Sunday, September 7, 2008

Mesjidmu, hatimu


Begitu tertulis pada plakat di masjid Al Alam, Cilincing, Jakarta Utara yang oleh masyarakat sekitar disebut juga Masjid si Pitung. Konon, pahlawan-jawara di masa kolonial Belande sering sholat disitu. Maksud plakat itu, mungkin, kurang lebih mengingatkan kita agar turut memakmurkan masjid, tempat kita beribadat, menyapa Tuhan, memanjatkan doa dan juga gaul. Di masjid, yang tua bisa berbagi cerita atau malah diskusi. Yang muda boleh pula berkawan dan meluaskan pertemanan: antarkawan sekampung sesama jama'ah masjid maupun dengan kawan pegiat masjid dari masjid tetangga.

Pertautan hati jamak pula yang berawal dari masjid. Seperti cerita seorang teman padaku setelah sahur tadi. Masa kecilnya, kira-kira usia 4 SD, ia luangkan pula di masjid terutama saat puasa. Ia sebenarnya dari keluarga abangan, “Sholat bolong-bolong. Rajin sholat pun saat Ramadhan doang,” akunya. Toh, ia bersemangat ke masjid terutama ketika ta'jilan, buka puasa bersama. Di kampungnya, ta'jilan anak-anak dipisah dengan rombongan orang dewasa dan diisi dengan semacam pengajian/kultum yang dikemas interaktif untuk menarik anak-anak. Materinya berkisar tentang kisah nabi-nabi maupun sahabat nabi dan rasulullah. Ringan, edukatif nan menghibur. “Mas Afif, Dadang, Narto,” katanya mengenang mas-mas pengampu kultum ta'jilan.

Tampaknya, kemasan kultum yang bermateri kisah para nabi terbilang berhasil menarik perhatian anak-anak, pun temanku tadi. Ia tekun menyimak tuturan mas-mas dan mbak-mbak Remaja Masjid/Remas. “Aku rajin mengacung dan menjawab pertanyaan tentang cerita nabi,” katanya mengenang. “Misalnya, nama putra dan istri Nabi Ibrahim atau nama kota dan nama perang jaman Rasulullah,” tuturnya. Ketepatan jawabannya didukung oleh kegemarannya membaca buku-buku perpustakaan di sekolahnya. Sepintas otaknya tokcer. Tapi, “Jangan tanya soal bacaan ayat atau hadist sesederhana juz amma pun,” katanya sambil terkekeh. Sekolahnya di SD negeri dan terutama faktor didikan agama di keluarganya membuatnya kurang familiar dengan Al quran dan hadist.

Meskipun demikian, di mata teman sebayanya dan mas-mbak Remas pengampu kultum ta'jilan ia terhitung cerdas dan bersemangat. Ia pun menjadi salah satu anak emas. Acungan jarinya dirindukan jika ia tidak datang ke pengajian. Lantang suaranya yang tanpa malu-malu demi menjawab kuis dari ustad meramaikan tiap sore jelang berbuka.

Soal bacaan surat dan hadist yang terbata-bata, malah makin membuatnya menjadi perhatian. Pun dari seorang lawan jenis. Si teman perempuan sebaya dengannya, kelas 4 SD namun bersekolah di Muhammadiyah yang, tentu saja, telah lancar mengaji dan hapal luar kepala surat-surat Quran dan hadist. Kepada teman-temannya, si cewek bahkan bikin pengakuan soal temanku itu. ”Aku pengen jadi pacarnya. Kalau wis pacaran nanti aku akan ajari dia ngaji,” ujar temanku menirukan testimoni teman-temannya yang mengutip proklamasi cinta si cewek. Pengakuan itu beredar cepat di kalangan teman-teman. Tak ayal menjadi ledekan.

Dasar bocah, temanku cuek saja menanggapi cinta si cewek. Cuek bukan karena tak peduli tapi tidak begitu ngeh dengan ucapan seperti itu. “Pokoknya aku ngerasa senang saja karena tahu kalau diperhatikan. Soal cinta nggak tahulah,” katanya. “Mungkin juga karena bawah-sadar ngerasa minder karena bapaknya tokoh agama di kampung. Haji pula,” akunya lagi.

Konyolnya, meski tahu nama si cewek, ia malah belum mengenal benar sosok dan tampang cewek yang menaksirnya walau tiap sore berada di ruang yang sama. Katanya, “Aku kan main ke masjid ya baru saat itu. Dari lahir memang asing dengan masjid atau mushola.” Apalagi si cewek, menurutnya, berasal dari kampung sebelah meski kedua kampung bergiat di masjid yang sama. “Akrab dengan teman laki lain kampung ya pas puasa itu pula. Apalagi dengan teman cewek, blas nggak kenal sebelumnya,” tuturnya. Lantas tanyaku, mereka pacaran nggak akhirnya? Ia menggeleng, “Bapaknya haji. Kaya. Meski masih kecil tetapi aku sudah bisa merasa kalau ada yang tidak sepadan diantara kami.”*

No comments:

Post a Comment