Saturday, July 29, 2017

Membaca Cerita Lari Haruki Murakami






BUKU bergenre memoar ini menarik perhatian saya bukan hanya lantaran temanya yang bertutur soal lari, olahraga kegemaran saya, namun juga karena judulnya unik, "What I Talk About When I Talk About Running". 

Apa sih maksudnya? 

Awalnya saya menduga, penulis asal Jepang kelahiran 12 Januari 1949 ini menulis tentang uneg-unegnya ketika sedang berlari. Dugaan saya ternyata tak terlalu meleset, paling tidak menurut saya sendiri hehehe. 

Oya saya sebenarnya sudah lama mengidamkan membeli buku setebal 198 ini. Setelah melihat pertama kalinya di Gramedia Citraland Grogol, Jakarta, akhirnya saya mengempit buku ini di toko buku Togamas ketika pulang ke Jogja minggu lalu, 25 Juli 2017. 

Selama empat hari, memoar terbitan Bentang ini menemani saya ketika di ruang depan rumah, kamar, kedai Wikikopi dan akhirnya rampung pada penerbangan Jogja-Jakarta, Jumat malam. 

MENGAPA MEMILIH LARI? 
Haruki sepertinya memahami keinginantahuan saya, juga mungkin pembaca lainnya, apa sih yang ingin ia sampaikan, opo to yang pengen dia ceritakan. Dan juga pertanyaan mengapa dia berlari, apakah dia seorang penulis yang masa mudanya seorang atlet, hobinya lari, atau berlari sebagai terapi karena kondisi kesehatan? 


Haruki mengungkapkan alasannya berlari adalah karena ingin memperbaiki dan menjaga kebugaran demi menunjang aktivitas kepenulisannya. Dia juga perlu menceritakan awal mula dia memulai dunia sastra, tepatnya menulis fiksi baik cerpen dan novel. 

Peraih penghargaan World Fantasy Award dan Jerusalem Prize ini memilih jenis olahraga lari karena sederhana, tak membutuhkan banyak alat seperti jika bersepeda, dan tak perlu tempat khusus ala renang (hal. 41). 

Selain bercerita tentang pengalamannya berlatih lari, menjajal trek di belahan dunia dan mengikuti puluhan ajang lomba lari seperti jalur legendaris Marathon-Athena, Hawaii, Boston Marathon, New York Marathon dan event lari di Jepang dan lain-lain, Haruki juga menuliskan apa yang ia pikirkan, bayangkan, renungkan dan khayalannya saat berlari. 

Di jalur lari tepian sungai Charles, Boston, misalnya, ketika dia disalip para mahasiswi muda yang juga tengah joging, Haruki yang kalau itu sudah berusia 66 tahun tiba-tiba terkesiap oleh pikirannya sendiri yang tiba-tiba muncul bahwa suatu generasi akan diambil alih oleh generasi berikutnya (hal. 106). Dan, itu hal yang tak mungkin dihindari, tiap masa ada generasi dan setiap generasi punya masanya. 

Ketika berlari pun, Haruki juga mengakui pikiran-pikiran tentang penulisan novel juga muncul di benaknya. Menurutnya menulis membutuhkan vitalitas dan tenaga demi aktivitas berkarya yang kontinyu tersebut. 

Secara eksplisit pada halaman 109 dia menegaskan, "... jika aku ingin menulis karya dalam skala besar, aku harus meningkatkan kekuatan dan staminaku." Tentu dia juga tak lupa menggarisbawahi bahwa itu bukan satu-satunya cara yang benar untuk dilakukan oleh para penulis. Ya, Haruki berupaya tidak 'saklek' dan mengambil posisi untuk tetap rendah hati. 

Haruki yang mulai menggeluti dunia penulisan di usia 29 dan mulai berlari di umur 33 tahun, juga berkisah tentang beragam perasaan dan efek fisik saat berlari serta berlomba. Pada suatu saat dia merasakan bagaimana sejatinya kita lebih baik memikirkan hal-hal yang telah dimiliki alih-alih mengeluh karena menurutnya memikirkan kekurangan bakal tak ada habisnya. 

Tentang alur tuturannya di memoar ini, ternyata tidak melulu berurutan secara kronologis. Haruki memang mengawalinya dengan bercerita bak perjalanan karier termasuk membuka kedai minum yang menghadirkan live music beraliran jazz, menikah dan akhirnya mulai menulis.

Tetapi, untuk kisah larinya kadang meloncat dari satu event dan pengalaman lari di suatu tempat ke tempat lain. Dari segi urutan waktu, juga kadang mundur. Misalnya dia lagi berkisah tentang pengalaman lari pada tahun 2005, kemudian menceritakan kesempatan berlarinya pada 1980 atau 1990an. 

Sedikit membantu Anda, untuk memudahkan membayangkan secara kronologis: 
- 1982, Haruki jatuh cinta pada lari dan mulai berlatih. Usianya saat itu 33 tahun. 
- 1983, dia mengikuti lomba lari pertamanya di kategori 5K alias 5 kilometer. 
- Mei 1983, dia turut dalam lomba 15K. 
- Juni 1983 menjajal kemampuannya dengan berlari mengelilingi istana kaisar di Tokyo 7 putaran sehingga jarak totalnya 35K. Ini bukan lomba, Haruki berlari sendiri (hal. 49) - Juli 1983 atau sekitar satu bulan setelahnya, dia berlari maraton sejauh 42K untuk pertama kalinya, di Yunani (hal 66).

Rutenya ialah dari Athena ke Maraton, ini rute dari kebalikan maraton tahunan yang merupakan jalur napak tilas Pheidippides, tentara Yunani yang berlari dari Marathon ke Athena untuk mengabarkan kemenangan pasukan Yunani atas Persia. Dia berlari sendirian dan bukan dalam rangka lomba. 

- Desember 1983, penulis novel Norwegian Wood ini mengikuti event resmi marathon pertamanya yaitu di Honolulu, Hawaii. Artinya, saat itu usianya di akhir 33 tahun dan masih dalam rentang satu tahun, atau paling tidak, tak sampai 2 tahun sejak dia mulai berlatih lari. 

Setelah itu tak terhitung lagi dia berlari baik berlatih, lari sendirian, berlomba pada beragam kategori jarak, termasuk maraton bahkan triatlon. 

KOREKSI UNTUK EDITOR/PENYUNTING 
Saya juga perlu menyinggung perihal ajang resmi maraton pertama yang dia ikuti seperti tersebut di atas, sekaligus menjadi koreksi atau pelurusan atas narasi pada halaman kulit belakang buku ini. 

Di back cover, mungkin oleh editor atau penyunting dari Bentang, ditulis: “... Pada akhirnya, Murakami memutuskan untuk ikut dalam maraton di Kota New York tahun 2005.” Tulisan ini dapat menimbulkan persepsi bahwa pengalaman berlari maraton atau lomba maraton yang diikuti Haruki adalah tahun 2005 di New York saat dia berumur 55-56 tahun. 

Padahal, dia berlari 42K pertama kali ialah pada Juli 1983 ketika berusia 33-34 tahun dan mengikuti lomba atau event RESMI maraton pada Desember 1983. Jarak yang teramat jauh jika dibandingkan narasi back cover. 

Saya menduga, penulis back cover menuliskan narasi tersebut keliru memahami atau bisa juga kurang seksama membaca bab 3 (hal. 57). Biang keladi kesalahpahaman ini, mungkin, pada judul bab yaitu “September 2005 ... “ dengan subjudul “Kali pertama berlari 42 km...” dan di dalam artikelnya memang menyebut agenda Haruki yang ingin mengikuti Maraton New York. 

Seperti diburu deadline, penulis back cover begitu saja menyimpulkan bahwa ajang maraton pertamanya Haruki adalah di New York, pada 2005 hehehe. 

Seandainya saja lebih berhati-hati dan tekun menyimak bab tersebut, sebenarnya maksud dari sub judul “Kali pertama berlari 42 km...” ialah mengisahkan pengalaman berlarinya di Athena yang jaraknya mencapai 42K (setara maraton) pada bulan Juli 1983, seperti diceritakannya pada halaman 66. 

KONEKSI IMAJINER 
Pada kesempatan yang lain, kala berlomba bersama ribuan peserta lainnya, Haruki menuturkan adanya koneksi atau ikatan imajiner antarpelari meskipun tak saling kenal. Ia sengaja tak menggunakan diksi rasa "solidaritas" melainkan perasaan hangat (hal. 181) 

Ikatan imajiner itu pula yang saya rasakan saat berlari di manapun. Bahkan saat tidak berlari, seperti sedang mengendarai sepeda motor atau mobil lalu berpapasan dengan seorang pelari, ada dorongan untuk menyapa, menyemangati dan bahkan iri, jealousy hehehe. Anda boleh tertawa tapi untuk memahaminya, Anda harus menjadi pelari. Only runner will understand :D 

Lagi-lagi seolah-olah ingin menjawab penasaran di benak para "bukan-pelari", misalnya mengapa ikut dalam event lari padahal level kecepatan jauh di bawah para atlet, atau mengapa masih berlari saat usia sudah bertambah, Haruki menukas dengan tegas bahwa “... waktu, peringkat dan penampilan luar adalah nomor dua" (hal. 191). 

Dia juga berupaya keras menyeimbangkan antara berlatih, berlomba dan menulis. Karena, tujuannya berolahraga demi mempertahankan kebugaran agar mampu terus menulis novel. Aku berlari maka aku ada, tegas Haruki di ujung alinea kedua pada halaman 126. 

*** 

Membaca buku yang ditulisnya di rentang 2005-2006 ini, saya banyak menemukan hal-hal baik perasaan, pikiran dan pengalaman yang sama. 

Seperti antusiasme yang membuncah ketika berada di antara ratusan-ribuan peserta lomba -saya menyebutnya euforia-, suasana hiruk pikuk di garis start, dan tak jarang disergap kesunyian melankolik saat berlari sendirian pada sesi latihan lari jarak jauh, ketika hanya ada suara kaki berderap bergantian dan siulan angin menyisir pelipis membelai daun telinga serta pikiran-pikiran optimistis yang tiba-tiba menyeruak tentang banyak hal. 

Oiya, jika Anda seorang pelari, membaca buku ini akan terasa menyenangkan karena berada dalam satu ‘orbit’ atau ‘frekwensi’ yang sama dengan sang penulis. Paling tidak, itu yang saya rasakan :)

Bagaimana bagi pembaca yang bukan pelari, yeahhh kemungkinan (besar) bakal terprovokasi untuk mengikat tali sepatu dan mengenakan kaos training pagi-pagi esok hari :D 

Salam mari lari! 

Link artikel yang sama di catatan Facebook saya: https://www.facebook.com/inung.gunarba/posts/10154879654891342

No comments:

Post a Comment