Belajarlah diam karena tak semua harus diteriakkan. Jalan hidup sering tak terkira.
Dan ketika kau di dalam atau ditarik ke dalam, dan kau belum bisa melepas kebiasaanmu, nanti pasti tergagap: tak tahu kapan sebaiknya bersuara, kapan harus mengunci mulut. Atau malah terus bersuara untuk menarik perhatian demi jempol dan komentar.
Saranku, belajarlah diam. Lantas, mungkin kau tanya: bagaimana jika ingin mengurai jengah di benak?
Nasehatku: 1) matikan gawai dan ajak 2-3 kawan untuk meriung di meja makan. Di luar rumah atau undang ke rumah.
Toh dunia ini baik-baik saja meski ditinggal oleh kegelisahanmu, sejenak.
Tumpahkan gundah di depan cangkir-cangkir teh atau kopi. Lisan, dan dengarkan cerita remeh temeh, tapi tak usah menulis notulensi untuk dibiakkan di note Facebook. Biarkan saja.
Kau masih saja mengelak, beralasan tidak punya kawan karena tinggal di tengah hutan, punggung gunung atau pesisir? Maka lanjut ke pilihan ini: 2) bikin blog. Tumpahkan kegelisahan di situ.
Kenapa blog? Karena blog tidak terlalu berisik seperti FB atau twitter. Blog lebih menyendiri, menarik diri dari kerumunan tapi tetap bisa menyimak keadaan.
Apalagi, bukankah melihat dari pinggiran justru melapangkan sudut pandang?
Lakukan saja, pilih salah satu.
Kecuali, jika kamu memang dahaga oleh tepuk tangan maya?
Kecuali, memang ingin selalu berada di tengah kerumunan agar bisa melihat anggukan mereka akan polah tingkahmu?
###
No comments:
Post a Comment