emang pernah ngeliat kelakuanmu?”
“Ya gak lah. Curiga sih sempet hehehe tapi bukan Lola kalo ga pinter ngerih-erih (nenangin).”

Acara makan siang hampir selesai dan aku belum sholat dhuhur, juga Lola. Sambil berjalan sepanjang koridor menuju mushola, kutanya bagaimana perasaannya setelah ketemu dengan Bangkit kemarin itu. Ia menjawab runtut.

“I’m free now. Pacarku teges-teges gak iso ninggalin Jogja. Aku mau gimana sama Bangkit, cuma persoalan ujung jari,” katanya sambil memperlihatkan nomer seluler Bangkit di layar Nokia E71-nya.*

Wednesday, July 1, 2009

Pahlawan!

Jujur, pertama sih pengen ngasih judul ‘hero’. Sepertinya lebih mantaf, pelafalan gampang, singkat dan jelas-jelas bahasanya mas Beckham. Setelah miringin kepala ke kanan kiri, ‘pahlawan’ juga tetap bahkan lebih kuat, segar dan membumi.

Selebihnya, cuma persoalan kebiasaan. Juga, terus terang sambil malu-malu, sebagian isi hati ini, koq berasa bangga bisa ngingris-inggris. Latah nih! Paling jauh sebenarnya perasaan bangga juga cuma sugesti.

Ah, ngomongin soal pahlawan juga karena sisi nasionalisku baru saja tersentil. Atau malah tepatnya tersentak (lagi). Jumat malam kemarin, barusan nonton King bareng hanih. Ini film terbaru rilisan Alenia Production. Film bagus yang bertutur tentang keteguhan hati atlit cilik badminton. Perjuangan meraih cita-cita sealigus obsesi seorang orang tua tunggal menjadikan anak semata wayangnya jadi bintang olahraga populer itu.

Tejo, sang ayah (Mamiek Prakoso) pun menamai anaknya sama dengan nama lokal sang legenda Lim Swie King, yaitu Guntur (Rangga Raditya). Belia, masih anak SD. Ia anak desa pelosok di kaki kawah Wijen. Malah, saking pelosoknya hanya mobil Mitsubishi L300 dan Land Rover double cabin yang mampu menapaki jalan berbatu dan merayapi tanjakan menuju desa itu.

Bagi sebuah desa yang senantiasa berselimut kabut, badminton menjadi satu-satunya hiburan. Selain buat tontonan juga untuk salah cara efektif menghangatkan badan. Tak pelak, selain tayangan tv, pertandingan antar warga jadi tontonan mengasyikan. Nama-nama yang malang melintang di arena badminton akrab mereka dengar dan perbincangkan sebagai idola, panutan dan hero eh pahlawan.

Ayah Guntur juga memiliki pahlawan di hatinya. Ia berhak memilih King sebagai panutan dan idola, bukannya memilih seorang Soeharto atau Soedirman. Malah, Tejo pun memimpikan prestasi Lim Swie King menitis pada Guntur. Pun orang lain, berhak juga menggadang-gadang seseorang sebagai yang dipuja dan diharap-harap prestasinya.

Raden (Lucky Marten), sobat kental Guntur, juga memiliki pahlawannya sendiri. Nggak lain ya Guntur itu. Teriakan Raden paling melengking setiap Guntur bertanding di lapangan desa, melawan Ranio seorang staf kelurahan yang jauh lebih dewasa ataupun teman sebaya Guntur pada pertandingan antar sekolah. Sosok Raden tak berjarak dengan para tifosi Liga Italia atau hooligan Liga Inggris dan Belanda. Ia bolelah dibilang sefanatik bebotoh Persib atau semilitan Jak Mania. Semua untuk Guntur, berkali-kali perbuatan dosa pun ia jalani demi raket untuk pahlawannya. Toh kalau ketahuan, Guntur lah yang jadi pesakitan: squat jump 100 kali dan lari 50 putaran.

Menyimak bahasa visual dan dialog King, plus soundtrack menghentak dari Ipang soal perjuangan dan nasionalisme membela harga diri bangsa, aku sempat terpaku. Seperti waktu nonton Laskar Pelangi. Terpapar jelas langkah-langkah anak bangsa bahu membahu menyokong sehabatnya. Dengan caranya sendiri dan bahasanya sendiri yang kadang atau sering ditangkap lain oleh karibnya sendiri.

Guntur sah-sah saja bilang kalau Raden hanya berteori selama ia mendampingi Guntur berlatih atau terlalu banyak berharap ia begitu tangguh. Guntur juga bisa merasa terbebani oleh obsesi bapaknya agar anaknya selalu menang dan menang. Nah kalau dilihat dari sisi Raden dan bapaknya, juga orang-orang sedesa, justru mereka menitipkan mimpi setinggi langit atau paling nggak setinggi lompatan smash karena Guntur satu-satunya pahlawan desa pelosok itu.*

Rabu malam

Coklat bubuk yang kudapat dari Tangerang telah ludes. Tak ada teman minum lagi malam ini. Teh, aku sudah bosan. Air putih sajalah. Sekalian mengurangi konsumsi gula.

Kuteruskan membaca artikel hasil download tadi sore di warnet.

Otak ini memang mesti istirahat. Bukannya dibawa tidur tapi malah melongok tulisan kawan di blog masing-masing dan catatan di FB.

Gerutuan Tarli soal GM kubaca pertama kali lalu oleh-oleh Zen dari Taman Sari dan Gunung Agung.

Wah, kangen Jogja tenan ki!*

Monday, June 29, 2009

Trialthon!!!

Ini nih sebenarnya ‘persiapanku’ mo ikutan trialthon di Bali "MRA Bali International Triathlon 2009", minggu pagi kemarin.

1. Empat bulan absen lari keliling kompleks Halim
2. Lima bulan bolos mengenggam dumble, mengangkat barbel, squat ‘n dead-lift
3. Bersepeda terakhir setengah tahun kemarin, itupun cuma 15 menit
4. Sukses naikin berat badan dari 57 jadi 62 kg dalam 3 bulan
5. Garis-garis di perut *bakalan sixpack*, udah hilang sama sekali

Lomba ketahanan fisik yang diikutin bejibun atlet Indonesia ampe luar, termasuk bule-bule penasaran, udah kelar.


Nengok result di situs lomba udah bikin nyengir garing. Apalagi ngeliat sepatu Diadora putih berselimut debu-nganggur-tak tersentuh di pojok kamar, feeling guilty banget!

Selamat buat Trialthoners! Ahh… tanpa aku, kalian nggak jadi punya lawan sepadan *masih berani sombong* yihaaa… :))

Monday, June 22, 2009

Gitu nggak boleh ya?

Kalo jamaknya seseorang jealous abissss kalo pacarnya jalan sama orang lain, temenku ini malah sebaliknya merelakan dan memberi ijin. Bukannya karena pengen punya legitimasi biar temenku juga bisa main belakang, tapi saking ndak tahunya. Maklum cintak pertamax, percaya total!

Ceritanya, waktu temenku, panggil aja namanya Juliet, masih kuliah di Jogja. Dia udah jadian sekitar satu semester sama cowoknya, sebut aja Romeo. Ada seorang cewek temen sang pacar, minta tolong padanya: mau ‘minjem’ cowoknya buat nemenin kondangan. Juliet dengan entengnya mengiyakan tanpa pretensi, tanpa cemburu, tanpa pamrih dan tanpa mengukur kemungkinan risiko. “Lha aku percaya aja tuh sama cowokku dan mereka kan emang temenan sejak SMA,” kilahnya padaku, polos.

Emang sih nggak ada kejadian aneh-aneh, setahu Juliet lah. Pokoknya pulang tepat waktu, utuh tak kurang tak lebih. Nggak ada yang terkikis karena lecet atau bertambah, misalnya cupang di leher ^_^.

Dia baru nyadar setelah mbak kosnya, maksudnya sesama penghuni kos tapi lebih tua setahun-dua tahun, nanyain Juliet waktu Romeo ‘dipulangkan’ ke kos Juliet.

“Siapa tuh cewek yang sama cowokmu di bawah? Emang kamu nggak jalan ama Romeo seharian?” tanya mbak kos yang nyamperin Juliet di kamarnya di lantai dua.

“Temennya cowokku, mbak,” terang Juliet tanpa memalingan muka dari PC, main game.
“Koq kayak dari kondangan, rapi banget?”

“Iya tuh!” jawabnya tetep enteng. “Temen SMA mereka ada yang nikah di Gedung Bimo Kotabaru.”

“Trus?”

“Apanya mbak?”

“Koq kamu nggak ikut?”

“Kemarin temennya Romeo ituh kan minta ditemenin. Romeo mau-mau aja asal aku ngebolehin. Ya… aku bolehin ajah!”

“Waaaa…. nggak boleh gitu, Dik!” mbak kosnya nyaris histeris.

“Lhaaa…. emang napa? Kan mereka dah ijin?” balas Juliet nggak kalah kagetnya tapi tetep aja innocent.

“Ya’e-lah! Bukan soal mereka dah ijin dan kamu emang ngebolehin. Ini soal harga dirimu Dik!”

Kali ini Juliet melongo, belum ngeh juga.

“Kalo temennya Kangmas Arjuna Romeo-mu minta dianter ngambil sampel bakteri di Kali Code, bolehlah. Kalo dia minta dikawal buat laporan ke polisi karena kecopetan, okelah. Lain soal, kalo pergi kondangan!!! Dua orang cowok-cewek yang dateng ke kondangan, di Jawa, di mata orang lain dianggap sebagai pasangan yang lebih dari sekedar ‘satu orang laki-laki bareng dengan satu orang perempuan’. Beginian nggak bisa disamain dengan ‘pendamping wisuda’ yang cuman tempelan. Waduhhh Dik-Dik!”

“Ooo, gitu ya Mbak, nggak tahu nih!” Juliet nyengir.

“Nah soal harga diri, bisa-bisa cewek itu juga udah nganggep dirimu tuh ‘nggak ada’. Mestinya kalian datang bertiga gitu kalo dia pengennya ditemenin. Toh, kalo itu resepsinya temen SMA, harusnya banyak stok temen cowok yang bisa diajak kondangan dong. Khawatirnya, kamu dianggap remeh!”

“Lha cowokku mau aja tuh,” kadar innocent Juliet belum abis-abis juga.

“Ya iyalah. Namanya cowok, keliatan ngegandeng cewek lain kan prestige, jewer aja dia! Sok baik tapi ngelaba!”

Juliet masih nyengir, manggut-manggut mulai (berusaha) ngerti. Ah, dikadalin gua!*

Fiksi

Was-was

Terakhir aku menelponnya bulan lalu dan kemarin, kukira ia di Jakarta, ternyata lagi di Jambi. Seminggu sebelumnya aku juga baru saja mendarat dari Riau bareng Mas-ku. Melayat bibi, tepatnya adik ayah mertuaku.

Setelah panggilan telponku tak diangkat, dia kirim sms sebagai balasannya.

Hoiii, sory ga keangkat. Kmarin msh di bndara, Jambi. Skrg dah sampe Cengkareng.

Kuterima pesan pendeknya pagi tadi. Seketika kutelpon dia begitu deru motor Mas-ku menjauh.

“Hai,” salamku ragu-ragu yang segera kututupi dengan bertanya, “ngapain ke Jambi, audit ya? Masih di PWC kan?” tanyaku menyebut kantor akuntan publik kondang itu.

“Iya tapi cuma empat hari koq. Eh suaramu renyah banget, lagi seneng apaan neh?”
Uh, dia yang kusakiti berulang kali, bertahun-tahun, masih saja bisa mengenali rasa-hati dari suaraku.

Mulut ini sudah mau ngeles tapi tiba-tiba saja tercekat. Samar-samar, aku seperti membaui aroma tubuhnya. Khas. Tanpa parfum. Hanya sisa sabun yang tandas tersapu air sehabis mandi. Laki banget!

“Ah biasa. Tiap bangun pagi kan harus hepi biar semangat,” bakat akting yang terasah selama di Bandung menyelamatkanku dari gelagepan.

“Harus itu. Eh ada apa neng?”

“Nggak koq. Cuma pengen tahu kabarmu aja. Baik-baik kan?”

Sepersekian detik dia tak langsung menjawab.

“Absolutely, I’m so fine. Ah kau ini neng, menelponku untuk memastikan aku baik-baik saja kan, he-he-he?”

Aku tahu ia 100% mencandaiku. Tak ada sinis apalagi nyinyir. Kuyakin juga tak ada lagi perih di seringainya. Sebaliknya pedih masih saja menghujam hatiku, menukik deras dan sejak obrolan di meja makan tadi pagi, kini berujung cemas.

Mas-ku bilang, dua mingguan kedepan bakal banyak lembur karena akan ada audit tahunan. Audit rutin sih, biasalah. Yang bikin dadaku ngilu seperti dipalu: akuntan publiknya dari PWC!

Waduh mereka bisa ketemu dong.

Ah, Mas-ku kan nggak mengenali Andi.

Tahu kalo dia di PWC juga nggak.

Lagian, belum tentu dia yang mengaudit langsung.

Tapi kalau iya?*

Sunday, June 21, 2009

Sudut Jatinegara

Coklat bubuk yang kudapat dari Tangerang telah ludes. Tak ada teman minum lagi malam ini. Teh, aku sudah bosan. Air putih sajalah. Sekalian mengurangi konsumsi gula.

Kuteruskan membaca artikel hasil download tadi sore di warnet.

Otak ini memang mesti istirahat. Bukannya dibawa tidur tapi malah melongok tulisan kawan di blog masing-masing dan catatan di FB. Gerutuan Tarli soal GM kubaca pertama kali lalu oleh-oleh Zen dari Taman Sari dan Gunung Agung.

Wah, kangen Jogja tenan ki!*

Wednesday, June 17, 2009

Gerimis Romantis!

Siang ini, penanda sms datang nyaring berdering. Olala, dari Ade Titi Hanih:

Mas, di kantor lagi mati lampu hiks3 ujannya malu-malu, gerimis romantis…

Ah… gerimis romantis! Seketika kuterabas jendela kamar kos Kalimalang, tanpa ganti baju dan tetap bercelana pendek, di pertigaan Pasar Ciplak anganku meloncat menumpang Mikrolet 19. Ndak sampai 5 menit, aku sudah ganti moda dan segera terlena oleh kursi-kuris butut Mayasari Bakti P6 jurusan Kampung Rambutan-Grogol. Lepas dari Gedung MPR-DPR dan Manggala Wanabakti, aku berdiri bersiap turun.

“Mana?” tanya kernet lalu menebak, “Slipi?”

“Ya tapi mau terusan ke Kedoya!” tukasku yang bersaing dengan deru bayu dari arah selatan ketika bus melaju di atas flyover.

“Ohh, ntar turun Slipi, ganti M11 lalu naik Metromini 92 di pertigaan Relasi. Atau ikut aja sampe Grogol, naik 92 juga,” terang kernet layaknya Duta Tranportasi Jakarta 2009.

“Turun depan saja. Kalo naik 92 dari Grogol, ntar kelamaan!” kataku.

“Emang ‘napa buru-buru?”

“Menjemput cinta!”
***

Dendam!

Bagi saya, mengamini celetukan kakak lelaki kedua, Soeharto dan Orde Baru itu nothing, sayang Pak Tua itu sudah mampus. Dia bisa bilang, antek-antek PKI dan bahaya laten komunis harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Orba sendiri juga punya dan memelihara antek-antek yang kalau kini masih meger-meger, ya karena duitnya bisa membeli hukum.

Jaman berganti masa tapi Soeharto di neraka sana juga mesti tahu, kalo antek-antek Orba sampai sekarang masih saja cari muka. Bergaya pahlawan kesiangan sok Pancasilais taik kucing.
Ibu saya dulu PNS guru SD, kini sudah almarhum. Jaman ontran-ontran G30S, dalam obrolan antar teman sesama guru, Ibunda saya pernah nyeletuk:

“Wah, eRPeKAD kejam-kejam banget. Nangkepin orang trus nginjak-nginjak!” katanya merujuk tentara dari satuan RPKAD, kini Kopassus, yang ‘menjemput’ orang-orang yang dicurigai anggota PKI atau anggota organisasi yang berafilasi pada PKI seperti Gerwani dan BTI.

You know lah. Jaman segitu, seseorang bisa keciduk dan menghilang hanya gara-gara laporan sepihak. Yang terlapor bisa saja nggak ada sangkut pautnya dengan partai terlarang (oleh Orba) itu. Yang melapor pun tahu itu, tapi karena sentimen, iri dan dengki oleh banyak sebab seperti karir atau sengketa tanah, atau ingin menunjukkan kesetiaan pada negara (baca: Soeharto dan Orba), lantas cuma bermodal cangkem dan telunjuk jari sudah bisa mengirim tetangga atau kerabatnya sendiri ke bui. Pun dengan seseorang bajingan yang Ibunda sendiri tidak pernah memberitahu namanya pada saya. Yang pasti, antara orang itu dengan Ibunda saling kenal.

Dalam hitungan minggu, Ibunda saya dipanggil pihak keamanan. Yang jelas bukan polisi tapi militer yang bajunya ijo-ijo itu. Interograsi berjam-jam dan berulang kali meninggalkan kewajiban mengajar makin menyurukkan nama baiknya. Semua teman guru sudah mendengar kabar kalau Ibunda kena wajib lapor, istilahnya mel (dari bahasa Belanda: melden/melapor) dan menjadi bahan bisik-bisik karena ini isu sensitif dan tepat buat sekawanan manusia iblis yang suka bertepuk tangan di atas penderitaan orang lain.

Ikutan membela? Sama saja dengan bunuh diri. Seperti sang pelapor, jaman segitu panji-panji oportunis memang lagi-lagi mengangkasa. Siapa tahu naik pangkat jadi kelapa sekolah atau penilik, wow status priyayi pun pantas disandang!

Alhamdulillah, Ibunda saya secara defacto dan dejure bersih dari stempel keji itu. Sayang, noda sejarah telanjur membekas pada nama baiknya sebagai pribadi dan PNS. Lebih-lebih lagi, membebaninya seumur hidup. Keputusannya untuk pensiun dini pun tak lepas dari pengalaman pahitnya, beliau mengajukan pensiun dini dan dikabulkan pada usia 50 tahun ketika saya masih kelas 5 SD, sekitar tahun 1987-88.

Menurut penuturan kakak perempuan saya, Ibunda merasa status kepegawaiannya masih bisa diutak-atik oleh orang-orang yang dengki, maklum tahun itu Soeharto dan Orde Barunya sedang sakti-saktinya. Untuk sekawanan penjilat, membuat orang lain kelimpungan mengurus status bersih diri secara politik, mungkin memuaskan. Siapa tahu masih laku buat naik jabatan atau mempererat perkawanan dengan aparat. Akhirnya, mumpung sedang tidak ada gejolak dan pas menjelang usia ke 50, Ibunda mengajukan pensiun dini. Syukurlah, tidak ada masalah.

Jangan dendam!
Untuk mengisi masa pensiun, Ibunda makin aktif di kegiatan kampung: pengajian, arisan, PKK, Dasawisma dan organisasi persatuan pensiunan PNS, namanya saya lupa. Daya jelajahnya pun meluas, sering beliau ikut mengaji hingga masjid kampung sebelah. Teman-temannya seabrek-abrek sampai-sampai orang bilang: kalo ndak ada Bu Nur, arisannya sepi. Atau, Bu Nur mesti disamperin biar pengajiannya rame!

Ketika Ibunda meninggal dengan tenang pada 1 Februari 2003, di tengah kesedihan mendalam, saya merasa terharu sekali. Orang-orang yang melayat banyak sekali, sebagian besar tidak saya kenal karena mereka datang dari kampung-kampung sebelah, para jamaah beberapa masjid tempat Ibunda mengaji dan juga teman-teman Ibunda sesama pensiunan PNS. Masih melekat di ingatan, Ibunda selalu berpesan agar tiap Sabtu malam, selarut apapun, saya harus pulang karena subuh keesokan harinya beliau minta diantar ke masjid di Jalan Parangtritis selatan kampus Stikers, untuk pengajian Ahad pagi.

Menyoal banyaknya pelayat, kakak perempuan menghibur saya usai pemakaman: “Tadi lihat kan, yang layat sebegitu banyak. Itu jadi tanda kalau Ibunda memang dicintai banyak orang. Ibunda pasti tenang disana dan kamu juga harus rela. Ikhlas!” kata kakak. Waktu itu dia meneruskan, “Ibunda pernah pesen buat aku dan anak-anak yang lain: jangan dendam! Apapun keadaan Ibunda di masa lalu, jangan dendam karena Ibunda sudah merelakan semua.” Aku mengangguk tanda mengerti.

Mereka mengusik lagi…
Tapi, setan Orde Baru masih saja merasa eksis di jaman (yang katanya reformasi) ini di mana mereka seharusnya menyembunyikan muka di balik pantat mereka sendiri. Sekian bulan lalu, 11 tahun setelah Orba tumbang, hampir 2 tahun setelah Soeharto berkalang tanah, kakak perempuan kedua saya yang juga PNS guru SD membawa ‘oleh-oleh’ dari tempatnya mengajar: ada seorang guru senior yang bertamu di sekolahnya. Si guru senior itu bilang pada kakak saya.

“Kamu anaknya Bu Nur kan (ia kemudian menyebut nama lengkap Ibunda)?”

“Inggih Pak,” jawab kakak dengan sopan menilik usia si penanya seumuran dengan Bapak saya.

“Aku sebarakan (sebaya) dengan Ibu dan Bapakmu,” paparnya dan lanjutnya tanpa tedeng aling-aling, tanpa basa-basi:
“Aku tahu persis Ibumu dulu ‘terlibat’!” katanya yakin.

‘Terlibat’ adalah istilah khas untuk menyebut orang-orang yang tersangkut paut dengan organisasi partai terlarang (oleh Orba) itu.

Sebagai salah satu pilar penegak kehormatan keluarga, kakak saya menjawab.
“Itu fitnah. Ibu tidak ada kaitannya dengan hal itu. Dan sudah terbukti secara hukum kalau Ibu memang bersih!” jawab kakak.

Si guru senior itu menjawab dalam diam lalu melengos. Ada pesan intimidasi tersirat dari kata-kata dan ekspresinya, terkirim pada kakak saya mengingat kakak juga seoang PNS. Apapun fakta hukum, sosial dan politik, seolah si guru senior itu tak peduli, baginya sekali stigma politik itu menempel, selamanya akan tetap berlaku. Pun bagi anak-anaknya.

Ketika menuturkan peristiwa itu pada saya dan kakak-kakak yang lain, kakak saya bercerita dengan tenang. Datar. Tanpa ekspresi gusar. Memang begitulah seharusnya karena kami yakin Sang Hakim Agung yang akan membalas sang penjilat, pefitnah dan para tukang tepuk tangan.
Saya sendiri sudah berjanji untuk tidak mendendam. Biarlah hukuman dari Yang Diatas mendera mereka di saat tawa mereka berderai, ketika wajah bengis nan sinis meringis dan saat tepuk tangan dalam hati mereka merayakan fitnah yang menimpa Ibunda dan kami sebagai anak-anaknya.

Oya, di mata saya, mereka itu para fatalis Orba, fakir akan empati, menghamba pada berhala stabilitas masa keemasan Soeharto yang sebenarnya semu serta miskin soal sejarah dalam konteks sosial politik Orba.

Zaman berganti rezim, Pemilu Capres kurang dari sebulan lagi, dan penjilat-penjilat baru pun lahir. *GBU, hati-hati di jalan.

Sunday, June 14, 2009

Blog Contest!!!

Kabar baik neh, spesially buat aku yang lagi posting2 blog setelah puasa luamma qe3 Ada blog contest neh, lumayan banget lah kalo ngeliat hadiahnya, paling nggak buat penyemangat:

1 Unit Notebook Acer Aspire
1 Unit Netbook Advan A1N70T
1 Unit Camera Digital Shitel DB702C
5 Unit Modem HSDPA Prolink PHS100
10 Unit USB Flash Disk Kingston DT-G2 Kapasitas 8GB
100 Unit USB Flash Disk Kingston DT-G2 Kapasitas 4GB

Lengkapnya, klik aje:
http://mareasspy.blogspot.com/2009/06/blog-contest.html

Fiksi

Asal Bukan Dirimu…!

Bulan lalu aku ada selebrasi kecil-kecilan, bukan ulang tahun atau ganti HP BlackBerry Storm. Atau netbook Vaio yang bisa masuk kantong celana kargo. Ahh… ini bukan soal apa yang dirayakan. Untuk siapa selebrasi itulah yang membuatku begitu meledak-meleduk untuk segera bercerita padamu ^_^

# Pertama
Aku mengenal lelaki itu lima-enam tahun lalu, ketika masih kuliah di Solo. Dia teman kuliah seangkatan di FISIP namun beda jurusan. Sekilas Omi-namanya-, he's ordinary man. Boleh dibilang gampang bergaul meski nggak terlalu supel. Kalau kuingat-ingat lagi, caranya ngomong usai mata kuliah umum yang diikuti anak-anak jurusan yang berbeda, sebenarnya biasa saja. Apa sih obrolan antar cowok selain sepak bola dan politik? Dengan cewek pun juga tak beranjak jauh dari mata kuliah, kelompok praktikum penelitian atau celaan dan godaan. Diskusi menjurus serius juga tidak akan berlangsung lama kecuali mood anak-anak lagi bagus. Yang bertahan agak lama mungkin karena memang lagi penasaran beretorika.

Pun Omi, seingatku dia nggak begitu tertarik ngalor-ngidul menyoal Mega, Gus Dur, SBY, militer dan IMF apalagi menarik urat lehernya untuk menaikkan intonasi demi mendominasi dalam perdebatan di selasar fakultas. Dia juga tidak banyak malang melintang di fakultas, usai kuliah Omi jarang terlihat berlama-lama nongkrong. Kalau tidak ke gelanggang mahasiswa ya paling-paling menggelandang ke kantin fakultas sastra atau ekonomi di sebelah.

Aku, sumpah, cukup obyektif menilai orang. Dalam diskusi di kelas atau obrolan di taman kampus, ia lebih memilih mengikuti arus saja. Jarang sekali menimpali dengan kritis sebagai pertanda awal ia bukan bagian dari smart list. Kutipan-kutipannya pun kurang menghentak dibanding jagoan-jagoan debat sesama angkatan. Common sense lah!

Soal pribadinya, juga tak terbilang istimewa. Malah, buat kami mahasiswi cewek yang baru setahun menanggalkan seragam abu-abu, masih banyak cowok yang secara visual dan verbal jauh lebih menarik. Cakep dan kelihatan cerdas atau manis dan supel. Ada juga yang pendiam namun cubby menggemaskan dengan lesung pipit. Omi, jelas bukan bagian dari itu semua.

Pernah aku mendengar ocehannya di depan perpustakaan menjelang ujian semester pertama. Mungkin mood ku yang lagi buyar gara-gara PMS atau memang teriknya musim kemarau yang bikin sensi, aku merasa gaya bicara Omi aneh. Aku sendiri duduk bareng 2-3 teman cewekku di bangku taman yang berbentuk tapal kuda, membelakangi Omi dan beberapa teman cowok dengan hanya seorang cewek diantara mereka. Sambil mengobrol yang diselingi ketawa-ketiwi, kudengar Omi bercanda nggak penting dan menurut referensi humorku yang berlatar Melayu, berasa aneh. Kalo orang Jawa bilangnya: wagu.

”Eh, Nadin!” celetuknya pada cewek disampingnya.

”Geser dikit ke sono lah,” katanya sok serius, sambil menjentikkan jarinya.

”Lha opo to rek? Kok kayaknya risih sama aku?” jawab Nadin sambil reflek memiringkan sisi kanan tubuhnya, menjauhkan badan dari Omi tapi pantatnya tidak beranjak dari tempat semula.

”Nggak sih. Malah nggak enak sama kamu, kalau-kalau penyakit bawaanku kambuh!” kata Omi polos.

Semua temen-temen nongkrong langsung menatapnya penasaran. Alis Nadin mengerenyit penuh selidik, ada mimik separuh cemas, setengah jijik di matanya. Mau nggak mau telingaku mengikuti obrolan dari arah punggungku itu.

”Aku dari tadi nahan gatal-gatal eksim dan sesak karena jantungan,” kata Omi merendahkan intonasinya, ”...karena deket sama diajeng ayu dan wangi kayak kamu.”

Sejurus Omi cengengesan, meledaklah tawa dan keluarlah suara-suara khas Indian dan binatang dari mulut mereka: klu-klu-klu-klu-kluuu... guk- guk- guk- guukkk... wakakak- wakakak- wakakak-kak-kak-kakkk....!!! Dasar cewek badung, Nadin nggak mau kalah terbahak. Ada lega di ledakan tawanya.

Aneh! Batinku merutuk candaan mereka, terlebih guyonan Omi. Apaan seh, mending Srimulat di Indosiar, kataku dalam hati. Sial, dua temen ngobrolku malah ikut tersenyum malu-malu.

Selang beberapa kali mendengar candaan Omi di waktu lain, aku merasa mesti loading. Nggak ngeh. Mesti mikir dan berujung: apaan seh!? Aku nggak cocok dengan gayanya. Pokoknya aneh! Saat mendengar ocehannya, telingaku pun mengirim sinyal janggal ke otakku. Demi mendapat laporan dari indera dengar itu, sikapku padanya pun biasa saja untuk tidak mengatakan mengambil jarak.

Mulutnya memang yang membuatku tidak banyak memberi perhatian padanya. Yap, meski aku berani mengaku obyektif, sebenarnya aku juga percaya dengan intuisi sebagai perempuan. Menurutku, dia terlalu gombal, doyan ngobral candaan yang menjurus buat menggoda para betina kampus. Pengumbar rayuan! Cuma, entah mengapa ia nyaris tidak pernah melakukannya padaku, mungkin karena aku sudah pasang tampang judes duluan. Pokoknya, aku tahu banget kelakuannya itu. Eh, bagaimana bisa aku lebih mengenalnya sedangkan aku tadi bilang menjaga jarak? Nah, ada ceritanya nih.

Keluyuran Omi ke sudut-sudut kampus ternyata beroleh seseorang. Aku mengetahuinya sendiri lha wong cewek itu tetangga kosku di kampung Prenjak. Kosku selisih satu rumah dari ujung gang sedangkan dia lebih masuk ke dalam ke arah balai warga RW 06. Sering bersua ketika berangkat dan pulang, membuat kami berkenalan dengan sendirinya. Namanya Vita, sapaan akrab dari Alvita Damayanti. “Penuh gairah hidup!” katanya renyah memapar makna latin Alvita, suatu ketika. Dia bukan dari FISIP tapi anak akuntansi FE. Manis luar dalam karena nggak jaim dan suka bercanda. Matanya seperti agak sipit-sipitnya orang Jawa dengan tahi lalat kecil di dagu, seperti ornamen yang pas bagi bibir mungilnya.

Hingga satu sore dengan semburat matahari yang condong ke arah kiblat, pertama kali aku melihat Omi berjalan kaki melintas di gang Prenjak, tepat di bawah kamarku yang terletak di lantai dua. Berjalan lurus tak sedikit pun menoleh meski di kanan kiri cewek-cewek kos berdaster atau bercelana pendek duduk-duduk menikmati udara segar selepas ashar. Tanpa pretensi karena aku memang mengenalnya, mataku mengikuti punggungnya. Meskipun rimbun pohon cherry membuatku kehilangan jejaknya, kukira-kira sendiri, pasti ia menuju ke kos Vita atau rumah sebelahnya yang berpagar teh-tehan. Entah siapa yang ia temui, bisa jadi Vita atau yang lain. Nggak pentinglah, batinku sambil meneruskan obrolan dengan teman sekos di teras lantai atas.

# Kedua
Selepas Duta SO7 dengan Dan-nya mengiba-iba dari speaker PC kamar sebelah, sudut mata kananku menangkap sosok yang sepertinya kukenal. Olala, Omi muncul dari balik rimbunnya cherry. Kali ini tidak sendiri, setengah langkah di belakangnya mengayun langkah-langkah ringan cewek yang juga kukenal. Olala lagi, rupanya Vita-lah pasangan kencan cowok ganjen Vita sore-sore. Kali ini aku jujur deh, mereka tampak serasi, Omi dengan celana gunung selutut dan Vita dengan celana serupa yang, tentu saja, lebih girly. Kaos oblong mereka sama-sama abu-abu, cuma salah satu lebih darky dibanding pasangannya. Rambut sebahu Vita yang berbando biru seperti melonjak-lonjak seolah mengimbangi keriangan hatinya. Sedangkan Omi sesekali cengar-cengir sembari ngobrol dengan Vita. Ngobrol? Hah, tepatnya ngegombal!

Pas di depan rumah kosku, Vita mendongak ke atas. Tangan kirinya melambai ke arahku tanpa maksud memamerkan tangan kanannya yang bergandengan dengan Omi. ”Hai May!” panggilnya setengah berteriak. Aku membalas dengan sahutan serupa sambil lebih melongok ke bawah, memastikan ia tahu aku membalas panggilannya. Aku sempat mengira, Omi bakal sedikit kaget kalau ’ceweknya’ denganku sudah saling kenal. Ah, dasar buaya! Rutukku melihat ekspresi sok cool-nya.

”Kosmu di sini May?” ia malah bertanya, aku cuma mengangguk.

Seperti ketika Omi datang, aku mengikuti punggung mereka berdua sampai menghilang di ujung gang ketika berbelok ke arah jalan Mijil.

Kelar kuliah jam ke dua, kira-kira jam setengah 12, aku disamperin Vita ketika bergegas mengisi perut ke kantin sastra. Ia kebetulan hendak mengambil motornya yang berarti satu jalan denganku karena area parkir motor FE di belakang kantin sastra.

”Pulang atau makan, May?” tanyanya seolah tahu arah yang kutuju.

”Ya makanlah. Statistik bilang, 97,4% anak Fisip yang numpang lewat FE tujuannya pasti kantin Sastra he-he-he,” jawabku ber polling-ria. Vita menjawab dengan tertawa.

”Kamu emang mau kemana?” tanyaku.

”Ke Mirota. Cari jam weker,” tukasnya.

”Pake handphone saja, taruh deket kepala, bangun deh!” kataku memberi garansi.

”Bukan buat aku May. Buat koncomu kae lho...,” paparnya bercanda.

”Buat si ... Yang kemarin lewat kosku kan?” aku nyaris menebak tapi kembali kutahan, takut kalau-kalau salah orang.

”Siapa lagi to May! Dia sering telat berangkat kuliah sih, tapi anehnya kalau janjian sama aku koq bisa tepat waktu ya. Malah dia yang sering nunggu duluan,” cericit May setengah curhat.

”Biasalah Vit. Kalau lagi jadian ya gitu deh, on time,” timpalku. Aku sebenarnya tengah memancingnya karena pengin tahu sudah berapa lama mereka jadian.

”Ahh, dari dulu juga gitu!” jawabnya pendek.
Eitt, salah deh! Batinku mengaku keliru. BTW, jadiannya sejak kapan ya? Kalau kami belum sampai di pintu masuk kantin, pasti aku bertanya langsung.

”Bye May,” kata Vita menepuk lenganku penanda berpisah.

”Bye Vit,” sahutku sambil menuju ke tempat duduk beberapa temenku yang sudah duluan makan.

* * *
Seperti anak-anak tahun pertama, masuk kuliah dari pagi hingga sore membuatku jarang kumpul-kumpul dengan teman seangkatan. Selain karena jadwal kuliah, aku memang sengaja memaksimalkan jatah SKS-ku. Ini berlanjut terus sampai semester-semester berikutnya, apalagi aku juga mengambil les bahasa Inggris di EF 3 kali seminggu di cabang Slamet Riyadi. Kejar setoran, kata ayahku awal semester kemarin via SLJJ. Yup, kami sekeluarga sampai 2 tahun kedepan memang mesti berhitung ketika ingin mengumbar kartu debit di mall.

Aku dan kedua kakak laki-lakiku lahir di Pelalawan, Riau. Sedari dalam kandungan, kami dibesarkan oleh tandan-tandan buah kelapa sawit. Tempat ketiga anak Pak Darmin dan Bu Mulik ini belajar berjalan pun di bawah pelepah-pelepah tanaman rakus air ini. Keringat kami ketika berlari, petak umpet, dan naik sepeda menetes di sepanjang jalan desa. Pun, beraian air mata karena jatuh terjerebab juga serta merta terserap tanah berbatu nan kering.

Mulai 2 tahun lalu, sebagian kebun bapak dari total 50 kapling alias 100 ha, sedang diremajakan, berganti dengan tunas-tunas sawit baru. Meski cuma seperempat yang diremajakan, rupanya menguras tabungan keluarga. ”Aku sengaja pake benih yang bener meski banyak ditawari yang murahan. Kalo nggak ngambil dari Socfin, BSM ya PPKS. Harga urea makin gila. Untung harga TBS masih baik,” papar ayahku ketika ketiga anaknya pulang mudik lebaran kemarin.

Kepada anak-anaknya, ayah bercerita soal keuangan keluarga di ruang tengah selepas isya.
”Bukan berarti masalah,” katanya, ”tapi biar kalian ngerti kalau setiap permintaan kalian nggak bisa aku sama mamakmu penuhi.”

”Tapi, tenang sajalah, kalian nggak usah mikirin. Pokoknya kalo buat kuliah, makan dan jajan di Jawa, kiriman dari mamakmu masih cukuplah,” katanya menyombong. Matanya berbinar lebar pada Mamak yang ikutan nyengir.

”Kalian tenang-tenang saja di Jawa. Pokoknya, jangan berani-beraninya minta HP baru. Sekarang ituh, mending urea daripada Nokia! Oya, rawat baik-baik komputer kalian. Pokoknya, kuliah yang bener dan jangan macem-macem,” kata Mamak yang sedari tadi diam. Ibunda kami tercinta ini memang lebih galak dari ayah. Kami bertiga cengengesan. Roni, sang kakak sulung, mengacungkan dua jarinya di bawah meja pertanda menang. Kami sebelumnya memang bertaruh, berapa kali nanti Mamak akan menyebut kata ’pokoknya’.

Konsentrasi pada kuliah juga membuatku tidak tertarik pacaran. Toh, semua bisa aku lakukan sendiri. Ganti lampu kamar bahkan nyambung kabel listrik pun bisa, tanpa harus minta tolong induk semangku. Kalau harus pulang malam dari warnet, kakakku Adon yang kosnya berjarak 5 menit dari kosku dengan senang hati menjemput adik bungsu tersayang ini.

Menghabiskan malam minggu di kos bareng teman-teman sesama jomblo pun sudah jadi hal biasa bagiku. Ada sih pengen pacaran tapi entah kenapa hatiku belum tergerak menerima pinangan beberapa teman cowok yang tepe-tepe dan pedekate. Sempat kepikiran sih, kalaupun aku pacaran nantinya toh hanya sekedar pacaran having fun yang minim komitmen atau sekedar teknis dan demi status. Asal ada yang mengantar jemput, jadilah! Bisa-bisa, meminjam istilah temanku Esa, pacaran model PBSI: Pacar Bukan, Sopir Iya! ^_^
* * *

# Ketiga
Sumpah aku bukan anti-cowok sampai-sampai menjelang KKN aku belum pernah pacaran. Orang tua pun membolehkan aku pacaran dengan sekian deret syarat ini itu khas ortu yang anaknya kuliah di perantauan. ”Pokoknya, kenalin pacarmu dengan kakakmu Adon biar saling menjaga,” pesan ’pokoknya’ Mamak suatu ketika. Mungkin saja, menurutku sendiri, ini lebih karena referensi soal cowok yang kudapat terbilang buruk: males-malesan, ngegelek, nyontek, atau main PS mulu bareng anak kampung yang masih SD-SMP, wiiiii...

Yang kelakuannya kegantengan juga bejibun. Omi salah satunya. Ini kulihat sendiri, meski dia udah jalan bareng dengan Vita, masih saja mengumbar candaan yang bisa bikin cewek-cewek klepek-klepek. Okelah dia nggak selingkuh tapi bagiku itu sama saja sudah ngasih hati. Sudah ketahuan deh, komitmennya nggak bakal bisa dipegang.

Ada juga sih yang pas dengan seleraku: macho kayak anak-anak mapala dan atletis seperti yang ikut UKM Inkai. Sayangnya, aku pernah melihat temen kosku berantem dengan pacarnya yang pecinta alam. Atau, temen kuliahku sering ditinggal cowoknya karena ikut pemusatan latihan buat POM. Pekan Olahraga Mahasiswa. Aku yakin bukan juga karena seleraku yang terlalu rendah atau malah ketinggian. Bisa juga karena bawaanku yang cenderung mandiri, i can do anything by myself or my big brother can make it done qe3.

Buat membuang waktu daripada termenung atau kebanyakan nonton DVD jorok (cewek juga doyan lho ^_^), aku lebih sering nongkrong di depan PC. Jaman segitu populasi laptop belum menjamur seperti sekarang, standar pengisi kamar kamar kita masih komputer meja itu. Pentium IV dengan DVD-RW yang semasa itu sudah wah karena rata-rata user lainnya sudah cukup dengan DVD Combo. Aku beli dalam kondisi gress bareng komputernya Kak Adon.

Selain buat menulis makalah, proposal dan skripsi, PC juga aku pakai buat main game. Need for Speed, kalau lagi punya waktu banyak atau game Flash kalau lagi nunggu antrian kamar mandi.
Utilitas PC lumayan bergeser ketika aku mulai mengerjakan skripsi. Awalnya, aku iseng-iseng menemani temanku Sekar, anak Prodi Komunikasi, ikut mata kuliah Komunikasi Massa yang ia ulang (!). Dosennya menarik dan lebih membuatku antusias karena dia menghadirkan seorang dosen teknik kimia yang rajin menulis esai di koran dan majalah. Aku lupa namanya. Meski orang eksak, tapi, kata dosennya Sekar, ”Tema tulisannya melintasi batas disiplin ilmunya sendiri. Soal teknik sudah pasti beliau ini jago tapi tema eksak seperti ini bisa ia tarik ke sosial, politik bahkan psikologi.”

”Lebih ke soal bagaimana mendekatkan disiplin ilmu kita pada masyarakat. Isu yang mengawang-awang kita create menjadi populis,” kata dosen teknik itu menimpali.

Sebenarnya, pak eh mas dosen Teknik Kimia itu memaparkan pengaruh media massa terhadap isu-isu sensitif di masyarakat seperti isu pembangunan PLTN(uklir) Gunung Muria, sampah-sampah impor yang mampir ke Batam dan lain-lain. Karena aku bukan anak komunikasi, aku malah ndak memperhatikan materi utama perkuliahan. Sebaliknya, aku malah seperti tertampar sebagai anak Fisip karena meski secara keilmuan ada kedekatan dengan media massa tapi belum tergerak untuk menulis. Pendeknya aku termotivasi!

Pulang kuliah aku membeli beberapa koran harian, Bengawan Pos, Solo Pos dan Kompas. Masih terngiang bocoran dari mas dosen soal kiat menulis bagi penulis pemula seperti aku yang masih mahasiswa waktu sesi tanya jawab. ”Bisa mulai dari rubrik-rubrik opini yang diperuntukkan buat mahasiswa. Sebagian besar koran punya rubrik ini, karena bagi media massa ini salah satunya strategi merangkul pembaca dari kalangan muda dan kampus,” papar mas dosen tadi siang.

Aku ingat persis, tulisan yang aku buat ada 2 biji: satu artikel tentang bantaran kali Bengawan Solo untuk Solo Pos dan artikel tanggapan untuk rubrik Akademia di Kompas edisi Jateng. Yang pertama aku selesaikan lumayan lama, dua jam. Itupun sebenarnya menulis ulang dari makalah tugas mata kuliah Dampak Kebijakan Pembangunan, kebetulan juga menyitir soal kali terpanjang di Jawa itu. Yang untuk Kompas, nggak butuh lama sekitar 45 menit. Panjangnya hanya 5 alinea. Setelah aku print di kamar sebelah, segera kukirim lewat pos esok harinya.
Hari itu hari Jumat, jadi aku harus menunggu beberapa hari ke depan untuk melihat apakah tulisanku dimuat atau nggak. Selasa untuk Solo Pos dan Kamis untuk Kompas.

Hari penantian pertama akhirnya tiba juga. Aku beli Solo Pos pagi-pagi. Di kios koran, jemariku langsung mencari halaman 6. Berita utama di halaman pertama langsung kulewati, bukan prioritas buat saat ini. Nah ini dia, rubrik Dari Kampus di pojok kanan atas. Industri dan Bantaran Bengawan Solo. Ini judul artikelku! Hoii...it’s my milestone qe3

Sayang, artikel tanggapanku untuk Kompas tidak dimuat. Kamis siang kutengok Kompas di perpusatakaan, ternyata yang dimuat kiriman anak Dian Nuswantoro, Semarang dan IAIN (kini UIN) Kalijaga, Jogja. Sedikit kecewa sih tapi nggak apa-apa karena Solo Pos terbitan hari Selasa lalu telah membuat minggu ini berasa minggu-nya May. Apalagi aku boleh sedikit bangga. Pasalnya, seperti karya tulis anak-anak Fisip yang tayang di media cetak, staf akademik juga menempel kliping artikelku di papan informasi fakultas. Wii... lumayanlah buat seorang May yang bukan aktivis kelompok diskusi, bukan pula anak pers mahasiswa atau senat.

# Keempat
Dari honor pertamaku itu, kubeli buku Mengarang itu Gampang-nya Arswendo. Buku yang nyaris menjadi kitab bagi yang mulai belajar menulis itu kulahap cuma dalam dua hari. Setelah tuntas, aku tidak segera menulis artikel selanjutnya. Jadwal konsultasi dengan dosen pembimbing yang dipadatkan, karena ia nyambi di lembaga riset sosial politik, membuatku tak punya waktu banyak. Aku lebih banyak membaca buku-buku referensi menulis, salah satunya kubaca sampai 2 kali: Seandainya Saya Wartawan Tempo.

”Bacalah buku itu, katanya bagus buat belajar menulis esai,” kata temanku, Ajeng, anak Komunikasi, memberi referensi. Dia sendiri belum pernah menyentuh buku terbitan tahun 96 itu. Yang ia ingat, buku itu disebut dalam daftar acuan diktat jurnalistik.
Sebulan kemudian aku baru menulis artikel lagi dan mulai berani mencoba rubrik di luar yang dikhususkan buat mahasiswa. Artinya, aku mesti bersaing dengan penulis umum. Rubrik Opini jadi medan berikutnya langsung dimuat di media lokal kelompok Jawa Pos, namanya lupa. Menyusul 2 minggu berikutnya, Fadhilah Jumat-nya Bernas Jogja memuat artikelku tentang Ukhuwah Islamiyah. Resensi buku dan film baru kucoba setelah bulan ketiga sejak artikel pertama di Solo Pos itu, dimuat di Sindo dan Suara Merdeka.

Mungkin seperti penulis lainnya, banyak juga artikelku yang mental, tak dimuat. Tunggu punya tunggu, kalau tak ada kabar biasanya aku kirim ke media lain selang sebulan dua bulan. Untunglah tidak pernah ada pemuatan dobel, kalau sampai terjadi bisa-bisa dikomplain oleh pembaca lainnya atau bahkan korannya langsung. Black-list jadi ganjaran. Tulisanku yang dimuat di Kompas Jateng sebenarnya artikel yang nggak dimuat di koran Semarang. Aku masih ingat, itu kukirim setelah aku perbaiki dengan data sekunder dan sedikit kutipan, kalau tidak salah dari Nurcholis Madjid. Panjangnya bertambah 1/3 dari semula.

Dari menulis di beberapa koran itu pula, secara tidak langsung, aku kembali bertemu dengan Omi. Ceritanya, aku diundang oleh Kompas ikut acara gathering Forum Penulis Kompas di Hotel Shantika, Jogja. Di situ aku baru tahu kalau Omi juga penulis lepas, bedanya dia lebih banyak menulis resensi buku dan menjadi kontributor freelance. Karena masuk ke lingkungan yang baru, aku membuang kikuk dengan lebih banyak mengobrol dengan Omi. Ada juga sih satu dua dosenku tapi tentu saja ada segan.

Di acara itu pula aku bisa lebih banyak mengenal komunitas penulis di Jogja dan Jawa Tengah, itupun Omi yang mengenalkan. Dia jadi guide sekaligus juru bicara karena aku masih saja kaku berbaur dengan orang-orang yang sebelumnya hanya kukenal lewat tulisan mereka di koran sekaligus kujadikan mentor. Meski sempat kikuk, aku merasa senang bisa ikut acara seperti ini. Yang paling kurasakan, makin pede dan punya banyak kenalan baru.

Aku juga respek dengan Omi yang rajin menarik tanganku kesana kemari nyamperin teman-temannya. Mungkin dia tahu dari ekspresi bingung dan caraku berdiri yang terus bergeming sejak pertama kali datang. Satu hal lagi yang membuatku makin respek dengannya adalah cara memperkenalkan diriku.

”Ini May. Mayda Rahmani, temenku anak UNS juga. Soal Solo, dia juaranya!” kata Omi. Lebay hiperbolik dah, tapi aku senang-senang saja, sedikit tersanjung sih iya. Dasar perempuan!
Pulang ke Solo, kami pulang bareng naik motor. Seingatku, motor Honda Legenda ini mirip motor Vita atau memang motornya Vita. Berarti awet juga pacaran mereka, pikirku. Aku mau iseng bertanya tapi tidak jadi karena selama ini aku nggak begitu akrab dengan Omi. Bahkan dulu sempat menjaga jarak karena persepsiku yang kurang baik tentang pribadinya. Baru hari itu saja mulai dekat. Mulai dekat? Hah, aku baru sadar kalau sekat yang kupasang pelan-pelan luruh.

* * *
Setelah acara di Jogja itu, aku makin banyak ’keluar’. Jika sebelumnya lebih banyak membaca buku dan berkutat dengan PC di kamar, selanjutnya aku sering nongkrong di luar rumah. Lebih seringnya ke acara diskusi tematik bikinan lembaga studi budaya dan sosial politik atau besutan koran-koran di Solo. Kadang juga nimbrung di acaranya kelompok penulis seperti FLP dan Komunitas Kamisan. Awalnya datang karena undangan yang dititipkan pada Omi, hari-hari berikutnya undangan mampir langsung ke HP via sms.

Aku juga sudah tidak kikuk lagi kalau ikut acara-acara seperti itu walau bukan berarti jadi peserta yang aktif. Mungkin aku masuk jenis perenung, irit bicara. Katanya Omi waktu di Radya Pustaka, ”Kamu itu kayak gong, baru bunyi kalau dipukul itupun sekali saja. Setelah itu senyap he-he-he.”

Memang sih, aku lebih banyak jadi pendengar. Mungkin bawaan persentase introvert ku lebih banyak dari pada sisi ekstrovert. Kalau pun ngomong lebih seringnya dalam bentuk pertanyaan. Sebenarnya selama diskusi, aku mengendapkan substansi presentasi para pembicara. Lalu sepulang dari diskusi, malam hari atau besok paginya aku merekonstruksi ulang atau menggunakan materi diskusi buat menulis artikel dari sudut pandang yang lain.

Aku juga jarang mendiskusikan hasil tulisanku dengan teman yang lain tapi entah mengapa jarang sekali kulakukan. Paling-paling lewat email dengan redaktur desk opini yang jawabannya pendek-pendek. Pernah juga Omi sekali dua kali memberi komentar, lagi-lagi lewat email.

Kami jarang ketemu lagi apalagi masing-masing sibuk dengan ujian skripsi. Dia juga sudah tidak lagi terlihat lewat depan kosku karena Vita sudah lulus duluan dan kerja di Chevron, kalau nggak salah di Balikpapan.

# Kelima
Juni 2007 aku lulus ujian skripsi dan diwisuda bulan Agustus. Bulan itu juga aku pindah ke Jakarta karena diterima bekerja jadi MT alias Management Trainee di Bank Mandiri. ”Calon direktur bank deh!” ledek kakakku Adon via testimoni di FS dari Manado. Ia kini bekerja di BCA, juga berawal dari menjadi MT.

Dua bulan ternyata sudah terlalu lama buatku bekerja dikepung dinding beton dan melahap sarapan berupa angka serta tabel. Aku serta merta pindah kerja begitu lamaranku di KPG diterima: asisten editor. Meski nggak pernah bermimpi bekerja pada perusahaan penerbitan, aku cepat beradaptasi dan bisa enjoy. Buktinya, sampai sekarang betah bekerja.
Waktu Mamak ke Jakarta, tepat setelah setahun bekerja di KPG, ia bertanya terus soal detil pekerjaanku.

”Mriksa tulisan orang, Mak,” jawabku.

”Tulisannya aja? Ketemu orangnya juga nggak?” repetnya.

”Ya iyalah Mak. Malah sering buat diskusi. Ngobrolin tulisannya.”

”Kayak Omm Jani ya, yang kerja di Tempo? Sering pulang malam juga ya, nginep di kantor?” tanyanya menunjuk adik Mamak yang jadi korektor.

”Ikut jam kerja aja Mak tapi kerjaan bisa dibawa ke rumah. Di kasih laptop sama kantor tuh.”
”Lah kerja terus, kapan bisa ketemu temen kalo gitu,” kata Mamak sambil berlalu menuju teras.

Celetukan Mamak seperti melecutku untuk memberi kesempatan lebih bagi diriku sendiri hang-out bareng teman. Ketemuan di Facebook jelas nggak bisa menandingi temu darat di pasar becek sekalipun. Yup, aku harus keluar rumah. Mamak tahu persis si bungsu cantik ini cenderung jadi anak rumahan: betah di sarang, ogah terbang.

Kuberitahu Mamak sore itu juga, ”Minggu depan aku ada ketemuan di TIM, Mak. Bareng anak-anak UNS yang kerja di Jakarta.”

”Baguslah May,” katanya, ”Eh kapan tuh, masih minggu depan?”

”Hah, enakan waktu di Solo. Tinggal jalan dikit sudah ketemu teman. Atau balik saja ke Pelalawan saja kau, belok ke rumah tetangga sudah bisa nongkrong seharian he-he-he,” katanya meledek. ”Repot juga hidup di Jakarta!”

Aku tersenyum kecut sambil menggelanyut di bahunya.

”Siapa pacarmu May? Nggak punya juga ya,” tanya Mamak tiba-tiba setelah lama terdiam.

”Nggak punya Mak.”

”Adon cerita dikit-dikit soal kamu. Kalau orangnya baik, terima sajalah. Kalo belum pengen kau kenalkan sama Mamakmu sekarang, nggak apa-apa,” kata-kata Mamak seperti berondongan pelor. Dia sudah tahu rupanya!

* * * TbC, 2 b cntnd

Hari Pas Foto…

Bermula dari Sri Lestari 'menemukanku', yang kemudian mempertemukanku ke Winarto Widadi dan kemudian berlanjut hingga Indra Darmawan, Mangku, Muslikhin, Niluh Ratri Sonya, Ari Sukowati dan Hendardi serta Anita… yang kini menjadi sepasang suami istri. Kami saling menemukan dan bertemu di jejaring Facebook, yang bagi sebagian orang sudah menjadi teman sarapan atau ngopi karena kini telah jamak ber-FB untuk membuka pagi. Mereka teman SMA-ku dan kini usiaku sudah 32 tahun, fiuhh… 14 tahunan lewat dan tiba-tiba tubuhku melayang mengambang ke hari itu, hari pas foto!

Medio 1995, jelang siang sekitar pukul 10, di dekat ruang guru. Masing-masing murid kelas 3 SMAN 7 Jogja mendapat giliran dipotret pas foto untuk keperluan akhir tahun: tanda peserta ujian akhir, ijazah dan macem-macem. Kelas kami, satu-satunya kelas IPS, dulu disebut A3 (kayak kwarto aje, emangnya mau ngeprint ^_^) juga mendapat giliran. Semua berseragam rapi atau dirapi-rapikan karena nggak semua anak bisa bertampang rapi. Sebagian merasa rapi tapi tidak bagi kamera, nggak fotogenik lah. Atau, sumpah-sumpah sudah merasa rapi tapi mungkin bawaan lahir tetap saja semrawut. Untunglah kaca besar di pintu masuk sedikit membantu untuk mematut diri, cewek maupun cowok.

Sayang sekali, lagi-lagi, bagi yang berbakat berantakan, tetap perlu bantuan teman meski sekedar menarik kerah baju ke kanan kiri atau menyembunyikan ujung-ujung rambut ke belakang kuping. Maklum, standar kerapian sebuah pas foto, kala itu: kuping harus kelihatan kecuali bagi yang memakai jilbab seperti sang ketua kelas kami, Leila atau teman perempuan lainnya seperti Niluh.

Juga aku yang mengantri bareng Winarto, Indra, Davydir Harpar dan beberapa temen lainnya. Sambil celingukan menonton teman yang sedang dipotret, aku sibuk menarik-narik kerah dan lengan baju yang lusuh dan rambut yang agak panjang nan labil. Ogah lurus dan semrawut. Lupakan saja cermin kaca karena tidak banyak membantu. Satu-satunya harapan adalah sisir rambut yang biasanya terselip di belakang cermin yang entah berapa tahun dan berapa ratus orang yang memakainya tiap hari. Aku coba juga merapikan rambut dengan sisir jorok itu, sekali dua kali gagal akupun akhirnya pasrah: ujung-ujung rambut enggan bersembunyi sejenak ke belakang kuping, kerah baju kiri melengkung ke atas sedangkan yang kanan, syukurlah, tetap pada jalurnya. Yo wis lah, performanceku kayaknya dah maksimal dengan terpenuhinya target minimal: pokoknya daun telinga kelihatan!

Kulihat di daftar absensi kelas yang jadi acuan antrian pemotretan, giliranku bakal tiba setelah 2 anak lagi dipotret. Aku berdiri di depan pintu dengan sabar. Keasyikan ngobrol membuat tanganku bergerak reflek, menggaruk kepala. Ku tengok cermin, walah… beberapa helai rambut di ubun-ubun mencuat lagi dan yang di samping kiri kembali menutupi telinga. Ora po-po, nggak apa-apalah, aku berusaha ngademin perasaanku sendiri. Pokoknya iso melu ujian wae, asal boleh ikut ujian aja, soal diomelin bapak dan ibu guru tercintah yang memergoki rambut sedikit panjang, bisa dinego lah…

Ternyata tidak usah menunggu pak guru atau bu guru yang penasaran dan jengkel dengan rambutku, si Winarto malah duluan 'gatal'. Ia menarikku ke depan cermin, mengambil sisir seorang teman perempuan dan membasahi dengan sedikit air. "Liat aja ke cermin!" katanya sambil merapikan rambut belah pinggirku dengan menyisirnya dari kanan, bergerak pelan sambil mengangkat sedikit lalu ketika sisir hampir sampai ujung rambut, ia menarik sedikit lebih cepat ke arah belakang kuping dan menyembuyikannya. Belum sempat aku memperhatikan hasilnya, asisten fotografer memanggilku masuk ke studio dadakan itu.

Setelah dua kali lampu blits memijar, selesai sudah prosesi pemotretan. Kami masih harus menunggu seminggu untuk melihat hasil foto karena 7 hari kedepan kartu ujian baru akan dimulai. Selepas semingguan, kartu pun dibagikan. Bersama teman sekelas, akhirnya aku mendapat kartu itu. Sekelas lantas sibuk dengan kartu itu, bukan untuk mecocokkan nomer ujian atau nama yang tercantum, melainkan saling melihat foto masing-masing dan melongok milik kawan lainnya.

Aku yang duduk di belakang juga memerhatikan fotoku sendiri: rambut kelihatan tebal meski aslinya tipis. Liat aja foto di sebelah ini. Kalau bukan karena saking penasarannya Winarto pada kesemrawutan rambutku, so pasti rambutku bakal terlihat ngelipes bin buluk. Meski sekarang rambutku emang tipis, paling tidak aku pernah 'merasa' berambut lumayan tebal qe3.

Lebih dari itu, jika aku menengok foto-foto lamaku termasuk foto kartu ujian dan ijazah SMA, anganku beranjak pulang ke almamaterku di bilangan Mayjen Sutoyo itu. Setiap detil kenangan berkejapan seperti melihat slide sekumpulan foto. Bukan hanya seperti melintas di depan mataku tapi memintas di kelopak mataku, saking lekatnya. Upacara bendera, makan di kantin, pelajaran olahraga, senda gurau, dua kali usiran dari seorang guru Bahasa Indonesia yang sama ketika di kelas 1B dan 2A3…

Juga, lirikan diagonalku ke sudut kanan kelas ketika saat masih duduk di tahun pertama dan getar-getar aneh setiap adik kelas itu lewat di dekat ruang kelasku yang berjendela super lebar (untuk ukuran kelas sekolah pada umumnya). Slide berputar makin cepat memasuki ruang demi ruang sekolah: perpustakaan, laboratorium, mushola, taman, workshop otomotif, UKS, ruang BP dan Konseling, dan tentu saja bangsal (mungkin sekolah lain menyebutnya aula) serta ruangan tempat kami menunggu giliran untuk pas foto di penghujung masa kami menjadi siswa Wiyata Bakti Taruna, slogan SMA 7 kami.

Semua masih berkejapan sampai tersadar, betapa telah jauh kini jejaraknya, nyaris separuh umur. Ah, bukankah romantisme masa lalu memang memiliki energi untuk menarik kita pulang dan membawa kita kembali pada kekinian.* kalimalang, jakarta, 06 2009

Wednesday, April 29, 2009

Hai Bung, ini dah penghujung April...

Yess, dan aku dah luama ga posting. kemaren banyak ketemu orang n banyak kisah. atu-atu ye he-he-he. Semangat!

Monday, February 16, 2009

Horoskop FB hari ini

Fitur horoskop di FaceBook, buatku, selama ini ngaco. Yah, just hiburan aja. Nah horoskop hari Senin ini nggak kayak adat biasanya. Bilangnya gini nih:

Inung,
You have strongly romantic energies right now. If you are single, a friend may introduce you to someone, but they may just as easily suddenly confess a romantic interest in you themselves. There could be a profoundly healing and positive change in your love life.

*strongly romantic energies right now: Absolutely fact! setelah jalan2 di hari minggu ke satu titik di Ibukota dengan catatan di pedometernya menunjuk angka 10.317 langkah dan jarak 4,1mil/ sktar 7 km. qeqeqe

*they may just as easily suddenly confess a romantic interest in you themselves: yeah meski bukan 'mereka' (jamak) karena sebenarnya satu orang saja yang sebelumnya berteman sekarang malah ... jump to up level relationship :)

*There could be a profoundly healing and positive change in your love life: OMG! its next true thing. Healing? yeah setelah sekian peristiwa kemarin ituh. Dan, satu perubahan ini moga membawa sesuatu yg happening, yg today bgt.

Kata simbahku dulu, horoskop atau primbon atawa semacamnya boleh dibilang utak-atik gathuk, kebetulan aja pas. Selebihnya, jalani saja! ^-^

Met hari Senin, love this Monday...

Monday, February 9, 2009

Drive!

Soal ambisi, drive dalam hidup dan dalam bekerja kadang dan malah sering, aku se[erti kehabisan bensin.

Yeah I’m lack of it, konyol memang karena sering mengulur waktu memulai kerjaan, gamang mau mulai dari mana but ketika lantas aku mendobrak kegamanganku, toh semua baik-baik saja. Dead line terlewati dengan sukses, hasil evaluasi oke dan nggak jarang dapet compliment.

Dan tanpa aku sadari, ketika sedang kerja aku begitu menikmatinya dan lupa blass dengan keraguanku sendiri sebelumnya. Tanpa suplemen, tanpa minuman eletrolit kerasa banget kalo semangat mengalir deras dari ujung rambut, sel-sel otak seperti teraliri listrik tegangan rendah, semriwing, mengembangkan senyum di bibir, meronakan wajah memupus pucat, menggerakkan jemari di keyboard dan kemudian kata demi kata, analisis demi analisis menari dari data dan transkrip interview sebelumnya.

Sayang, ketika kau memulai menulis artikel atau edisi yang baru lagi aku kembali mulai dari level terendah: minim mood dan negatif thinking, ragu gape nggak dapet hasil baik. Macem-macemlah dan nggak pengen berpanjang-panjang soal ini karena perasaan negatif lebih kerasa sebagai candu, bikin males bangun pagi, enggan memulai langkah kaki pertama dan membekukan otak serta mematikan rasa.

Kata kuncinya emang satu, ambisi! Yup, ini emang pemasok semangat nomer satu, ngalahin kecap nomer satu manapun dan bikin yang nggak enak-enak menyingkir karena penetrasi rasa optimis. Hmm, aku mencium kesegaran sekarang. Selain karena kini hujan deras yang kata BMG bakal seharian dan merata di penjuru Jakarta, juga lebih karena I have drive dan nggak sekedar tahu soal ambisi secara kognitif. Detik ini juga, ngerasain banget secara afeksi dan bertekad mengisi jadi hari-hariku.

Jadi inget kata-kata penuh semangat dari anak-anak Gaul: tetap semangat mas, apapun yang terjadi dan dimanapun kita berada! Plus, inget betul sama sobatku, NC Kartiman, yang mampu bangkit karena punya determinasi liat ketika satu fase hidupnya menggelinding deras terbentur tebing. Oya, masih terngiang jelas, seorang Nino berujar pendek: “Ayolah, kita semua bisa lebih baik!” Ya dia hanya berujar lima kata itu dan aku tahu banget konteksnya. Drive!*

Wednesday, February 4, 2009

Obrolan Ranjang

Setelah mematikan lampu kamar Omi, anak kami yang sulung, istriku masuk kamar dan beberes berkas-berkas yang bakal dibawanya ke rumah sakit besok. Seperti biasa, dia cuek aja mondar-mandir menghalangi pandanganku ke arah tv kamar.

Jangan sekali-kali memasang tampang sebal atau mengeluh ‘eh-eh’ sambil memiring-miringkan badan ketika dia melintas di depan layar kaca 21 inchi itu. Gondok juga sih apalagi kalau pas ada kemelut di depan gawang Chelsea atau atau dialog kunci di saluran HBO.

Nggak usah mengeluh pun kalau ia menangkap lirikan mataku ke arahnya, hmm sudah pasti ia akan cemberut. Baginya memasang tv di kamar adalah ide terburuk di rumah kami. “Berisik!” katanya waktu menolak usulku meski aslinya dia gampang tertidur dan tahan dengan macem-macem gangguan suara.

Alasan sebenarnya, “Bikin nggak asik ngobrol,” cetusnya mengingatkanku kesukaan dia mengobrol berdua malam-malam tentang apa saja. Kadang setelah bangun tidurpun di Sabtu pagi usai subuh pun kami mengobrol. Lain ceritanya kalau Minggu, aku malah baru membangunkannya setelah aku bersiap mengantar anak-anak ke kolam renang Gelanggang Remaja Bulungan, pagi-pagi.

Kelar menutup restleting tas kerja, ia berbaring di sebelahku. Matanya berkedip-kedip ke arah TV, bigmatch Chelsea versus Liverpool. Daripada tayangan film dan dokumenter, ia lebih kompromi jika aku memilih channel olahraga. Katanya sih karna bisa di-mute dan ia juga bisa ehmm tubuh atletis berbalur keringat, salah satu alasannya menerima rayuan gombal jadi pacarku, duluuu. “Wii, seksi,” celetuknya lirih suatu ketika aku selesai joging di Senayan, sambil memperhatikan leleran keringat di leher dan kaos basahku. Sejak saat itu aku hapal ‘kode etik’: tidak melap keringat kalau ia menemaniku olahraga atau ketika ehm, bercinta.

“Mas,” katanya sambil menendang-nendang selimut dari dalam mencari posisi yang pas buat kakinya.
“Yap,” sahutku sambil mengangkat selimut buat memudahkannya mendapatkan posisi wuenak. Oya, serta merta juga aku tidak memperhatikan tv sejenak dan mengalihkan perhatian padanya.

“Kapan itu, aku ngobrol sama mbak Tanti, ibunya Maya temennya TK Omi.”
“Ohh, trus?” mataku melirik tv sekilas, masih 0-0.
“Dia crita, bukannya ngadu lho, kalau Maya sama Putri lagi berantem gara-gara anakmu tuh.”
“We-e-e-e, koq bisa?” perhatiannku sekarang 100% buatnya.

“Juga gara-gara Mas juga. Tahu kan, Omi udah bisa origami dari buku yang Mas belikan bulan kemarin. Inget to? Lha ya itu, waktu pelajaran bebas di kelasnya, Omi bikin origami burung, ayam, naga, kucing, macem-macem lah…”
“Yee, cerita berantemnya dimana?” tanyaku tidak sabar. Menyela ceritanya sebenarnya sebuah pantangan, untungnya ia hanya memonyongkan bibirnya dan menahan gerutu.

“Temen-temennya yang lihat langsung merubungnya. Putri yang liat pertama kali tapi Maya duluan yang minta diajarin. Ya gitu deh, rebutan.”
“Ooo, namanya anak kecil ngeliat lipatan-lipatan kertas ya pasti pengen,” komentarku sambil kembali memperhatikan tv. Drogba bikin gol, 1-0 buat klub London itu.

“Heeh, dengerin dulu ah!” suaranya ketus pertanda cemburu pada tv.
“Berantemnya sih biasa yang bikin geleng-geleng gurunya dan mbak Tanti yang nungguin tuh waktu Putri ngomel dan bilang kalo dia lebih berhak diajarin Omi karna sebelumnya Putri lebih dulu naksir ketimbang Maya dan temen-temen yang lain!”

Aku ketawa tertahan sambil memutar badanku menghadap ke istriku, menepuk-nepuk pinggangnya. Kata ibunya Omi ini lagi, sekarang dua bocah yang rumahnya berseberangan itu lagi diem-dieman dan ogah berjalan beriringan sepulang dari TK, salah satu dari mereka akan menunggu ‘rivalnya’ berjalan duluan dan sekarang keduanya malas bermain di halaman rumah masing-masing. “Jijay kalo liat Maya!” istriku mengutip mbak Tanti yang menirukan kejengkelan Putri.

“Tapi kan ada bagusnya, Omi yang dulu kayaknya pemalu sekarang malah gampang akrab sama temen-temen sebayanya. Direbutin lagi,” ujarku menarik premis.
“Anakmu tuh!” sahut istriku yang jemarinya memainkan kancing piyamaku. Bibirnya dimonyongkan sedikit.

“He-he-he, sama gantengnya to?!”
“Itu mah lebay. Tapi soal Omi dikerubutin cewek itu kan turunan dari kamu! Ya khan?” sekarang jarinya menarik piyamaku yang kancing sudah terbuka satu. Kalau sudah begini, biasanya aku cuma mengejapkan mataku ke langit-langit kamar yang berpendar oleh monitor tv sambil mesam-mesem menunggu terlepasnya semua kancing.

***

Dulu, masalah begini pernah bikin istriku meradang. Aku menikahinya setelah mengenalnya tidak lebih dari setahun di Jakarta dan dia juga bukan dari lingkaran pergaulan teman-teman Jogja yang bekerja di ibu kota. Benar-benar kenalan baru, ia mengenalku sebagai lelaki 31 tahun, asal Jogja, dan awalnya ia mengira aku pendiam. “Tampang nipuuu, cuma butuh 10 hari buat keluar aslinya. Bahaya deh!” tulisnya di wall FaceBook-ku suatu waktu setelah ikrar pacaran.

Aku mengenalnya juga baru setelah pindah ke sini, seorang perempuan dokter gigi yang kalau lagi serius lupa tersenyum, berwajah bulat dan malas berolahraga. Hal yang sama lainnya adalah kami buta tentang masa lalu masing-masing terutama siapa pacar-pacar sebelumnya dan lingkungan pergaulan kami. Tidak ada temanku yang jadi temannya dan begitu pula sebaliknya.

Berbeda sekali dengan cewk-cewekku sebelumnya di Jogja yang lingkaran sosialnya erat. Meski awalnya tidak kenal tapi ternyata, misalnya, dia adalah temannya kawan pacar sobatku. Atau, satu kos dengan kakak angkatan. Bisa dibilang tidak ada yang bisa berserita tentang aku padanya, ya semata-mata karena tidak teman lamaku yang menjadi kawannya.

Sebulan setelah menikah, dia meradang karena celetukan Akbar temen sekampusku waktu berkunjung bareng istrinya, Sinta yang juga teman se-organisasi pers kampusku. Dua orang suami-istri ini memang jodoh terutama soal kontrol mulut keduanya yang bisa membuka ‘aib’ orang semudah membuka kran air dan airnya pun menyembur merembes kemana-mana.

Sebagai pengantin baru, istriku digodain udah ngapain aja selama pacaran denganku. Sinta menimpali sok akademis, “Kamu tuh sebagai individu tunggal, pasti lurus-lurus aja. Tapi kalau ngeliat tampang mesum pangeranmu ini… hmm pasti deh- paaasti’ deh!”

Aku sendiri sih cengengesan dari dalam rumah usai sholat Ashar. Giliran Akbar bikin panas kuping, “Eh kamu dulu terkesima ya waktu Itong keliatannya doyan sholat? Dia tuh pake peci komplit baju koko pun tetep aja kayak siapa tuh… bintang film Mandarin yang selalu kebagian peran kriminal-cabul-pemerkosa. Jamannya film-film The Girl from Kanton atau Peng Tan, he-he-he.”

Biasanya kalau teman-temanku mengerjaiku, aku dan istriku cuma senyum-senyum tapi di sela-sela percakapan hangat kami berempat hari Minggu itu sinar mata istriku sekilas seperti memvisualisasikan omongan dua provokator itu. Bergantian Akbar dan Sinta menirukan gaya najis bapaknya Omi ini kalau lagi gombal dengan cewek:

“Met pagi Bela!”
“Eh mas, pagi juga”
“Udah denger kabar pagi ini?”
“Haa, kabar apa emang mas?” (Akbar bilang, kalau sudah begini biasanya si cewek merhatitin omongan dan penasaran)
“Pagi ini… kamu muanis bangetttthhhh!”
“Halaah! #%$^&(*@!”

Atau, Sinta mengutip curhatan temen ceweknya yang siang sebelumnya merasa kelepek-kelepek:

“Dulu itu kita kenalannya disini atau di fakultas sih?”
“Wah dah lupa Mas, kayaknya disini deh kan kita lain fakultas.” (Kami tergelak merujuk rayuanku yang sama sekali jayus, lha wong nggak sefakultas kok bisa berasumsi kenalan di fakultas)
“Oh iya ya, waktu kenal pertama dulu kan kayaknya kamu sebel banget sama aku karena ngira aku merebut pesanan mie ayammu yang ternyata hanya tersisa satu mangkok terakhir. Aku was-was banget lho liat tampang cemberutmu hi-hi-hi.”
“Hiks-hiks-hiks, kok kamu masih inget to mas, jadi malu!”
“Aku sih nggak nginget-inget tapi emang dasar nggak bisa ngelupain!”
“Arggghhhhh… ! %$&*9()@#!$”

Sampai tamu istimewa kami itu pamit pulang sepertinya istriku biasa saja, terbahak ketika waktunya ngakak, tersenyum nyengir saat merasa malu-malu kering. Pindah ke dapur untuk mencuci gelas dan piring kotor bareng di dapur pun, ia hanya diam. Radangannya baru keluar setelah ia mematikan lampu kamar, menyalakan lampu kecil, menarik selimut dan berbaring miring menatapku lekat-lekat.

”Jangan tidur!” ketusnya mulai bermetamorfosis jadi super galak. “Ayo! Ceritain yang belum dibilang sama mereka tadi soal kamu dulu… bla-bla-bla!!!”

Nah, gini deh kalau istriku sudah memanggilku dengan ‘kamu’ dan bukannya ‘mas’ atau ‘ayah’, tidak ada pilihan lain selain menuruti kemauannya itupun tidak semua bisa aku ingat karena sudah bertahun-tahun lalu. Tidak terhitung tarikan nafasnya yang kemudian berhembus di mukaku, tatapan matanya lekat-lekat menerka-nerka seberapa jujurku padanya. Hembusan panjang nafasnya yang terakhir berujung dengan memutar badan tidur memunggungiku dan menepis tanganku yang biasanya memeluk pinggang rampingnya.*

Thursday, January 29, 2009

Panas Bumi: Solusi Saling Silang

Sempat tarik ulur harga jual yang tak berujung kata sepakat, pemerintah akhirnya mematok harga tertinggi 9,7 sen dolar AS. Pengembang sedikit lega meski lebih rendah dibanding negara tetangga.

Patokan harga yang diteken pemerintah lewat Permen no 32 tahun 2009 jelang pergantian tahun, membuat pengembang pembangkit listrik panas bumi kembali bergairah. Sebelumnya, negosiasi harga dengan PT PLN sebagai pembeli berjalan sangat lambat.

Pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Panasbumi Indonesia pernah menghitung harga keekonomian geothermal sebesar 8-9 sen dolar AS per kwh. API menghitung angka ideal itu berdasar capital dan operating cost serta mempertimbangkan risiko yang tinggi. Sementara itu, return-nya minimun 16 persen.

Di sisi pembeli, PLN sempat menawar harga listrik dari pembangkit panas bumi berkisar 7-8 sen per dolar AS per kWh. BUMN setrum itu memiliki perbandingan harga listrik dari pembangkit batubara antara 5,8-7 sen sen per dolar AS, sedangkan untuk pembangkit bertenaga air tanpa bendungan antara 5-6 sen dolar AS per kWh.

PLN juga mengakui, akselerasi pengembangan listrik panas bumi tidak seperti yang diharapkan. Penyebabnya, risiko investasi yang tinggi dan harga jual listriknya tidak memberikan daya tarik bagi investor terutama investor baru.

Setiap pengeboran ada peluang terjadinya kegagalan sebesar 50 persen bahkan tidak ada sama sekali. Padahal investasi yang dibutuhkan dalam satu sumur bisa mencapai US$ 5 juta atau dari sisi investasinya. Dengan begitu setidaknya membutuhkan US$ 2 juta per MW sedangkan harga jualnya hanya 4 sampai 5 sen dollar per kwh. Tambah lagi, setiap lapangan memiliki karakteristik masing-masing sehingga nilai keekonomiannya berbeda.

Untunglah, silang pendapat harga jual itu berujung kepastian. Pada 4 Desember 2009 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh mengeluarkan Peraturan Menteri tentang Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP).

Harga patokan ditetapkan maksimal senilai 9,7 sen dollar AS (sekitar Rp 900) per kwh. Harga ini terbilang menarik dibanding harga tawaran PLN sebelumnya bahkan tidak mendekati harga 9 sen dolar AS. Harga ini menjadi harga dasar dalam lelang wilayah kerja pertambangan (WKP) panasbumi. Permen ini juga sekaligus menegaskan kewajiban PLN membeli listrik dari pembangkit listrik panas bumi.

Harga riil sesuai lelang
Sesuai beleid ini yang menetapkan harga untuk pelelangan maka kesepakatan akhir tergantung hasil lelang atau negosiasi antara produsen panas bumi dengan pembeli yaitu PLN. “Yang berani menawar lebih rendah, dia yang akan menang” ujar Dirjen Listrik dan Pengembangan Energi Departemen ESDM J Purwono. Bagi negara, lanjutnya, harga tersebut menguntungkan karena baru berlaku saat pembangkit listrik panas bumi beroperasi dalam 4-5 tahun mendatang.

Untuk pembangkit geothermal yang sudah beroperasi, harga patokan tersebut tidak berlaku. Ini mengacu pada pasal 3 Permen tersebut. “Harga pembangkit panas bumi yang sudah beroperasi sesuai kontrak yang sudah ditandatangani,” ujarnya. Patokan itu, menurutnya, merupakan usulan Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) yang berpengalaman di bidang hulu energi terbarukan tersebut.

Purwono berharap kepastian harga bakal mendorong bisnis panas bumi lebih berkembang. Apalagi Purwono memastikan PLN sebagai pembeli listrik panas bumi tidak mempermasalahkan berapapun tarif listrik panas bumi yang ditetapkan. Pemerintah akan menutup selisih pendapatan PLN dari pembayaran listrik masyarakat dibandingkan biaya beli listrik panas bumi dengan subsidi. "Jadi tidak ada masalah, berapapun harga jualnya, PLN akan beli," tegas Purwono.

Batas bawah
Hanya saja, permen ini hanya mengatur harga jual tertinggi alias ceiling price sedangkan batas bawah atau floor price tidak ditegaskan. Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy Abadi Poernomo menilai, pemerintah perlu mengatur keduanya karena mempermudah proses negosiasi antara pengembang, termasuk Pertamina GE dengan PLN.

Abadi berharap, harga jual listrik panas bumi tidak di bawah US$ 8,7 sen per kwh, karena setiap lapangan memiliki tingkat risiko dan investasi yang mempengaruhi keekonomian pengembangan panas bumi di proyek itu.

Di sisi lain, Ketua Umum API Suryadharma optimis beleid ini mendongkrak semangat pengembang. Apalagi, harga tersebut sudah mempertimbangkan risiko investasi yang besar dalam pengeboran sumur panas bumi. “Kebutuhan dana untuk menghasilkan satu MW dari panas bumi bisa lebih dari tiga juta dolar AS,” katanya.

Hitungan Suryadharma, harga sebesar itu membuka peluang bagi pemerintah untuk menghemat subsidi kalau dibandingkan memakai BBM yang mahal dan harganya tidak stabil. Karena, katanya, karakter harga listrik panas bumi relatif konstan dalam 30 tahun.

Meski berharap positif, Surya mengakui harga 9,7 sen per kWh cukup rendah dibandingkan Philipina yang mencapai 11 sen dolar AS, El Salvador 15 sen dan Jerman yang mencapai 30 sen dolar per kWh.
Paling tidak, kebijakan patokan harga batas atas ini bakal mempercepat tambahan produksi listrik 10.000 MW jilid dua. Dari total kapasitas itu, ditargetkan 4.733 MW akan menggunakan geotermal dan diharapkan tuntas pada 2014 nanti. Meski potensi panasbumi di Tanah Air diklaim terbesar di dunia, mencapai 27.000 MW, namun realisasinya baru 4 persen atau 1.196 MW. * Nur Iman Gunarba

Blank