Wednesday, July 30, 2008

PIK, Oase Belanja Ibukota


















Minggu, 2
7 Juli 2008 kemarin, saya bersama tiga karib berbelanja ke PIK-Perkampungan Industri Kecil Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur. Sebenarnya kami berencana jalan-jalan kesana hari Sabtu tapi karena kesibukan masing-masing maka lawatan kami mundur sehari. Wanto, salah satu teman, yang mengusulkan untuk berbelanja ke PIK ini. Kami mengiyakan apalagi setelah Wanto meyakinkan bahwa harga disana miring daripada di mall bahkan kaki lima Jatinegara sekalipun. Saya yang telah mendengar tentang keberadaan PIK sebelumnya, juga penasaran.

Terletak di kelurahan Penggilingan, kawasan ini dapat kita tempuh dengan mudah karena berada di pinggir jalan Penggilingan-Cakung. Kebetulan kami bermotor berangkat dari rumah kos di kawasan Pasar Ciplak, tak jauh dari jalan Inspeksi Kali Malang-Halim. Setelah melalui simpang tiga Kodim-Jatinegara, kami belok kanan menyusuri Jalan Bekasi Timur Raya-melewati Penjara Cipinang- lurus memasuki Jalan I Gusti Ngurah Rai. Melintasi flyover Klender, Mall Klender (Ramayana), simpang empat Buaran, Rumah Susun Klender, maka kami segera belok kiri melalui flyover Penggilingan. Bisa juga kami melewati bawah flyover namun jalanan agak menyempit karena Metromini 42 dan bajaj ngetem di kelokan itu dan juga mesti melewati lintasan rel.

Satu setengah kilometer dari flyover Penggilingan sampailah di jalan masuk PIK di sebelah kiri jalan. Di kanan-kiri jalan masuk, jajaran toko menggelar beragam produksi PIK. Seratusan meter dari mulut jalan, berdiri bangunan bergaya mall. Papan namanya menyebut PGP: Pusat Grosir Penggilingan. Mungkin akan menjadi mallnya PIK. Belum beroperasi namun sepertinya tak lama lagi akan makin meramaikan kawasan ini dan menaikkan image atawa gengsi PIK.

Jika membawa kendaraan, Anda bisa parkir di salah satu halaman toko lalu berjalan kaki dari satu toko ke toko yang lain, outlet satu ke outlet selanjutnya. Di bagian depan kawasan ini, pajangan sepatu mendominasi toko-toko. Sepertinya memang telah ditata. Luas toko dan outletnya pun terhitung lega. Makin ke dalam, cenderung mengecil. Harga sewanya mungkin lebih mahal dari pada bagian dalam, maklum lebih strategis. Dalam harga, jangan khawatir. Harga toko bagian depan dan dalam tetap bersaing dan masih bisa ditawar. Di Mall Ambasador sepertinya sulit menemukan barang yang bisa ditawar karena telah dibanderol dengan harga pas.

Kami berjalan kaki ke pertokoan bagian dalam untuk mencari jaket, celana dan kaos. Di bagian dalam, suasana perkampungan lebih terasa. Selain memang luas, tersedia pula ruang terbuka seperti lapangan badminton dan taman. Pepohonan perindang pun berjajar di sepanjang jalan yang menembus hingga sudut-sudut PIK. Jalan lingkungan lurus-lurus membentuk kompleks ini berbentuk kotak-kotak layaknya perumahan. Ruas jalan relatif lebar sekitar 4 hingga 6 meter. Kantor polisi juga ada disana, menjamin keamanan terjaga dan terkendali. Meskipun demikian, kita lebih baik tetap waspada dengan kendaraan dan barang bawaan.

Setelah memilih-milih di dua toko sebelumnya, Wanto akhirnya membeli jaket dan celana outdoor. Masing-masing berharga Rp 85 ribu dan Rp 25ribu, terhitung miring dari pada jika kita belanja di luar PIK. Setahu saya jaket oudoor seperti itu dibanderol seratusan ribu keatas. Sedangkan harga celananya saya taksir Rp 50 ribu. Saya sempat melihat celana gunung selutut berlabel Rp 15 ribu. Bentuk dan bahannya persis dengan celana yang saya beli di toko outdoor di Jogja seharga Rp 35ribu.

Soal merk, beberapa merk merupakan ‘tembakan’. Ini untuk menghaluskan istilah pembajakan. Antara lain, The North Face dan Mountain Hard Wear. Sebagian lagi merk milik para pengusaha sendiri. Perihal kualitas, menurut pedagang, bisa diandalkan lah. Bahan jaket terbilang halus dan dari beragam jenis. Parasit di bagian luar untuk menahan guyuran/percikan air hujan dan bahan katun tebal di bagian dalam untuk memberikan rasa hangat melawan tusukan hawa dingin di malam hari dan di ketinggian gunung. Jaket motor yang sedang trend sekarang terpajang di tiap toko yang menjual pakaian. Harganya juga labih murah daripada di pusat perbelanjaan lainnya, antara Rp 80ribu hingga 130ribu. Menurut pedagang, jaket-jaket di kakilima hingga supermarket kelas menengah pun berasal dari PIK ini. Pendek kata, harga lebih murah dan kualitas telah teruji standar supermarket.

Karib saya, Eko, mempunyai agenda membeli sepatu. Ia sebenarnya yang paling serius berbelanja. Dua teman saya lainnya, Wanto dan Alis tidak terlalu berencana belanja. Sebelum berangkat, mereka hanya berancang-ancang: jika ada barang bagus dan terhitung murah mungkin akan membelinya. Dibanding Eko, Wanto dan Alis malah terlebih dulu memenuhi tangannya dengan tas belanjaan. Mungkin karena sejak dari rumah Eko telah berencana membeli sepatu dan membayangkan desainnya sehingga Eko terlihat lebih memilih-milih.


Di sebuah toko sepatu, Eko tertarik dengan sepasang sepatu warna beige yang trendi. Memang bukan sepatu kantor/formal seperti yang ia rencanakan sebelumnya. Desain sepatu tersebut rupanya mampu merubah rencana sistematis nan logis: sepatu formal untuk ngantor. Sayang harganya pun sesuai dengan desainnya, Rp 225ribu. Relatif mahal di kantong Eko yang seorang CPNS golongan 3B di Medan Merdeka Barat.

Setelah sempat melihat-lihat sepatu di toko yang lain, Eko berkata bahwa ia telah jatuh cinta pada sepatu beige tadi dan akan membelinya jika bisa ditawar maksimal Rp 150ribu. “Bujet sepatu yang aku ancang memang segitu,” katanya dan lantas minta ditawarkan. Kami pun balik ke toko tadi. Kebetulan si pemilik toko sedang beberes di dekat rak sepatu tadi. Wah bisa langsung menawar ke decision makernya nih, pikir saya.

Si Bapak pemilik toko berambut putih rapi, sekitar 60an. Saya menyapa si Bapak, komplit dengan senyuman. Eko berdiri di belakang saya dengan mimik kasmaran. Kami coba menawar dengan harga Rp 125ribu (tak lupa tersenyum hehehe). Si Bapak mendongak dan menghentikan beberes. Waduh jangan-jangan jadi galak nih mendengar tawaran segitu,’ pikir saya. Ternyata, Si Bapak berkata, “Sama-sama enak saja, kan nawarnya sudah segitu, saya kasih Rp 150ribu.” Saya lega karena sesuai dengan bujet Eko. Saya masih coba menawar lagi Rp 140ribu. Terus terang saya tidak terlalu berharap Si Bapak akan melepas sepatu pada harga sekian namun tetap saya tawar agar lebih yakin saja bahwa Rp 150ribu memang harga final.

Eko yang sedari tadi telah memegang sepatu beige itu dan langsung mencobanya. Ukurannya ternyata terlalu besar untuk kaki Eko yang mungil. Dia minta ukuran 38 namun stoknya tidak ada. Si Bapak menyodorkan sepatu coklat tua yang karakter desainnya mirip dengan si beige. Merknya pun sama, Amro. Eko langsung oke-oke saja karena sama-sama trendi meski bukan pilihan pertama.


Setelah sepatu dan uang berpindah tangan, saya sempat bertanya tentang alamat toko yang tertera di tas kresek tempat kotak sepatu Eko. Tertulis alamatnya di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Saya mengira kalau Si Bapak mempunyai cabang di Pasar Senen atau semacam outlet kedua di sana. Si Bapak lalu bertutur bahwa tas kresek ini adalah sisa stok tokonya terdahulu di Pasar Senen yang turut terbakar habis. Tahun `1996, tuturnya, lantai dasar hingga lantai 5 Pasar Senen dilalap si jago merah, habis sudah barang dagangan namun tidak begitu dengan asanya. Sejak itu, ia pindah di PIK sebagai peruntungan berikutnya.

Sebelum kami pamit, usai sepenggal kisah tadi, Si Bapak mengulurkan tangannya dan mengucapkan sesuatu yang tidak begitu di jelas bagi telinga saya. Saya bengong sedangkan Eko masih sibuk dengan sepatu barunya yang langsung ia pakai. Si Bapak mengulangi lagi dan menggoyangkan tangannya pertanda mengajak jabat tangan. “Berkah. Semoga menjadi berkah ya Dik,” katanya lirih. Oh, berkah rupanya yang tadi diucapkannya, kami pun berdua menyalami Si Bapak komplit pula dengan senyum tersungging. Alhamdulillah dan semoga berkah bagi Si Bapak dan Eko.*

Sumber Peta: Peta Digital Jakarta Jabotabek ver. 2.0, Gunther W. Holtorf, 2005

Rumus Layanan Birokrasi

Kata teman saya, layanan birokrasi di Indonesia tergantung dua ‘pa atau dalam bahasa Jawa, ‘ten. Yaitu, tergantung Siapa dan Berapa alias Sinten dan Pinten.

Ingin urusan cepat selesai dan lancar serta tak ada berkas-berkas tercecer, ya tergantung sampeyan ngasih berapa. Kalau sampeyan termasuk sosok terpandang, tidak usah pakai Berapa maka urusan pun lancar. Cuman, bahasa Berapa lebih gampang dipahami daripada Siapa. Karena misalnya, tidak semua birokrat kecamatan mengenal sampeyan yang ternyata dekan PTN nomor wahid di Indonesia.

Kalau sampeyan kebetulan PNS, silakan tersinggung lho. Maki-maki saya juga nggak pa-pa. Memang, tersenyum kecut merupakan hal minimal yang saya harapkan. Tapi kalau dah terburu jengkel karena saya dinilai menyinggung integritas korps, ya ndak papa. Malah makin membuktikan kalau birokrasi memang dependen dengan dua ‘pa tersebut. Koq bisa?

Suatu malam, teman saya ngobrol via handphone dengan pacarnya (perempuan). Sang pacar seorang PNS sebuah departemen dan ditempatkan di satu kabupaten di Jawa. Setelah haha hihi, teman saya mengenalkan saya dengan pacarnya tersebut. Setelah ngobrol sebentar, saya bercanda bahwa layanan birokrasi di Indonesia tergantung dua ‘pa. Sang pacar penasaran dan bertanya, apaan tuh dua ‘pa. Saya jawab sambil terkekeh: Siapa dan Berapa. Di ujung sana hanya keluar suara, ‘O gitu ya.’ Sepertinya dia tersenyum dan tiada masalah, handphone kembali berpindah tangan.

Saya salah kira rupanya.

Dua malam berikutnya, saya mendengar kabar dari kawan yang lain. Sang pacar ternyata tersinggung berat dengan omongan saya kemarin silam dan ngomel-omel ke pacarnya. Salah satu omelan adalah menanyakan siapa dan apa pekerjaan saya. Mendengar kabar itu saya hanya tersenyum kecut.

Saya membayangkan jika sang pacar itu tahu bahwa sebenarnya guyonan tersebut saya dapatkan dari seorang karib yang mengajar di lembaga pendidikan lingkup Depdagri Pusat dan siswa-siswanya adalah para birokrat semacam lurah, camat, sekda dan bupati/walikota. Karib saya kulakan guyonan itu juga dari atasannya di Depdagri. Sekali lagi, jika sang pacar tahu bahwa guyonan itu berasal dari lingkungan birokrasi pusat: apakah ia akan tetap tersinggung dan ngomel-omel. Sebaliknya saya malah membayangkan, sang pacar tertawa terbahak-bahak ketika, misalnya mengikuti workshop dan si pemateri menggulirkan candaan seperti itu. Dalam humor pun, ternyata birokrasi tergantung pada ‘Siapa’ yang melawak: orang Kita atau bukan. *

Sepenggal Portofolio di Kotabaru

Si Oom kemarin punya cerita. Ia telah bekerja sejak setahun sebelum kuliahnya kelar. Mulanya, di sebuah radio pemerintah di kota gudeg, Yogyakarta, selepas Soeharto lengser keprabon. Ia menjadi penulis naskah sebuah acara radio. Format acaranya seputar aktivitas perguruan tinggi, lha wong namanya Universitaria. Di sini pengampu acara boleh mengisinya dengan drama radio, narasi liputan atau suatu permasalahan yang dikupas mendalam alias depthnews atau wawancara dengan satu dua narasumber. Ini cerita tentang awal dan akhir, tentang bagaimana Si Oom menapaki jalan sebagai orang radio dan meninggalkannya dan perihal si Oom dan kawan-kawan melewati periode bekerja di radio milik pemerintah yang meniup lillin setiap 11 September itu.

Si Oom berduabelas orang dalam tim Universitaria. Mereka 100% mahasiswa dari beragam perguruan tinggi di Jogja dan merupakan hasil kerja keras ibu-ibu dan bapak-bapak radio tersebut meyelenggarakan rekruitmen. Berawal dari pengumuman via harian lokal ternama, Kedaulatan Rakyat, maka 400an anak-anak muda mendaftar langsung di studio radio di bilangan Kotabaru, sebuah kawasan perumahan downtown klasik sekaligus elit. Kalau di Jakarta, Menteng. Seminggu kemudian, di tengah kesejukan Jogja, ke-400an anak muda itu memenuhi 2 ruang auditorium radio itu: tes tertulis. Belum begitu siang, Si Oom telah memenuhi empat halaman folio dengan jawaban essay tentang definisi idiom-idiom jurnalistik dan sebagian besar sisanya berisi tentang penulisan sebuah simulasi naskah berita. Oom masih ingat, “Aku sengaja menulis jawaban pelan-pelan agar tulisan tanganku dapat terbaca.” Kalau tidak ada konsekuensi penilaian, tulisan tangan Si Oom sering tidak terbaca olehnya sendiri.

Bagi Si Oom, tes ini tidak terlalu susah memang, tetapi Si Oom mengerjakannya sungguh-sungguh. Ini karena Si Oom ingin memperbanyak portofolio pengalaman kerjanya yang selama ini tertulis: pegiat pers mahasiswa. Tok til. Belum pernah bekerja di suatu instansi luar kampus dan dibayar. Usai tes tertulis yang kelar jam sepuluh, tiada lagi proses rekruitmen selain menunggu pengumuman siapa saja yang lolos ke tes wawancara 2 minggu berikutnya.

Wuih, ternyata Si Oom dan beberapa teman pers mahasiswanya lolos ke tes wawancara. Sama seperti tes tertulis, Si Oom melewati tes wawancara dengan mulus meskipun tidak yakin 100% diterima namun optimis mendapat nilai baik dalam wawancara. Harapan Si Oom akhirnya terkabul bersama 2 teman yang telah ia kenal di persma, diterima sebagai anggota tim rubrik Universiaria. We proud about it, we proud to each other. Pendek kata, seneng dan bangga.

Dua minggu training berisi seputar radio itu sendiri, jurnalistik radio, naskah dan format acara. Di penghujung training, tentu saja pelatihan teknis semacam olah vokal dan pengantar hal teknis peralatan radio. Satu hal yang masih teringat oleh Si Oom adalah karakteristik media radio yang lebih personal daripada media lainnya terutama tv. Di radio, antara penyiar dan pendengar begitu tiada jarak, personal banget.

Lepas trainiug dua minggu, mulailah masing-masing anggota tim Universitaria mengisi acara dengan beragam format. Ada yang membuat drama seputar dunia kos-kosan. Penulis naskah adalah si anggota tim tersebut dengan pemeran drtama ya tim Universitaria yang lain. Ada juga yang mewawancarai aktivis kampus dengan mengundang sang aktivis ke studio. Tiap orang mendapat jatah mengisi acara, kalau tidak salah, per bulan. Universitaria sendiri mengudara tiap Rabu. Meskipun Tiap orang hanya kebagian tiap bulan namun total aktivitas tidak terbatas hanya saat dia bertugas. Karena, bisa turut membantu produksi anggota tim yang lain: sebagai narator, pemeran dalam drama atau reporter tergantung format acara yang dipilih.

Si Oom sendiri membuat reportase tentang Referendum Timor Leste di mata mahasiswa Timor Leste di Yogyakarta dan dikemas dalam sebuah narasi. Saat itu sekitar tahun 1999, tepatnya saat presiden Habibie menggulirkan referendum bagi Timor Leste. Si Oom mewawancarai mahasiswa Timor Leste Pro referendum dan Pro Indonesia. Si Oom sempat pesimis reportase seperti itu bakal lolos siar, maklum isu sensitif. Toh, lolos juga bahkan naskah pun tanpa coretan dari penanggungjawab siaran alias tanpa sensor.

Komunikasi antar-anggota tim lumayan hangat, saling bantu dan berkomunikasi, paling tidak lewat buku catatan pesan di studio. Saat itu belum jaman handplone. Kalaupun ada, masih mahal: handset maupun nomor. Nomor HP masih dijual ratusan ribu hingga jutaan. Handsetnya masih berukuran gedhe, baterai belum lithium masih NiMH. Sony Erickson dan Nokia masih memakai antena yang mencuat keluar. Harga? Rp 1 jutaan. Sekarang, mencari di loakan pun sudah susah. Mungkin sudah termasuk barang klasik. Eh ngelantur…

Teman teman begitu bersemangat. Banyak ide yang tertuang dalam lembaran naskah yang kemudian mengudara. Lucu sekaligus membuat mereka termotivasi mendengarkan suara mereka sendiri mengudara. Mereka sadar bahwa itu adalah suara mereka sendiri tapi masih terasa ‘lucu’ mendengar warna dan intonasi suara sendiri terpancar via spektrum elektromagnetik radio. “Masak sih suaraku begini,” kira –kira begitu komentar konyol mereka.

Seingat Oom, beraktivitas di radio suatu yang mengasyikkan. Dia mengaku bangga menjadi tim Universitaria. Konon, meski bukan pendengar setia, acara ini telah ia akrabi sejak SD tahun 1985an. Selain itu, seperti yang dikatakan Pak Dhe (salah satu trainer di radio itu), anggota tim Universitaria adalah orang-orang pilihan. Lha iyalah, wong hasil rekruitmen dari ratusan orang pendaftar.

Sampai suatu ketika, kira-kira 6 bulan sejak rekruitmen, sebutan ‘Orang-orang pilihan’ inilah yang membuat perasaan Si Oom begitu merasa bersalah. Seperti anggota tim yang lain, Si Oom mempunyai jadwal siaran dan program kerja. Namun, satu demi satu jadwal siaran kosong alias si Oom tidak mengisi. Ada perasaan jenuh. Juga jengah. Dan, ternyata Si Oom tidak sendirian meskipun tidak semua anggota tim seperti Oom. Masih ada dua-tiga dari 12 orang anggota tim yang masih aktif.

Si Oom mengaku jenuh untuk tidak mengatakan malas. “Tidak ada lagi greget lagi,” katanya sambil menerawang ke masa-masa itu. Bukan perkara materi. Beberapa teman juga sudah beberapa kali tidak mengisi jadwal siarnya. Ketika Si Oom ngobrol dengan mereka, sebenarnya mereka merasa bersalah, tidak enak atilah. Terutama pada pengasuh acara sekaligus penanggung jawab Universitaria tersebut, Si Oom lupa namanya.

Selama anak-anak bandel ini membolos, Universitaria diisi dengan siaran ulang materi-materi sebelumnya. Tentu saja dua tiga orang yang masih aktif mengisinya dengan materi yang senantiasa baru. Kabar tentang aktivitas anggota tim Unversitaria, mereka dapatkan ketika bertemu dengan anggota tim yang masih aktif tersebut misalnya saat kuliah bareng.

Dari teman-teman yang masih aktif pulalah, Si Oom mendengar keluhan Ibu-ibu dan Bapak-Bapak radio tentang kepasifan Oom dan teman-teman. Karena situasi yang tak juga membaik dan untuk pertanggungjawaban ke atasan, anggota tim yang sudah pasif diminta mengajukan pengunduran diri secara tertulis. Ini juga sebagai bentuk pertanggungjawaban masing-masing personil.

Akhirnya Si Oom dan anggota tim yang pasif mengajukan pengunduran diri dan mengantar surat itu langsung ke studio. Beberapa anggota tim telah menyerahkan surat masing-masing. Si Oom datang ke studio bersama salah satu anggota tim. Surat telah siap di map masing-masing. Tapi, perasaan bersalah, malu dan takut dimarahi campur aduk dalam perjalanan ke studio radio itu. Si Oom dan temannya berangkat ke studio yang berjarak tidak sampai 10 menit dari kampus. Di jalan, Si Oom dan temannya seia sekata bahwa situasi ini tidak mengenakkan dan mengakui bahwa mereka-merekalah (anggota tim) sendiri yang memang bandel. “Kami menerima jika jika Ibu dan Bapak studio, misalnya, memarahi kami,” kenang Oom.

Si Oom dan temannya sampai di studio dan ingin menemui Ibu Pengasuh, bukan sekedar untuk menyampaikan surat pengunduran diri namun juga untuk pamit dan minta maaf secara lisan. “Demi unggah-ungguh,” kata Oom, demo soapn santun dan kepatutuan. Sayang Ibu pengasuh sedang tidak ada ditempat. Mereka diterima staf. Mas staf menerima surat itu dan juga berkata bahwa kepasifan teman-teman memang disayangkan. Si Oom dan temannya tersenyum kecut lalu mohon diri.

Sepanjang jalan balik ke kampus, perasaan kami plong, kata Oom. Bagaimana dengan rasa bersalah dan enggak enak ati? Ternyata masih mengganjal hingga berbulan-bulan setelah itu.*

Pada jam kerja pun- nine to five-, seorang pengangguran juga menunggu sesuatu:

Dering handphone dari HRD tempat ia mengirim aplikasi sebelumnya.

‘Aplikasi Anda telah kami proses dan mohon datang ke kantor di Menara XYZ, lantai 5, untuk wawancara kerja’

‘Psikotest pada Sabtu minggu depan dari jam 9 dan jangan lupa membawa pensil”

‘Kami tertarik dengan portofolio Anda, bisa datang ke kantor untuk interview tahap kedua dan presentasi?’

Atau, setelah sekian tahap seleksi,

‘Anda menginginkan gaji berapa?’

Wuihhh….*

Friday, July 25, 2008

Praktikum Cinta EBS episode II

Skenario simulasi di manuskrip aslinya menyebut : Gunakan saat makan/minum bersama teman cewek, pacar sendiri atau ceweknya teman. True storynya, dipake saat EBS sang PNS Medan Merdeka Barat chatting.

EBS : Boleh dong aku jadi semutmu

Cewek : Waa… dah da semut rajanya jee…

EBS : Yo wis, aku jd semut nakalmu saja. Boleh kaaannnn?! (dasar pejuang cinta, die hard)

Cewek : Hhhmmm… emang berani (provokasi nih)

EBS : Jd semut nakal sdah berisiko dilabrak, palagi jadi semut jaman sekarang, lebih berat lagi

Cewek : mang knapa?

EBS : Gula jaman reformasi beda ama gula jaman Orba palagi ma jaman Tanam Paksa lho.

Cewek : oh…karena gulanya gula rafinasinya ya? (mulai terpancing serius) impor ya?

EBS : Eee… gula sekarang enggak semuanis kamu!

Cewek : ;-)’

***

Praktikum Cinta EBS episode I

Sebut saja EBS, seorang kawan pria (yang ternyata) sekampus dan kukenal setelah sama-sama tinggal di Betawi ini. Dia sekarang PNS di sebuah instansi di Medan Merdeka Barat, masih muda 24an tahun, humoris dan antusias. Suatu malam, kita ngobrol cem-macem, perihal cewek tentu saja jadi topik menarik. Pokoknya ampe lidah tidak berasa ludah saking asyik ngoceh.

EBS : kasih bocoran ilmunya dong biar ngerayunya makin sip!

Gw : Banyakin aja nonton film komedi-cinta Indonesia yang bintangnya Agus Ringgo, Tora dll

EBS : wah film banget, yang ori aja dari sampeyan.

Gw : Yo wis… yang ini nggak vulgar lho ya n ngga melecehkan. Bla…bla…bla ….

Empat hari berlalu tanpa ada progress. Hari kelima:

EBS : Tadi wis aku cobain. Wah beyond expectation tenan!

Gw : Lha piye to?

EBS : Tadi pagi-pagi, jam 8 (Bagi PNS, jam segitu masih terhitung ‘pagi-pagi’) ketemu Anis di depan lift kantor. Dia temen cewek seangkatan prajabatan namun sejak Februari ga pernah ketemu karena beda lantai beda direktorat. Manis juga, grade 7 lah. Langsung saja aku praktikin.

EBS : ‘Nis, sudah tahu kabar pagi ini? (manusia cenderung ngeh dengan segala sesuatu yang up-to-date dan puasti merespon!)

Anis : (antusias dan retina mata membulat) ‘Memangnya ada apa mas?’ (siapa tahu ada gosip atawa intrik kantor, teman seberang meja nrima amplop ga bagi-bagi, bos dipanggil KPK, atau Sidak pak Menteri).

EBS : ‘Pagi ini … kamu maniiisss banget!!! (EBS langsung bergegas berlalu seperti wejangan 5 hari yang lalu.

Anis : speechless, melongo sampai temannya menyolek lengannya mengingatkan bahwa lift sudah terbuka.

Nothing happen ‘til lunch time.

Di kantin, Nokia N70 EBS bertuit-tuit.

Sebuah pesan pendek dari Anis:

‘Mas, lagi ngapain?’

***

Manusia o’on di Jumat siang bolong

Sebuah interview kerja di Kebayoran

Mr A : Selamat siang…. Apa kabar?

Gw : Siang, kabar baik

Mr A : Silakan perkenalkan diri dan ceritakan aktivitas sekarang ini

Gw : pekerjaan terakhir sebagai reporter di majalah XYZ dengan job desk bla..bla..bla selama 6 bulan etc.

…..

…..

Berikutnya, sebuah pertanyaan cerdas tercetus oleh Mr A dan sebuah jawaban o’on dr gw:

Mr A : Media ini adalah media online, jadi bukan cuma harian bahkan detik per detik. Jika anda menemukan berita atau mendapat perkembangan suatu peristiwa, katakanlah saat itu jam 2-3 dini hari, apa yang Anda lakukan?

Gw : Menghubungi narasumber yang bersangkutan! (Yuakkiiiin)

Mr A : jam 2 dini hari?

Gw : (sepersekian detik, ‘wah pertanyaan jebakan nih’) saya buka internet, pelajari perkembangan berita untuk dipakai sebagai penelusuran lebih lanjut dan pagi-pagi menghubungi narasumber tersebut (dengan intonasi terakhir mulai ragu)

Mr A : Ooo…jadi pagi-pagi reportase lagi. Oke, cudah cukup dan nanti kita hubungi lagi. Selamat siang!

Sejak keluar ruang interview, di atas Metromini 69, PPD 300 hingga sampai Halim-Cawang, seluruh anggota tubuh serasa tak henti merutuk otak o’on ini:

Bego banget lu! Bilang kek, meski jam 2 dini hari, narasumber dah tidur, lagi dugem ato dikubur idup-idup kan masih bejibun narasumber lainnya yang masih dalam lingkaran persoalan: polisi (24 jam kan!?), aparat, tetangga, dokter, juru medis, forensik, tongkrongin rumahnya, rumah sakit, dll. Lha malah nunggu ayam berkokok, reportase esok paginya. Ini media detik per detik, Bung!

Sayang, tidak ada interview edisi revisi. Duh!

Gara-gara merutuki diri sendiri malah kebawa mimpi di atas PPD 300, ketiduran sampai Prumpung mestinya turun di Halim-Cawang.