Wednesday, August 15, 2012
Mudik
Sabtu kemarin saya mengantar istri dan si kecil Kaka mudik ke Tanjung Enim, Sumatra Selatan. Dengan Lion Air berangkat dari Cengkareng, Bandara Soekarno-Hatta tujuan Palembang, ini penerbangan pertama bagi mereka berdua. Ada kekhawatiran pada awalnya, juga antusiasme.
Sejatinya, kami ingin pulang kampung seminggu lebih awal. Lantaran mesti beberes rumah usai pindahan, akhirnya mundur satu pekan.
Persiapan kami bukan sekadar memesan tiket dan memastikan jemputan di bandara. Bukan teknis seperti itu. Malah kami, terutama Bundanya Kaka, sempat was-was bagaimana dengan Kaka yang masih setahun 8 bulan untuk terbang dengan pesawat.
Yang kami tahu dan dengar, mengajak anak kecil apalagi bayi mesti hati-hati. Pertama, kalau boleh mengurutkan, soal pengaruh tekanan udara di pesawat terhadap gendang telinganya. Tekanan udara yang berbeda, dikhawatirkan berdampak pada pendengaran si kecil.
Googling di Tiphone A500, android mengantar kami pada beberapa tips. Usahakan bayi kita 'nenen' alias minum ASI langsung. Kalau tidak, mengunyah makanan kesukaannya. Kunyahan diyakini mampu mencegah dampak buruk tekanan udara pada telinga.
Orang dewasa, jika belum terbiasa terbang, pun disarankan untuk makan permen. Ini untuk mengurangi yang lazim disebut, rasa 'pekak' pada telinga.
Kedua, memeluk erat si bayi terutama bagian telinganya dengan tangan, lengan atau juga kain lembut. Lebih dari itu, yang keempat, ialah memberi kenyamanan bagi si kecil. Pilihan baju disarankan yang dia sukai meski diharapkan yang lumayan hangat untuk melindunginya dari hembusan hawa dingin AC pesawat.
Kelima, kalau bisa, kami mendapat kursi di bagian depan. Alhamdulillah kami mendapat kursi nomer 8A dan 8B. Jika duduk dibagian belakang, tulis beberapa pemberi saran, lebih bising.
Tips yang runtut, memang. Kami diskusikan sebelum berangkat. Namun tidak sesederhana itu begitu masuk kabin pesawat Boeing 737-900ER itu.
Sebelum lepas landas, Kaka enggan dipangku dengan tenang. Bukan lantaran gugup namun lebih karena ingin tahu dengan suasana di kabin. Bukannya nenen, dia menoleh ke kanan kiri, melongok ke jendela di sebelah kiri kami, sesekali melihat penumpang lain, juga mengerling ke pramugari yang membantu penumpang *_+
Bahkan sampai pesawat bergerak menuju posisi take-off, deg-degan kami belum pupus. Roti yang biasanya dia sukai pun ditepisnya. Halaman majalah yang bergambar mobil, kesukaannya, juga dicuekin.
Meski dia akhirnya mau didekap Bunda, Kaka enggan nenen. Di baris seberang, bayi seusia Kaka mau minum ASI pada mamanya. Untuk Kaka, kami ngalah, yang penting dia merasa nyaman dan tidak menangis.
Memangku Kaka, tangan kanan Bunda menepuk punggung. Lengan kiri Bunda melingkar di kepalanya, mendekap rapat telinga kanan kanan dan telapak tangan menutup telinga kiri dengan kain lembut.
Bundanya menatap saya, saya balas dengan usapan di telinganya. "Ayo berdoa dan melafalkan Al Fatehah," bisik saya.
Ketika itu badan pesawat mulai memutar dan memastikan berada pada posisi yang tepat untuk lepas landas. Deru dan getar mesin terasa meninggi. Sabuk keselamatan telah dikencangkan.
Zzz... zzz ...
Ketika pesawat mulai berakselerasi di jalur pacu, Bunda kembali mengusap punggung Kaka dan mengintip wajah mungilnya yang menghadap ke jendela. "Tidur, Yah," memberitahu sambil tersenyum, menawan geli yang masih bercampur was-was.
Empatpuluh detik dibutuhkan pesawat untuk memisahkan telapak roda dari aspal. Bibir kami masih melafalkan doa. Hingga tubuh si Lion Air telah lempang dan melayang menembus mega di atas Selat Sunda, Kaka masih tidur, malah makin nyenyak. Alhamdulillah.
Kami sangat bersyukur, apalagi sebelum tertidur, Kaka masih saja memandang keluar jendela. Bisa jadi dia lekas pulas lantaran berasa diayun-ayun oleh lepas landasnya si Boeing.
Kini, Bundanya gantian yang antusias menyapu hamparan mega putih lewat jendela. Juga menatap jauh ke baris horizon di kejauhan. Ingat ini penerbangan pertamanya hehehe. Saya sendiri sibuk membolak-balik halaman majalah internal maskapai itu.
Kurang dari satu jam, suara sang pilot dan diulangi oleh pramugari di pengeras suara memberitahu beberapa menit lagi bakal mendarat di Bandara Sultan Badaruddin II, Palembang.
"Kok nggak berasa sih terbangnya. Cepet banget ya, Yah," tanya dia separo komplain. Saya tersenyum mengingat ini first flight bagi Bunda.
"Bunda nunggu sampai sekarang untuk bisa terbang, kalau Kaka belum dua tahun sudah naik pesawat," balas saya, separo meledek, separo menghitung. Dijawab Bunda dengan meringis, iiiiihhhhh.....
Akhirnya ...
Kami mulai berdoa lagi dan menahan nafas ketika pesawat makin merendah. Dekapan Bunda makin lekat seiring guncangan yang masih terasa wajar ketika roda menjejak landasan. Kaka masih saja pulas.
Dia baru bangun ketika pesawat benar-benar telah berhenti dan terutama membuka matanya lantaran hiruk-pikuk penumpang yang bersiap turun. Sedikit kegaduhan yang bercampur ucapan terimakasih di speaker dari mbak-mbak pramugari karena telah terbang bersama mereka dan "... sampai jumpa dalam penerbangan Lion Air selanjutnya."
Kaka tidak menangis. Matanya berkedip-kedip memandang sekeliling. Kami memilih tetap duduk selagi penumpang lain telah berdiri di gang pesawat menunggu pintu dibuka. Barulah dia minta minum ASI.
Boleh dibilang, kami sukses dalam penerbangan ini. Was-was kami terjawab dengan kelegaan, persiapan yang dilakukan menjadi bekal yang baik selama perjalanan.
Terimakasih untuk teman-teman yang telah memberi masukan secara lisan, juga media dan para netter yang telah bersedia berbagi pengalaman terbang bersama si kecil tercinta. Alhamdulillah :)
+++
Asofa, Rawabelong, Palmerah, Jakarta Barat. Ramadan hari ke-24.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
wah mudik ya...hahahhaa....aku tetap di Jogja yg istimewa....mau kmana2 mahalll...ampun..semoga lebaran Haji nanti bisa keluar Jogja..amin
ReplyDeleteAmien :) saya juga pengen menengok kampung di Jogja, semoga usai hiruk-pikuk arus balik Lebaran dua minggu lagi +_+
Delete