Si Oom berduabelas orang dalam tim Universitaria. Mereka 100% mahasiswa dari beragam perguruan tinggi di Jogja dan merupakan hasil kerja keras ibu-ibu dan bapak-bapak radio tersebut meyelenggarakan rekruitmen. Berawal dari pengumuman via harian lokal ternama, Kedaulatan Rakyat, maka 400an anak-anak muda mendaftar langsung di studio radio di bilangan Kotabaru, sebuah kawasan perumahan downtown klasik sekaligus elit. Kalau di Jakarta, Menteng. Seminggu kemudian, di tengah kesejukan Jogja, ke-400an anak muda itu memenuhi 2 ruang auditorium radio itu: tes tertulis. Belum begitu siang, Si Oom telah memenuhi empat halaman folio dengan jawaban essay tentang definisi idiom-idiom jurnalistik dan sebagian besar sisanya berisi tentang penulisan sebuah simulasi naskah berita. Oom masih ingat, “Aku sengaja menulis jawaban pelan-pelan agar tulisan tanganku dapat terbaca.” Kalau tidak ada konsekuensi penilaian, tulisan tangan Si Oom sering tidak terbaca olehnya sendiri.
Bagi Si Oom, tes ini tidak terlalu susah memang, tetapi Si Oom mengerjakannya sungguh-sungguh. Ini karena Si Oom ingin memperbanyak portofolio pengalaman kerjanya yang selama ini tertulis: pegiat pers mahasiswa. Tok til. Belum pernah bekerja di suatu instansi luar kampus dan dibayar. Usai tes tertulis yang kelar jam sepuluh, tiada lagi proses rekruitmen selain menunggu pengumuman siapa saja yang lolos ke tes wawancara 2 minggu berikutnya.
Wuih, ternyata Si Oom dan beberapa teman pers mahasiswanya lolos ke tes wawancara. Sama seperti tes tertulis, Si Oom melewati tes wawancara dengan mulus meskipun tidak yakin 100% diterima namun optimis mendapat nilai baik dalam wawancara. Harapan Si Oom akhirnya terkabul bersama 2 teman yang telah ia kenal di persma, diterima sebagai anggota tim rubrik Universiaria. We proud about it, we proud to each other. Pendek kata, seneng dan bangga.
Dua minggu training berisi seputar radio itu sendiri, jurnalistik radio, naskah dan format acara. Di penghujung training, tentu saja pelatihan teknis semacam olah vokal dan pengantar hal teknis peralatan radio. Satu hal yang masih teringat oleh Si Oom adalah karakteristik media radio yang lebih personal daripada media lainnya terutama tv. Di radio, antara penyiar dan pendengar begitu tiada jarak, personal banget.
Lepas trainiug dua minggu, mulailah masing-masing anggota tim Universitaria mengisi acara dengan beragam format. Ada yang membuat drama seputar dunia kos-kosan. Penulis naskah adalah si anggota tim tersebut dengan pemeran drtama ya tim Universitaria yang lain. Ada juga yang mewawancarai aktivis kampus dengan mengundang sang aktivis ke studio. Tiap orang mendapat jatah mengisi acara, kalau tidak salah, per bulan. Universitaria sendiri mengudara tiap Rabu. Meskipun Tiap orang hanya kebagian tiap bulan namun total aktivitas tidak terbatas hanya saat dia bertugas. Karena, bisa turut membantu produksi anggota tim yang lain: sebagai narator, pemeran dalam drama atau reporter tergantung format acara yang dipilih.
Si Oom sendiri membuat reportase tentang Referendum Timor Leste di mata mahasiswa Timor Leste di Yogyakarta dan dikemas dalam sebuah narasi. Saat itu sekitar tahun 1999, tepatnya saat presiden Habibie menggulirkan referendum bagi Timor Leste. Si Oom mewawancarai mahasiswa Timor Leste Pro referendum dan Pro Indonesia. Si Oom sempat pesimis reportase seperti itu bakal lolos siar, maklum isu sensitif. Toh, lolos juga bahkan naskah pun tanpa coretan dari penanggungjawab siaran alias tanpa sensor.
Komunikasi antar-anggota tim lumayan hangat, saling bantu dan berkomunikasi, paling tidak lewat buku catatan pesan di studio. Saat itu belum jaman handplone. Kalaupun ada, masih mahal: handset maupun nomor. Nomor HP masih dijual ratusan ribu hingga jutaan. Handsetnya masih berukuran gedhe, baterai belum lithium masih NiMH. Sony Erickson dan Nokia masih memakai antena yang mencuat keluar. Harga? Rp 1 jutaan. Sekarang, mencari di loakan pun sudah susah. Mungkin sudah termasuk barang klasik. Eh ngelantur…
Teman teman begitu bersemangat. Banyak ide yang tertuang dalam lembaran naskah yang kemudian mengudara. Lucu sekaligus membuat mereka termotivasi mendengarkan suara mereka sendiri mengudara. Mereka sadar bahwa itu adalah suara mereka sendiri tapi masih terasa ‘lucu’ mendengar warna dan intonasi suara sendiri terpancar via spektrum elektromagnetik radio. “Masak sih suaraku begini,” kira –kira begitu komentar konyol mereka.
Seingat Oom, beraktivitas di radio suatu yang mengasyikkan. Dia mengaku bangga menjadi tim Universitaria. Konon, meski bukan pendengar setia, acara ini telah ia akrabi sejak SD tahun 1985an. Selain itu, seperti yang dikatakan Pak Dhe (salah satu trainer di radio itu), anggota tim Universitaria adalah orang-orang pilihan. Lha iyalah, wong hasil rekruitmen dari ratusan orang pendaftar.
Sampai suatu ketika, kira-kira 6 bulan sejak rekruitmen, sebutan ‘Orang-orang pilihan’ inilah yang membuat perasaan Si Oom begitu merasa bersalah. Seperti anggota tim yang lain, Si Oom mempunyai jadwal siaran dan program kerja. Namun, satu demi satu jadwal siaran kosong alias si Oom tidak mengisi. Ada perasaan jenuh. Juga jengah. Dan, ternyata Si Oom tidak sendirian meskipun tidak semua anggota tim seperti Oom. Masih ada dua-tiga dari 12 orang anggota tim yang masih aktif.
Si Oom mengaku jenuh untuk tidak mengatakan malas. “Tidak ada lagi greget lagi,” katanya sambil menerawang ke masa-masa itu. Bukan perkara materi. Beberapa teman juga sudah beberapa kali tidak mengisi jadwal siarnya. Ketika Si Oom ngobrol dengan mereka, sebenarnya mereka merasa bersalah, tidak enak atilah. Terutama pada pengasuh acara sekaligus penanggung jawab Universitaria tersebut, Si Oom lupa namanya.
Selama anak-anak bandel ini membolos, Universitaria diisi dengan siaran ulang materi-materi sebelumnya. Tentu saja dua tiga orang yang masih aktif mengisinya dengan materi yang senantiasa baru. Kabar tentang aktivitas anggota tim Unversitaria, mereka dapatkan ketika bertemu dengan anggota tim yang masih aktif tersebut misalnya saat kuliah bareng.
Dari teman-teman yang masih aktif pulalah, Si Oom mendengar keluhan Ibu-ibu dan Bapak-Bapak radio tentang kepasifan Oom dan teman-teman. Karena situasi yang tak juga membaik dan untuk pertanggungjawaban ke atasan, anggota tim yang sudah pasif diminta mengajukan pengunduran diri secara tertulis. Ini juga sebagai bentuk pertanggungjawaban masing-masing personil.
Akhirnya Si Oom dan anggota tim yang pasif mengajukan pengunduran diri dan mengantar surat itu langsung ke studio. Beberapa anggota tim telah menyerahkan surat masing-masing. Si Oom datang ke studio bersama salah satu anggota tim. Surat telah siap di map masing-masing. Tapi, perasaan bersalah, malu dan takut dimarahi campur aduk dalam perjalanan ke studio radio itu. Si Oom dan temannya berangkat ke studio yang berjarak tidak sampai 10 menit dari kampus. Di jalan, Si Oom dan temannya seia sekata bahwa situasi ini tidak mengenakkan dan mengakui bahwa mereka-merekalah (anggota tim) sendiri yang memang bandel. “Kami menerima jika jika Ibu dan Bapak studio, misalnya, memarahi kami,” kenang Oom.
Si Oom dan temannya sampai di studio dan ingin menemui Ibu Pengasuh, bukan sekedar untuk menyampaikan surat pengunduran diri namun juga untuk pamit dan minta maaf secara lisan. “Demi unggah-ungguh,” kata Oom, demo soapn santun dan kepatutuan. Sayang Ibu pengasuh sedang tidak ada ditempat. Mereka diterima staf. Mas staf menerima surat itu dan juga berkata bahwa kepasifan teman-teman memang disayangkan. Si Oom dan temannya tersenyum kecut lalu mohon diri.
Sepanjang jalan balik ke kampus, perasaan kami plong, kata Oom. Bagaimana dengan rasa bersalah dan enggak enak ati? Ternyata masih mengganjal hingga berbulan-bulan setelah itu.*
No comments:
Post a Comment