Tuesday, April 27, 2010

Kaya

Perasaan kaya itu memang subyektif. Meski umumnya kaya diasosiasikan dengan seberapa banyak kita meraup duit, harta dan properti.

Seseorang pun bisa merasa kaya dari perolehan yang kecil jika dinilai dalam rupiah atau sederhana dalam artian properti.

Saya sendiri beberapa kali merasa kaya. Berapa kali tepatnya dan bagaimana urutannya pun saya tidak hapal. Mungkin karena memang subyektif. Lha wong namanya saja perasaan, masak dihitung dengan deret ukur hehehe.

Seingat saya, ketika tulisan pertama saya,  ‘Ukhuwah dalam Kampanye Parpol’ nampang di harian New York Post Bernas yang terbit di Jogja, nun di suatu jumat tahun 1999, saya senang sekali.

Kemudian, senin minggu depannya saya mengambil honor Rp 20.000,-.

Wuih, saya sangat kaya... eh merasa sangat kaya waktu itu.

Dari duit segitu saya, beli coklat Kitkat. Oya, waktu itu memang saya pengen banget beli coklat itu karena tergoda oleh iklannya lagi santer-santernya tayang di teve, tagline-nya, “Ada break ada Kitkat.”


Resensi

Setelah itu, perasaan kaya juga membuat saresensi saya dari buku ‘Para Super Kaya Indonesia’ karya Veven Sp. Wardhana dan Herry Barus, juga nongol di media yang sama pada Maret 2000.

Sejatinya, buku itu pinjaman dari Hery Trianto, kawan sekampus di Fisipol UGM. Waktu itu kami aktif di pers kampus, saya di surat kabar mahasiswa Bulaksumur dan Hery di majalah Balairung

Kalau tidak salah ingat, tahun-tahun itu dia menjadi pemimpin redaksi Balairung. Kini Hery nyaman berkarier di salah satu harian bisnis terbesar sebagai redaktur. O iya, kami dulu satu kelompok magang ketika masa rekruitmen di Bulaksumur dan Balairung, Oktober 1996.

Saya baca buku dan menulis resensinya di Pondok Bambu, Jakarta. Setelah pulang ke Jogja, baru saya kirim ke Bernas.

PC

Setelah itu, saya tak ingat lagi kapan saya merasa kaya lagi. Mungkin tak terhitung lagi dan bukannya lupa bersyukur hehehe.

Ketika saya memiliki satu unit PC bekas, Mei 2009, saya juga kembali merasa kaya. Tak perlu lagi saya ke rental komputer, warnet atau numpang di komputer kawan.

PC itu saya beli dari kawan saya ‘Haji’ Redon, tuan tanah dari Cawang xixixi piss bro. Lumayanlah, Pentium Dual Core itu membantu saya dan istri jika menuntaskan pekerjaan kantor di rumah.

9300

Puji syukur juga saya panjatkan, qeqeqe, ketika membawa pulang Nokia 9300 (lagi-lagi seken alias second bin bekas) seharga Rp 800 ribu dari salah satu toko Roxy, Oktober tahun lalu.

Di gerai lainnya, di Roxy juga, pedagang pasang harga Rp 1,2 jeti.

Saya merasa kaya, karena saya sudah lama ingin beli HP ini untuk membantu saya bekerja mengetik liputan. Dengan HP ini pula saya bisa mengemailnya langsung ke kantor.














Jutaan ke ratusan ribu

Smartphone itu mentereng banget hingga kini pada jamannnya xD ketika di launching pada 2004 *waksss* banderolnya Rp 7 jeti. Wajar kalau sebutannya 'handphone-nya para menteri, direktur dan eksmud'..

Kalau dibandingin dengan sekarang, demam-demamnya persis Blackbery-lah.

Oya, HP bongsor yang masih kompatibel dengan teknologi web sekarang ini, juga pernah membuat saya tutup mulut soal harga belinya yang Rp 800 ribu itu.

Pasalnya, ketika nongkrong di salah satu kementerian di kawasan Monas, seorang kawan jurnalis bercerita bahwa 9300 miliknya dia beli dalam keadaan gress alias baru.

“Harganya Rp 7 juta pas, begitu ini keluar tahun 2004,” katanya bangga sambil menimang smartphone itu.

Saya menimpalinya dengan melongo dan celetukan pendek, “Oooo…, awet dong.” qe3

Tak tega rasanya menyebut harga beli 9300 seken saya. Kali ini saya merasa kaya sekaligus beruntung. *_*

No comments:

Post a Comment