Sunday, June 14, 2009

Hari Pas Foto…

Bermula dari Sri Lestari 'menemukanku', yang kemudian mempertemukanku ke Winarto Widadi dan kemudian berlanjut hingga Indra Darmawan, Mangku, Muslikhin, Niluh Ratri Sonya, Ari Sukowati dan Hendardi serta Anita… yang kini menjadi sepasang suami istri. Kami saling menemukan dan bertemu di jejaring Facebook, yang bagi sebagian orang sudah menjadi teman sarapan atau ngopi karena kini telah jamak ber-FB untuk membuka pagi. Mereka teman SMA-ku dan kini usiaku sudah 32 tahun, fiuhh… 14 tahunan lewat dan tiba-tiba tubuhku melayang mengambang ke hari itu, hari pas foto!

Medio 1995, jelang siang sekitar pukul 10, di dekat ruang guru. Masing-masing murid kelas 3 SMAN 7 Jogja mendapat giliran dipotret pas foto untuk keperluan akhir tahun: tanda peserta ujian akhir, ijazah dan macem-macem. Kelas kami, satu-satunya kelas IPS, dulu disebut A3 (kayak kwarto aje, emangnya mau ngeprint ^_^) juga mendapat giliran. Semua berseragam rapi atau dirapi-rapikan karena nggak semua anak bisa bertampang rapi. Sebagian merasa rapi tapi tidak bagi kamera, nggak fotogenik lah. Atau, sumpah-sumpah sudah merasa rapi tapi mungkin bawaan lahir tetap saja semrawut. Untunglah kaca besar di pintu masuk sedikit membantu untuk mematut diri, cewek maupun cowok.

Sayang sekali, lagi-lagi, bagi yang berbakat berantakan, tetap perlu bantuan teman meski sekedar menarik kerah baju ke kanan kiri atau menyembunyikan ujung-ujung rambut ke belakang kuping. Maklum, standar kerapian sebuah pas foto, kala itu: kuping harus kelihatan kecuali bagi yang memakai jilbab seperti sang ketua kelas kami, Leila atau teman perempuan lainnya seperti Niluh.

Juga aku yang mengantri bareng Winarto, Indra, Davydir Harpar dan beberapa temen lainnya. Sambil celingukan menonton teman yang sedang dipotret, aku sibuk menarik-narik kerah dan lengan baju yang lusuh dan rambut yang agak panjang nan labil. Ogah lurus dan semrawut. Lupakan saja cermin kaca karena tidak banyak membantu. Satu-satunya harapan adalah sisir rambut yang biasanya terselip di belakang cermin yang entah berapa tahun dan berapa ratus orang yang memakainya tiap hari. Aku coba juga merapikan rambut dengan sisir jorok itu, sekali dua kali gagal akupun akhirnya pasrah: ujung-ujung rambut enggan bersembunyi sejenak ke belakang kuping, kerah baju kiri melengkung ke atas sedangkan yang kanan, syukurlah, tetap pada jalurnya. Yo wis lah, performanceku kayaknya dah maksimal dengan terpenuhinya target minimal: pokoknya daun telinga kelihatan!

Kulihat di daftar absensi kelas yang jadi acuan antrian pemotretan, giliranku bakal tiba setelah 2 anak lagi dipotret. Aku berdiri di depan pintu dengan sabar. Keasyikan ngobrol membuat tanganku bergerak reflek, menggaruk kepala. Ku tengok cermin, walah… beberapa helai rambut di ubun-ubun mencuat lagi dan yang di samping kiri kembali menutupi telinga. Ora po-po, nggak apa-apalah, aku berusaha ngademin perasaanku sendiri. Pokoknya iso melu ujian wae, asal boleh ikut ujian aja, soal diomelin bapak dan ibu guru tercintah yang memergoki rambut sedikit panjang, bisa dinego lah…

Ternyata tidak usah menunggu pak guru atau bu guru yang penasaran dan jengkel dengan rambutku, si Winarto malah duluan 'gatal'. Ia menarikku ke depan cermin, mengambil sisir seorang teman perempuan dan membasahi dengan sedikit air. "Liat aja ke cermin!" katanya sambil merapikan rambut belah pinggirku dengan menyisirnya dari kanan, bergerak pelan sambil mengangkat sedikit lalu ketika sisir hampir sampai ujung rambut, ia menarik sedikit lebih cepat ke arah belakang kuping dan menyembuyikannya. Belum sempat aku memperhatikan hasilnya, asisten fotografer memanggilku masuk ke studio dadakan itu.

Setelah dua kali lampu blits memijar, selesai sudah prosesi pemotretan. Kami masih harus menunggu seminggu untuk melihat hasil foto karena 7 hari kedepan kartu ujian baru akan dimulai. Selepas semingguan, kartu pun dibagikan. Bersama teman sekelas, akhirnya aku mendapat kartu itu. Sekelas lantas sibuk dengan kartu itu, bukan untuk mecocokkan nomer ujian atau nama yang tercantum, melainkan saling melihat foto masing-masing dan melongok milik kawan lainnya.

Aku yang duduk di belakang juga memerhatikan fotoku sendiri: rambut kelihatan tebal meski aslinya tipis. Liat aja foto di sebelah ini. Kalau bukan karena saking penasarannya Winarto pada kesemrawutan rambutku, so pasti rambutku bakal terlihat ngelipes bin buluk. Meski sekarang rambutku emang tipis, paling tidak aku pernah 'merasa' berambut lumayan tebal qe3.

Lebih dari itu, jika aku menengok foto-foto lamaku termasuk foto kartu ujian dan ijazah SMA, anganku beranjak pulang ke almamaterku di bilangan Mayjen Sutoyo itu. Setiap detil kenangan berkejapan seperti melihat slide sekumpulan foto. Bukan hanya seperti melintas di depan mataku tapi memintas di kelopak mataku, saking lekatnya. Upacara bendera, makan di kantin, pelajaran olahraga, senda gurau, dua kali usiran dari seorang guru Bahasa Indonesia yang sama ketika di kelas 1B dan 2A3…

Juga, lirikan diagonalku ke sudut kanan kelas ketika saat masih duduk di tahun pertama dan getar-getar aneh setiap adik kelas itu lewat di dekat ruang kelasku yang berjendela super lebar (untuk ukuran kelas sekolah pada umumnya). Slide berputar makin cepat memasuki ruang demi ruang sekolah: perpustakaan, laboratorium, mushola, taman, workshop otomotif, UKS, ruang BP dan Konseling, dan tentu saja bangsal (mungkin sekolah lain menyebutnya aula) serta ruangan tempat kami menunggu giliran untuk pas foto di penghujung masa kami menjadi siswa Wiyata Bakti Taruna, slogan SMA 7 kami.

Semua masih berkejapan sampai tersadar, betapa telah jauh kini jejaraknya, nyaris separuh umur. Ah, bukankah romantisme masa lalu memang memiliki energi untuk menarik kita pulang dan membawa kita kembali pada kekinian.* kalimalang, jakarta, 06 2009

No comments:

Post a Comment