Jujur, pertama sih pengen ngasih judul ‘hero’. Sepertinya lebih mantaf, pelafalan gampang, singkat dan jelas-jelas bahasanya mas Beckham. Setelah miringin kepala ke kanan kiri, ‘pahlawan’ juga tetap bahkan lebih kuat, segar dan membumi.
Selebihnya, cuma persoalan kebiasaan. Juga, terus terang sambil malu-malu, sebagian isi hati ini, koq berasa bangga bisa ngingris-inggris. Latah nih! Paling jauh sebenarnya perasaan bangga juga cuma sugesti.
Ah, ngomongin soal pahlawan juga karena sisi nasionalisku baru saja tersentil. Atau malah tepatnya tersentak (lagi). Jumat malam kemarin, barusan nonton King bareng hanih. Ini film terbaru rilisan Alenia Production. Film bagus yang bertutur tentang keteguhan hati atlit cilik badminton. Perjuangan meraih cita-cita sealigus obsesi seorang orang tua tunggal menjadikan anak semata wayangnya jadi bintang olahraga populer itu.
Tejo, sang ayah (Mamiek Prakoso) pun menamai anaknya sama dengan nama lokal sang legenda Lim Swie King, yaitu Guntur (Rangga Raditya). Belia, masih anak SD. Ia anak desa pelosok di kaki kawah Wijen. Malah, saking pelosoknya hanya mobil Mitsubishi L300 dan Land Rover double cabin yang mampu menapaki jalan berbatu dan merayapi tanjakan menuju desa itu.
Bagi sebuah desa yang senantiasa berselimut kabut, badminton menjadi satu-satunya hiburan. Selain buat tontonan juga untuk salah cara efektif menghangatkan badan. Tak pelak, selain tayangan tv, pertandingan antar warga jadi tontonan mengasyikan. Nama-nama yang malang melintang di arena badminton akrab mereka dengar dan perbincangkan sebagai idola, panutan dan hero eh pahlawan.
Ayah Guntur juga memiliki pahlawan di hatinya. Ia berhak memilih King sebagai panutan dan idola, bukannya memilih seorang Soeharto atau Soedirman. Malah, Tejo pun memimpikan prestasi Lim Swie King menitis pada Guntur. Pun orang lain, berhak juga menggadang-gadang seseorang sebagai yang dipuja dan diharap-harap prestasinya.
Raden (Lucky Marten), sobat kental Guntur, juga memiliki pahlawannya sendiri. Nggak lain ya Guntur itu. Teriakan Raden paling melengking setiap Guntur bertanding di lapangan desa, melawan Ranio seorang staf kelurahan yang jauh lebih dewasa ataupun teman sebaya Guntur pada pertandingan antar sekolah. Sosok Raden tak berjarak dengan para tifosi Liga Italia atau hooligan Liga Inggris dan Belanda. Ia bolelah dibilang sefanatik bebotoh Persib atau semilitan Jak Mania. Semua untuk Guntur, berkali-kali perbuatan dosa pun ia jalani demi raket untuk pahlawannya. Toh kalau ketahuan, Guntur lah yang jadi pesakitan: squat jump 100 kali dan lari 50 putaran.
Menyimak bahasa visual dan dialog King, plus soundtrack menghentak dari Ipang soal perjuangan dan nasionalisme membela harga diri bangsa, aku sempat terpaku. Seperti waktu nonton Laskar Pelangi. Terpapar jelas langkah-langkah anak bangsa bahu membahu menyokong sehabatnya. Dengan caranya sendiri dan bahasanya sendiri yang kadang atau sering ditangkap lain oleh karibnya sendiri.
Guntur sah-sah saja bilang kalau Raden hanya berteori selama ia mendampingi Guntur berlatih atau terlalu banyak berharap ia begitu tangguh. Guntur juga bisa merasa terbebani oleh obsesi bapaknya agar anaknya selalu menang dan menang. Nah kalau dilihat dari sisi Raden dan bapaknya, juga orang-orang sedesa, justru mereka menitipkan mimpi setinggi langit atau paling nggak setinggi lompatan smash karena Guntur satu-satunya pahlawan desa pelosok itu.*
No comments:
Post a Comment