Thursday, July 21, 2011

Mio

Ini bukan tentang Yamaha. Juga bukan ngulik jeroan teknologi matic. Bahkan nggak ada sangkut pautnya ama kucing tetangga bernama sama.

Yang pasti, kalau sampeyan sudah di dekat Mio, perut bakal teraduk-aduk. Isi kepala seperti dikocak-kocak. Sekujur badan bisa jadi terantuk dan limbung.



Sampeyan boleh pegangan tapi jika malu ya udah, merem saja. Terima jadi kalau dapet paket komplit: pusing, mual dan berkunang-kunang.

Kira-kira 30 kilometer sebelum sampai Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatera Selatan, tepatnya di Tangsi Lontar Baturaja (info dari Pak Chandra), atau arah dari Lampung lewat jalur lintas tengah, simpang Mio menanti dengan kanopi pepohonan di kanan kiri. Di balik riuh hijaunya, kelak kelok jalan nggak bakal bisa sampeyan hitung.

Mungkin saja kita menghitung mundur, berapa lagi kelokan di depan sebelum lambung menyerah dan menyemburkan isi perut. Lupakan saja.

Boleh saja kita menyamakan Mio dengan geliat roller-coaster. Tapi, begini aja, di Mio ketika mobil meliuk ke kanan maka badan kita otomatis mengikuti ke kanan pula. Nah, saat kepala dan badan kita belum habis terayun, mobil sudah masuk ke tikungan ke kiri, dan kita merasa terhentak tiba-tiba. Begitu seterusnya, lagi dan lagi.

Saran saya, lupakan keinginan menikmati pemandangan di luar jendela mobil, singkirkan butir-butir durian yang menggantung di cabang-cabang pohonnya. Sandarkan kepala dan jangan melawan ayunan kendaraan.

Kan, sudah saya bilang, terima saja:: begitu perjalanan kendaraan masuk ke Mio, ikuti saja liak-liuknya. Masak sampeyan balik arah ke Lampung atau Jakarta.

Lha wong saya saja berani njabanin menuntaskan simpang Mio. Dengan kepala tegak dan gagah berani saya tenggak obat masuk angin sachetan (kalau nunduk mah minum es teh pake sedotan qeqeqe).

Waktu itu, di baris paling belakang minibus travel Kartika Jaya, mata saya pejamkan mengikuti goyangan mobil. Awalnya, saya coba menghibur diri:: anggap saja sok head-bang kayak rocker.

Tapi sepertinya aliran darah di otak tidak bisa stabil dan urat di tengkuk menegang. Ujungnya pusing beneran bukan oleh hentakan drum dan raungan gitar elektrik. Batal sudah puasa Ramadan di hari Jumat, Oktober di tahun 2009.

Oya, namanya sih 'simpang' tapi bukan berarti berupa hanya satu persimpangan kayak perempatan Sarinah di Jakarta atau prapatan Mirota deket UGM, Jogja. Simpang Mio lebih berupa kawasan yang berupa alur jalan beberapa kilometer.

Kata pacar yang kini jadi istri saya (itu perjalanan pertama saya ke rumahnya sebelum pernikahan), "Kalau mabok di simpang Mio berarti itu sebagai ucapan selamat datang. Kata orang, kayak diwisuda jadi wong kito Tanjung Enim."

Saya menjawabnya dengan mata makin terpejam tanpa keinginan menghitung kunang-kunang yang berenang di kelopak mata.

** Eh beberapa hari ini kok postingan saya tentang tempat-tempat di masa lalu ya. Kemarin soal bulak sawah di Jogja. Besok nulis soal Alaska atau Sahara aja ah hehehe


6 comments:

  1. aku datang....

    huhahaha..... ceritanya mabuk ya mas?? bener kata mbak aneka deh,, itu ucapan selamat datang,,, hmmm... masih banyak sensasi roller coaster yg mas inung belum coba,, contohnya liku 9 di jalan lintas Curup Bengkulu.... hayooo... berani coba??? qeqeqe.. (niru ketawa mas inung) :P

    ReplyDelete
  2. berkunjung kawan ....sukses slalu

    ReplyDelete
  3. simpang Mio, dekat kampung kami di Tangsi Lontar Baturaja....salam hangat mas Inung

    ReplyDelete
  4. ++ Ami :: kalo Liku 9 mah jamin dah merem sepanjang jalan qe3

    ++ Odah Etam :: Sukses juga untuk brader, trims a lot

    ++ Chandra :: Thanks banget Pak Chandra, info lokasi Simpang Mio sudag saya update ke postingan blog :D

    ReplyDelete
  5. Dari cerita, perjalanannya sudah bisa dibayangkan mantabz nya. Sayang belum bisa ke TKP. btw nice post

    ReplyDelete