Sunday, July 17, 2011

Bulak


 
Minggu malam ini ingatan saya terlempar ke ruas-ruas jalan yang diapit bentangan sawah luas. Kawan sekampung di Salakan, Sewon, Bantul lazim menyebut hamparan sawah itu, bulak. Pun begitu dengan sodara di tlatah Jawa lainnya.

Selemparan batu dari rumah di Jogja, dulu, bulak gampang didapati. Sejurus dengan banyaknya orang yang membutuhkan rumah, bulak telah berganti menjadi komplek perumahan. Sekarang, paling-paling baru bisa ditemui lagi jika menyusuri jalan menjauhi kota.

Hingga sekarang, ingatan saya masih merekam bulak-bulak yang seolah membentuk bingkai-bingkai fotografis di benak. Ada beberapa yang selalu terlintas jika saya membayangkan semilir angin dan hijau padi muda atau kuning batang serta bulir padi menjelang panen.

Pertama, bulak di Ngoto. Adalah bapak yang kini berusia 72 tahun yang mendudukkan saya di boncengan sepeda kayuhnya. Jalan tanah yang bergelombang kami susuri dengan hembusan angin dari selatan. Jika sampai di tengah bulak, kami sampai di semacam pos atau gardu tepat di simpang  tiga jalan yang membelah bulak Ngoto.

Separuh penghabisan bulak, kami biasanya berbelok ke kiri ke arah bendungan kali Code untuk duduk-duduk. Ketika berbelok kiri itulah, saya selalu menengok ke arah bulak itu, meniti tiap pematangnya dengan retina.

Terlongok-longok menghitung burung bangau yang terbang atau mendarat di sawah. Saya tak pernah berhasil menghitung tuntas satu rombongan burung pemakan katak itu. Mungkin juga keong sawah dan cacing penyubur sawah.

+++

Bulak favorit saya lainnya ada di tenggara kota Jogja. Ke arah Imogiri. Dari jalan besar yang ujungnya dari terminal Giwangan di jalan lingkar selatan atau ring-road, saya keluar masuk ke jalan yang lebih kecil.

Jalan desa, begitulah gampang disebut klasifikasinya meski beraspal mulus-minim lubang karena spesifikasi teknisnya tidak dikorupsi hehehe.

Poin jatuh cinta saya pada bulak ini karena bentangan sawahnya berlatar belakang pegunungan bukit kapur. Pucuk bukitnya yang terjal putih dengan tonjolan bidang kapur di sana-sini seolah menunjukkan aura ekosistem yang keras pada tetumbuhan: Akar sampeyan mesti tangguh untuk bisa survive di tanahku.

Sebaliknya, dedaunan membungkusnya seperti berusaha meneduhkan kegarangan yang meranggas.

Satu kali saya pernah meminggirkan sepeda angin demi sang mata menyusuri liak-liuk punggung barusan bukit. Kala itu masih SMP.

Kali lain ketika kuliah. Jalan-jalan cari angin, saya berhenti mengulang pemberhentian bertahun lalu. Atmosfernya masih sama persis, seolah ada magnet untuk menatapnya berlama-lama. Apalagi pohon waru begitu rindang menawarkan kanopi peneduh.

+++

Bulak sawah lainnya saya temui jauh ke selatan dari Kota Jogja. Dari Jalan Parangtritis, mungkin di kilometer ke 20 atau 5 km sebelum pantai, saya belok ke kanan menuju pantai Samas dan Pandansimo.

Bulak di situ membentang dari arah timur ke barat. Jika kita berhenti di satu titik dan tanpa penghalang pandangan seperti rumah-rumah, cobalah menghadap ke kanan atau berarti ke arah utara.

Maka nun jauh terlihat kerucut Merapi berselimut langit biru. Kepul asapnya seolah mengalun damai meski dididihkan oleh gejolak magma di perut bumi, yang kapan saja bisa menyalak.

Ketika saya menyusuri bulak itu, musim panen telah usai dan petani tengah menggenangi persawahan dengan air irigasi untuk menggemburkannya lagi. Beberapa petak sawah sudah mulai dibajak untuk ditanami lagi.

Nah ketika lapisan tanah berlumpur dibalik oleh mata bajak, cacing-cacing penyubur tanah terangkat ke permukaan yang lantas menggugah air liur para bangau.

Oya, hampir terlewat, sejatinya jika saya menyebut burung-burung dengan nama 'bangau', itu semacam penyederhanaan semata. Di Jawa, kami mengenalinya dengan sebutan blekok dan kuntul.

Jujur karena kekurangtahuan, bisa jadi antara bangau, blekok dan kuntul memang tiga burung berbeda jenis. Hanya karena, menurut mata saya, fisik mereka mirip lantas saya menyebutnya 'bangau' qeqeqe.

Kembali ke bulak, seluas memandang persawahan mata saya bersirobok dengan titik-titik putih bulu-bulu mereka. Kontras dengan latar sawah yang berlumpur coklat.

+++

Tentu saja, saya juga memiliki koleksi ingatan tentang bulak-bulak lainnya. Seperti di Godean dan Minggir yang termasuk kabupaten Sleman di sebelah barat kota Jogja. Atau persawahan di Kulonprogo. Juga lika-liku ladang-ladang tanah kapur di Gunung Kidul.

Ah semua seperti mengayun-ayun di benak, merindukan kehadiran saya menapaki jengkal jalan yang diapit mereka, kangen pada punggung saya bersandar di pohon tepi bulak menikmati semilir bayu.

Hmmm... sebenarnya bukan mereka, sejujurnya sayalah yang kangen hamparan bulak di tlatah Yogyakarta.

*** Selemparan batu dari Sarinah, Thamrin, Ibukotah. Sehari setelah mengantar kakak laki-laki ke stasiun kereta untuk kembali ke Jogja, usai dua-tiga hari menemani si kecil Kaka bermain-main.

4 comments:

  1. iyap..bulak atao logat jogjanya Mbulak....hehehe, memang akrab di telinga...sama kayak bantul jadi Mbantul..bandung jadi Mbandung..itulah Jogja yg tetap istimewa...

    ReplyDelete
  2. Aku datang mas inung...

    Assalamualaikum...

    Hmm...memang Allah yang maha Baik ya mas,, aku juga bersyukur sekali disetiap detik hidupku ada moment-moment indah yang terekam di benak,,

    Jujur saja, sampai sekarang aku begitu merindu kan kota curup tercinta,, merindukan udara pagi nan sejuk, merindukan hamparan pemandangan agrowisata nan indah, merindukan bau bunga kopi yang harum semerbak dikala ku melewati jalan setapak,,,

    Alhamdulillah,, aku diberi kesempatan untuk menikmati itu semua...

    Tetap Semangat mas!!! Hidup ini anugerah,, dimanapun kita hidup bisa indah kalau kita buat indah... :)

    ReplyDelete
  3. Assalamu'alaikum sodaraku,
    mBulak sawah, mbulak ilalang dan apapun kearifan yang terbentuk di dalamnya semakin menyempit dan sirna ditelan jejalan beton semen dan penghuninya. Mungkin akan semakin bertambah banyak generasi kini yang tidak pernah tahu dan tidak pernah mengerti apa itu bulak dengan segala keindahan di dalamnya

    ReplyDelete