Friday, August 10, 2012

Yakin



"Saya melihat sosok seorang kawan seperti saya sendiri setahun lalu"

Seorang teman bercerita pada saya tempo hari. Teman kantornya terbilang baru di pekerjaan yang sekarang.  Jenis kerja yang berbeda dan kantor yang lain pula. Tentu standarnya pun sudah bergeser.

Ketika diminta untuk konfirmasi dan mengharuskannya berhubungan dan pihak lain, sang teman baru tadi begitu gelagepan dan panikan. Meski hanya lewat telepon, tangannya gemetaran dan bulir-bulir keringat membutir di keningnya.

Menuliskan laporan pun belepotan, banyak tanda baca yang terbolak-balik penempatannya. "Titik jadi koma  dan koma jadi titik," ujar teman saya tentang teman kantornya.



Menuliskan nama orang pun masih dengan huruf kecil. Bahkan, mengutip dari laporan sebelumnya pun tidak dirapikan sehingga terasa kurang nyambung dengan laporan terbaru. "Asal nempel. Copy. Paste," keluh dia.

Saking penasarannya, teman saya tadi duduk di sebelah temannya tadi untuk melihat bagaimana dia menulis laporan. Alamak, ceritanya, jemarinya pun terlihat jelas gemetar mengetik di keyboard.

Juga tidak fokus, sebentar-sebentar tangannya meraih HP untuk melihat pesan yang masuk. Malah tidak ada pesan yang masukpun, dia tetap menjumput gadgetnya. Duhhh...

+++

Untungnya, teman saya pun tidak memilih untuk menekannya, misalnya dengan serta merta menuntutnya meningkatkan akurasi laporan. Dia mencoba bicara empat mata.

Alasannya, lantaran teman saya yakin, masalahnya bukan di hal teknis. "Ada sesuatu deh pokoknya," ujarnya yakin.

Singkat kata, si teman baru tadi berterus terang kalau memang kurang menguasai pekerjaan barunya. Juga tidak atau belum percaya diri.

Solusinya, teman saya mendorong dia untuk tetap memperbaiki akurasi sebatas penulisan. Kalau nama orang ditulis dengan huruf kapital, begitu juga nama tempat dan penulisan angka serta hitungan persentase. "Soal kesesuaian alur, biar gue yang merapihkan," ujarnya.

Yang penting, setelah pekerjaan selesai disunting, sang teman baru tadi membaca laporan hasil koreksi. Begitu berlangsung terus-menerus. Artinya berproses.

Selain itu, penugasan tetap diberikan dan bukannya menguranginya. Baik tugas yang telah direncakan sebelumnya maupun pekerjaan dadakan.

"Awal-awal dia masih gemetaran dan belepetan," ujar teman saya. Tapi lambat lain makin lancar dan amanat yang diberikan tuntas dikerjakan.

Sekarang pun sudah terlihat ada peningkatan. Akhir pekan lalu, teman saya mengajak ngobrol berdua dengan temannya. Intinya, kemampuan bekerja bukan melulu soal teknis seperti kenal dengan pihak luar maupun penguasaan masalah.

"Ada juga faktor mental. Keyakinan. Kepercayaan diri," ujar dia menirukan obrolan mereka. Kalau kita yakin dan berusaha terus, entah datang dari mana, solusinya itu bisa didapatkan. Baik dari kita maupun inisiatif pihak lain.

Kalau yakin bisa, energi itu bisa seolah-olah datang. Jika mentok, alternatif lainnya pun seolah mengalir. "Passion! Kalau yakin bisa, pasti bisa!" kata dia.

+++

Diluar itu semua, saya penasaran, kenapa dia memilih untuk membantu teman kantornya dibanding membiarkannya dan menekannya untuk 'pokok-e kerjaa beres, nggak peduli kesulitanmu'.

Teman saya mengakui, dulu, setahun lalu, dia mengalami hal serupa. Bingung di pos pekerjaan yang baru dan malah tanpa ada yang membimbingnya. Bos tahunya beres. Dia sendiri belajar sendiri dari banyak kesalahan.

Makanya, dia paham dan mengerti bagaimana paniknya seseorang yang tidak memiliki latar belakang sebuah pekerjaan namun berada di posisi sulit plus target yang mesti dipenuhi.

"Makanya, aku coba berempati. Jika dia mengalami hal sama dengan yang aku alami, bukan berarti dia mesti melewati masa-masa sulit seperti aku dulu kan. Kalau bisa lebih cepat ya kenapa tidak," paparnya.

Saya manggut-manggut. Sangat membenarkan. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Meski perlu juga peran seorang navigator bernama 'teman'. :)

Sumber ilustrasi rambu perhatian dari sini 






1 comment: