Wednesday, January 18, 2017

Kambing dan Hujan. Tentang cinta dan NU - Muhammadiyah :)



Ini novel, roman tentang cinta anak muda, masa lalu yang menyesakkan dan pergulatan NU-Muhammadiyah di sebuah desa Jawa Timur yang diberi nama kisah, Tegal Centong.

Sudah lama saya tidak membaca novel, terakhir membolak-balik halaman karya sastra jenis ini ialah pertengahan 2015, "Anak-anak Revolusi"-nya Budiman Sudjatmiko.

Novel berikutnya ialah karya Mahfud Ikhwan ini yaitu "Kambing dan Hujan". Saya membacanya dengan bangga, pertama karena novel ini adalah pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014. Kedua, karena penulis adalah kawan saya di komunitas persma UGM, sedikit beda angkatan. Juga di media yang bertetangga, dia di Balairung, saya di Bulaksumur. Hehehe :)

Membaca novel ini, saya seperti tersedot di dalam alurnya. Yeahhh tentang dua anak muda yang bertaut cinta dan ingin menikah. Miftah Abrar dan Nurul Fauzia. Yang lelaki alumni jurusan sejarah dari perguruan tinggi di Jogja, si perempuan lulusan Fakultas Adab, kuliahnya di Surabaya.

Sayang, perbedaan paham agama yang dibalut pula dengan beda masjid, yang disebut Mahfud sebagai Masjid Utara (Muhammadiyah) dan Selatan (NU - Nahdlatul Ulama) menjadi penghalang dan sekaligus menggerakkan cerita menjadi berdenyut dan menghentak.


Sepanjang cerita, terus terang saya juga merasakan takut dan was-was, bagaimana jika hubungan mereka pupus dan gagal menikah.

Asemmm tenan. Di tengah cerita misalnya, ketika keluarga Fauzia kedatangan tamu seorang pengusaha dan politisi muda atau juga saat Pak Nashrullah bertamu ke keluarga Miftah untuk 'menjodohkan' putrinya.

Saya sempat khawatir, syukurlah Mahfud tidak memanjang-manjangkan drama ini :)

Semua memang berakhir happy ending. Namun tuturannya tidak datar. Saya suka ini.

Yang lebih saya sukai ialah momen pertemuan Pak Iskandar dan Pak Fauzan di rumah Pakdhe War. Dialognya mengalir deras, cepat dan 'nyata'.

Saya sempat merutuki dialog itu (hal 343-346). Saya merutukinya lantaran mengapresiasi jeniusnya Mahfud mengemasnya, juga (ini yang sebenarnya) karena saya lega kekhawatiran sepanjang membaca roman tidak terjadi.

KOPI
Ada beberapa kutipan yang bagi saya terbilang mengena. Seperti 'jangan menyuguhkan kopi dengan menyiramkan ke muka.' (Hal 167 dan ditegaskan lagi di hal 178).

Itu merupakan kiasan bahwa memberi nasehat pun mesti dilakukan dengan empati. 'Bukankah sebaik-baiknya nasehat adalah nasehat yang disampaikan dengan baik pula.'

Pada halaman lain juga dikatakan 'cara kadang tidak kalah pentingnya dengan tujuan' (hal 166).

PERSETERUAN dan DRUMBAND
Soal persaingan NU dan Muhammadiyah juga disajikan menarik. Alih-alih bergaya orasi dan jualan satu sama lain, Mahfud menuturkan perbedaan keduanya dengan lincah dan ringan.

Semua ikon perbedaan dituturkan dengan jenaka. Saya pun seperti diingatkan kembali pada olok-olokan khas seperti diucapkan kawan di kampung dan antar aktivis kampus.

Begitu pula tentang shalat subuh dengan qunut dan tanpa qunut, bacaan niat shalat, juga puasa, tahiyyat (kalau saya tidak keliru hehehe), tahlilan, shalawatan, kenduri, ziarah kubur, adzan dua kali saat shalat Jumat dll.

Ada pula tentang keberadaan bedug dan tongkat untuk khotib di masjid. Juga soal 'dikit-dikit bid'ah, dikit-dikit bid'ah' dan 'pendangkalan serta pembelokan akidah'.

Saya juga ngakak ketika olokan sampai juga pada sindiran menyoal sekolah di lingkungan paham yang berbeda itu: 'jangan sampai jadi murid yang tidak bisa berhitung dan lemah dalam ilmu pasti'. Yang lalu dibalas: 'jangan mau kalau bisanya cuma drumband'. Wkwkwkwkkkk... :D

RAMADHAN dan LEBARAN
Seperti yang saya ketahui dan rasakan, ikon perbedaan NU dan Muhammadiyah lainnya dan sekaligus menjadi hal klasik (dan berulang) ialah penentuan 1 Syawal sebagai penentu dari hari raya idul fitri dan sekaligus hari terakhir puasa, plus tarawih terakhir.

Sebagai ikon 'utama', soal lebaran ini ditempatkan dengan pintar sebagai alur cerita di ujung-ujung roman, mulai bab III hal 229. Kembali lagi hangatnya perbincangan penentuan  1 Syawal apakah dengan hisab Muhammadiyah) dan rukyat (NU) mengemuka.

Kegalauan perbedaan 1 Syawal juga dipoles secara personal. Ada kejujuran yang terpendam bahwa sebenarnya kedua 'kubu' lebih menyukai jika Lebaran jatuh pada hari yang sama.

Tentu sejuk kan jika gemuruh takbir yang meramaikan langit desa dikumandangkan sejak maghrib yang sama. Tak ada satu merayakan lebaran sedangkan saudaranya masih puasa. Tak ada sindiran haram karena masih berpuasa di hari raya.

Novel ini, roman terbitan Bentang Pustaka Yogyakarta ini, saya bayangkan memang cocok dibaca di bulan Ramadhan. Ada nuansa yang pas, atmosfer yang teduh dan hisapan cerita yang menjerat kita untuk terus dan terus meniti tiap kata tiap jengkal kalimat.

Saya sendiri merampungkan 373 halamannya dalam 3 hari. Awalnya mengira akan selesai selama sepekan dan menargetkan paling cepat dalam empat hari. Alhamdulillah, ternyata lebih lekas lagi :)

Nah, Anda ingin teman bacaan sastra yang cerdas, menghibur, membuka wawasan, pikiran terbuka, ringan tapi tidak enteng-enteng belaka?

Yang bisa membuat dada berdegub, merasakan sesak oleh himpitan cinta dan harapan yang digantung? Juga cerita yang nyaris membuat menangis dan sekaligus terbahak? Roman ini dapat menjadi sahabat Anda :)

#kambingdanhujan #roman #novel

Catatan: roman ini juga menjadi koleksi perpustakaan rumah kami, semoga kelak anak kami juga membaca-menikmati hasil karya kawan Ayahnya, aamiin :)




1 comment:

  1. kang, aku tertarik buku ini dari dosenku. pengen beli, sepertinya ceritanya bagus dan bisa jadi membongkar perbincangan 'tabu' soal perseteruan NU muhammadiyah hehehe.

    aku tertarik juga karena sdh banyak resensinya di koran- koran.

    suwun

    ReplyDelete