Monday, October 25, 2010

Mujiono



Ketika lelaki 78 tahun menunjuk rumah lamanya, saya memicingkan mata sepersekian detik. Bukan karena silau, toh matahari bersembunyi di balik rimbun pelepah sawit.

Di sudut kabupaten Muaro Jambi, tepatnya desa Bukit Baling, Sekernan,  provinsi Jambi, Mbah Mujiono menyambut kami dengan senyum santun. Di lantai rumah berlapis keramik putih, obrolan hangat ditemani beberapa petani sawit lain. 

Sebelumnya, perjalanan 65 kilometer kami tempuh selama 2 jam melalui aspal hotmik mulus. Jika saja aspal berlubang seperti jejalanan Jakarta atau jalur Pantura Jawa, tentu pinggang terasa penat meski suspensi Mitsubihi Strada double cabin mantap meredam guncangan.

“Ganti nasib, bukan cuma jadi lebih baik,” kata mbah Muji, sapaan akrabnya, sambil membalikkan telapak tangan. Ia terkekeh meski saya melihat berkas kaca di matanya. 

“Itu rumah mbah dulu waktu pertama kali tinggal disini. Saya biarkan begitu buat kenangan sejarah,” lanjutnya merujuk rumah di seberang jalan. Yang ia sebut rumah bukanlah bekas bangunan batubata dengan atap genteng atau seng.


Sekilas memang bisa terlihat ciri-ciri rumah. Itupun karena tiang-tiang inti masih menopang rangka atap tanpa penutup. Ia memilih kayu bulat bukan karena kekuatannya, tapi karena saat itu Bukit Baling masih berupa hutan rimba. Atapnya pun berupa rumbia yang bisa ia peroleh semudah kayu bulat.

Tahun 1988 Mbah Muji menetap di desa ini setelah meninggalkan kampung halaman di kaki perbukitan Menoreh, Samigaluh, Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika kita pernah mendengar transmigran swakarsa, mungkin ini tepat untuk menggambarkan pilihan hidupnya.

Ia bertutur, jangan dibayangkan bisa segera bercocok tanam. Bersama warga lainnya, ia babad alas. Maksudnya, membuka lahan dengan menebang pohon hingga sampai ke akar dan tonggaknya. Tentu bukan pekerjaan mudah karena alat yang dipakai hanyalah kapak dan cangkul tanpa gergaji mesin apalagi buldozer atau back-hoe.

Awalnya ia menanami lahan 4 hektar dengan karet. Mengejar hasil sadapan, keringatnya sudah menderas ketika Subuh masih menggigil. Hari masih gelap, bulan purnama pun tak bakal menembus rimbun dedaunan karet. Ia hanya mengandalkan mata yang awas dan berharap tidak bertemu dengan binatang buas seperti babi hutan, harimau, gajah, piton atau kobra.

Belasan tahun bergelut dengan getah karet, memikulnya ke bandar untuk ditimbang dan menerima uang penjualan dari tengkulak, petani seperti dirinya hanya bisa menghela nafas: tentusaja bersyukur dan berharap harga karet membaik.

Betul jika harga karet bisa membaik, setelah menurun. Kita yang doyan membaca koran ekonomi menyebutnya fluktuasi harga.

Sayang, itu hanya angka statistik yang dipelototi eksportir dan broker-broker bursa komoditi. Tak ada rupiah yang menetes ke kantong lusuh mbah Muji dari pergerakan harga karet di  pasar dunia.

***
“Tahun 1994 atau 1995, mbah dan warga di Sekernan mulai mendengar kelapa sawit. Yang buka (membangun) perusahaan perkebunan. Kita ditawari tapi awalnya ragu. Kita nggak kenal apa itu sawit,” katanya mengenang.

Perusahaan, lanjutnya, menawarkan kerja sama inti-plasma. Maksudnya, perusahaan kebun sebagai induk dan memberi pinjaman membangun kebun, pembinaan serta bantuan teknis dana bagi petani yang mau bertanam sawit. Sedangkan lahan memang hak milik petani.

Imbal baliknya, buah sawit yang lazim disebut tandan buah segar (TBS) dijual kepada perusahaan inti. Patokan harga ditentukan dari kesepakatan perwakilan petani, pengusaha dan dinas perkebunan setempat. 

“Awalnya kami ragu. Bagaimana tidak, kami mesti mengganti karet yang sudah bisa disadap dengan sawit yang uangnya dari pinjaman perusahaan. Bagaimana kalau tidak menghasilkan, dari mana kami melunasi sedangkan karet sudah telanjur ditebang,” paparnya.

Ia masih mengingat betul, butuh waktu dua tahun bagi warga untuk menerima tawaran perusahaan.

“1996, kami mulai menebas karet dan menanam benih sawit kualitas nomer 1,” katanya. “Mbah Putri sampai nangis gero-gero waktu karet pertama ditebang,” lanjutnya meringis.

Bukan hanya soal hitung-hitungan angka yang sejatinya berupa masih perkiraan atau estimasi investasi kebun, yang membuat petani memutuskan menanam sawit.

“Asisten kebun dari perusahaan telaten menerangkan pada kami segala sesuatu tentang sawit. Pendekatannya dari hati ke hati. Kami merasa di-uwongke,” katanya merujuk pendekatan yang manusiawi tanpa merasa digurui.

Saya pun melihat demikian, Pak Surya sang asisten kebun, akrab ditengah-tengah obrolan. Pak Surya adalah sudah menjadi keluarga kami, ungkap Mbah Muji tanpa bermaksud menyanjung. Yang disinggung tertunduk berusaha menyembunyikan senyumnya.

Sawit termasuk tanaman tahunan, butuh waktu 3-4 tahun untuk menetaskan berondol tandan buah segar pertamanya. 

Selama itu pula, mereka bekerja keras ngerondap atau membersihkan gulma dan semak, membangun pagar keliling kebun dan pagar setiap benih agar aman dari sebuan babi hutan. Panen perdana yang masih jauh, mereka siasati dengan mengandalkan upah merawat kebun inti.

“Ya ganti nasib!” katanya menegaskan lagi ketika saya kembali bertanya maksudnya.

“Mbah mesti wis keleleran jika dulu nggak ganti ke sawit. Entah kemano, balek ke Jawa atau malah ndak biso kemano-mano di rumah itu,” ungkapnya menggunakan dialek Jambi campur baur dengan bahasa Jawa.

Saya bisa merasakan, keputusannya mantap berkebun sawit tentu bukan perkara gampang. Taruhannya besar. Toh ia jalan terus dan berhasil. Saya jadi ingat buku best-seller lansiran Rhenald Kasali, Change. Intinya, berubah atau mati (bisnis kita). 

Dan, petani plasma sawit telah melakukan prinsip buku itu, jauh sebelum bang Rhenald mulai mengetikkan huruf pertama buku itu. Qeqeqe.

Kini, usia tanaman sawitnya dan petani plasma lainnya sudah 16 tahun. Hingga umur 25 tahun nanti, sawit masih bisa berproduksi sebelum replanting atau ditebang habis dan mulai dengan bibit baru.

Dengan panen setiap 15 hari sekali, gaji petani plasma mencapai Rp 10-15 juta per bulan. Hutang pada perusahaan inti telah lunas pada tahun ke tujuh, jauh lebih awal dari perkiraan awal 10 tahun. Lahan kebun pun telah bersertifikat atas nama petani plasma.

Eits, tadi disebut gaji? Ya, istilah yang dipakai memang gaji. Waktu penerimaan pun disebut hari gajian. Tak beda dengan PNS, karyawan swasta atau aktivis LSM qe3 

Dalam hati, saya bergumam, “Istilahnya sih sama, tapi ehm… kok nominalnya jauh banget ya, qeqeqe.” Saya terkekeh juga di rongga batin, membayangkan senyum kecut sampeyan yang membaca oleh-oleh cerita ini. :D


Dari pendapatan itulah, petani seperti Mbah Muji bisa mencukupi hidup di perantauan. Bahkan lebih. Rumah permanen yang sehat dibangun, pendidikan anak-anak membaik dan mampu mengembangkan usaha lainnya seperti toko sembako.

Selain kendaraan operasional perusahaan inti, saya juga sering berpapasan dengan mobil milik petani sawit. Kebanyakan jenis mobil yang sanggup melibas tanah perkebunan seperti truk diesel, pick-up jenis Hiline, serta double cabin semacam Strada dan Ford Ranger.

"Baru kemarin simbok di Samigaluh nelpon hape, minta dikirimin duit. Katanya, buat beli kasur hehehe," katanya. Simbok yang ia maksud adalah ibu kandung mbah Muji yang tinggal di Kulon Progo. Hasil kebun juga memungkinkan mereka menafkahi keluarga di kampung halaman.

Rumah lama mbah Muji (kiri) dan rumah baru di seberang jalan (kanan)

***
Pada hari gajian yang jatuh setiap tanggal 30, mereka menerima uang penjualan dari perusahaan inti. Berkumpul di balai kelompok tani, kesempatan itu dimanfaatkan pula untuk tukar pikiran dengan asisten kebun.

“Kita lebih banyak memberi informasi berdasarkan masukan dari petani. Jadi solusinya lebih mengena dan gampang dipraktikkan,” ulas Pak Surya Wiraatmaja, asisten kebun perusahaan inti. Seperti diakui oleh mbah Muji, askeb sigap menjawab pertanyaan dan gampang berbagi ilmu.

Jika harga sawit membaik, mereka bisa menerima pendapatan lebih dari itu. Berlipat malah. Tahun 2006 merupakan rekor tertinggi karena Rp 35 juta sebulan nyemplung ke kantong baju yang tak lagi lusuh.

Selepas dari kediaman Mbah Muji, saya diantar ke kandang sapi warga. Kebetulan mbah Muji mengantar ke kandang milik Rozak, sekretaris kelompok tani Sido Maju yang Mbah Muji ketuai.

Rozak adalah salah satu penerima bantuan sapi sebanyak total 165 ekor yang diberikan Dirjen Perkebunan  pada 2006 (60 ekor) dan 2009 (105 ekor).

Di rumah sederhana petani kelahiran Jombang, Jawa Timur itu, saya melongok instalasi biogas dari kotoran sapi. Melalui bak penampung, kotoran lantas mengalir ke tandon biogas berbentuk setengah bola bergaris tengah 1.5 meter. Di bawah tanah, pipa pralon sebesar 3 jari mengantar gas ke kompor yang telah dimodifikasi. 

Dari situ, keluarga Rozak memasak dan menjerang air. Gratis dan 24 jam, tanpa was-was meleduk seperti saudara sebangsa se-Tanah Air kita yang menggunakan elpiji melon 3 kilogram.

***
Ketika gaung ashar tak terdengar lagi, mobil gardan ganda yang dinahkodai bang Buyung kembali melewati rumah Mbah Muji sebelum menginjak aspal Jalur Lintas Timur Sumatera, kembali ke Jambi.

Saya menengok ke samping. Tiang kayu bulat rumah itu, atau tepatnya bekas rumah, kokoh menopang rangka atap.

Sekokoh monumen-monumen di kota besar. Mungkin sama lusuhnya tapi nun di pelosok Jambi, situs perjuangan hidup itu jauh lebih bermakna. Bagi mbah Muji. Bagi saya.***

 Dari kiri atas searah jarum jam:
+ Mbah Muji dan mas Rozak di rumah mas Rozak
+ Saya (baju belang-belang bukan permen) bersama putra sulung (kaus singlet putih) dan menantu mbah Muji di depan depan rumah mbah Muji. Kami sebelumnya ngobrol di teras rumah.
+ Sapi milik petani plasma bantuan dari pemerintah, setiap KK mendapat 3 ekor sapi. Beberapa keluarga menggembalakan sapi bersama untuk efisiensi sehingga kepala keluarga yang tidak mendapat giliran menggembalakan, dapat merawat kebun.
+ Lha, ini saya dengan Mitsubishi Strada 4WD Turbo yang mengantar keliling kebun qe3 dengan driver tangguh bang Buyung, kelahiran Jambi berdarah Padang.



Terusss, oleh-oleh lainnya mane neh?
Nah, monggo dinikmati tapi cuma bisa dilihat sepuasnya, Pempek "SELAMAT" dari Jambi yang bukan dari Palembang :D Salam blogger!


27 comments:

  1. gaji segitu untuk petani sebagai pemilik lahan atau petani yang buruh tani ya? enak juga bisnis sawit. :)

    ReplyDelete
  2. jerih payah dan semangat dalam merubah nasib telah membuahkan hasil. Bahwa Allah tidak akan mengubah nasib seseorang kalau yang bersangkutan tidak berusaha merubahnya. dan mBah Muji buktinya.
    suwun sharenya Kang. Met bertugas

    ReplyDelete
  3. + ReBorn: lahan milik mereka sendiri, bro. Eits, ini bukan bisnis jual-beli, kita mesti menggarap kebun langsung. Pastikan kita kuat melawan pegel linu, rematik dan asam urat qe3

    +Bro Pakies: trims kang, butuh keberanian dan kerja keras. :)

    ReplyDelete
  4. haalaaaah..... kok ya aku mau empek2nya.... dar jambi ga pa-pa..wkwkwkwkwkwk

    hmmm.... itulah pelajaran hidup mas, sama seperti yg aku alami disini, yg katanya dulu aku orang kota-red, sekarang aku sangat menikmati hidup di dunia yg damai ini, dunia perdesaan dengan hawa pergunungan.

    Dulu orang bilang, aku mesti mengajarkan kepada orang-orang yang disebut orang desa, eeeh... malah kebalik.... aku sekarang yg banyak belajar dari mereka. Belajar kegigihan, belajar hidup susah tapi tetap dengan senyum yang mengembang... jarang toh kita dapati di kota.

    Sekarang aku juga sedang belajar berkebun, tapi eeitttsss... masih tahap di dunia maya..wkwkwkwkwk...... Ciayooo!!!!!!! Indonesia memang Hebat!!!

    ReplyDelete
  5. ^pak inung
    tapi pada akhirnya jual beli toh, pak? kebetulan ayah saya buka lahan juga. tapi bukan sawit. pantesan bokap awet muda, tiap ari olah raga. ghahaha.

    ReplyDelete
  6. wah kisah luar biasa
    sebagai inspirasi kita... :)
    niat yang ikhlas, keinginan dan usaha yang kuat
    akhirnya berbuah kesuksesan
    ^^
    keren postingnya ^^

    ReplyDelete
  7. "ganti nasib..." hehe..
    trus kebayang pula dengan dialek jambi dicampur bahas jawa...heheh...

    keren ya..ini sebagai contoh bagi kita semua, sangat inspiratif...:)
    wah..ga bs nyicip mpek2nya ya..krn cm bs diliat doang..hihihi..

    ReplyDelete
  8. + Nyanyu: di Jambi, pempek Selamat tetanggan ama pempek Sumsel qe3 beraso beda, lebih kerasa tenggirinya daripada Candy :)

    + ReBorn: bisa mbayangin ribunnya kebun dan telatennya bokap qe3

    +Chikarei : trims banget udah mampir :)gigihnya itu lho, apalagi mbah Muji pindah ke Jambi sudah lumayan berumur

    +mbak Windflower: Mbah Muji kaget juga tahu kalau aku juga dari Jogja qe3 ngobrolnya malah pake pake Jawa halus :D

    ReplyDelete
  9. mbah Muji hebat kawand.
    patut dijadika tauladan

    ReplyDelete
  10. Baru pertama kali ini saya baca kisah transmigran bisa juga jadi kaya dengan menjadi peladang. Bagus sekali kisahnya, Pak Inung.

    ReplyDelete
  11. pejuangan keras yang membuahkan hasiL, merupakan suatu cerminan seorang petani yang berhasiL untuk memperbaiki kehidupannya. apapun bidang pekerjaan yang digeLuti, biLa diLakukan dengan ketekunan kerja dan rajin berdoa insya Allah akan mengikuti keberhasiLan jejak Langkah beLiau.

    sekarang beLiau sudah ganti nasib, terLihat senyum yang manis dari seorang kakek jutawan. jadi iri sama keberhasiLannya nih, hihihi...

    ReplyDelete
  12. perjuangan dan pengorbanan yang tidak sia-sia yang telah membuahkan hasil, berkat jerih payah yang tiada henti.
    Bisa jadi teladan yang baik nih ...

    ReplyDelete
  13. Sebuah kisah yg sangat menginspirasi

    ReplyDelete
  14. Terakhirnya itu loh yang bikin aku jadi pingin.

    ReplyDelete
  15. sawit itu prospeknya apa besar kang ya

    ReplyDelete
  16. wow gaji bertani sawit bs sampai 35jt hihihi tp pasti si mbah mujiono jg dgn perjuangan untukk dptin uang sgtu ya ^^

    ReplyDelete
  17. + All sahabat Halaman Samping:
    Jauh-jauh dari Jakarta, ternyata saya nggak hanya liputan tapi belajar tentang kegigihan dan keberanian menentukan pilihan. Termasuk menanggung risiko.

    Prospek sawit seperti halnya komoditi lainnya, dipengaruhi pasar dunia, meski menurut saya, sawit stabil.

    Sawit di tanam di daerah khatulistiwa, rentang 15 derajat di utara dan selatan equator. Di Indonesia banyak terdapat di Sumatera dan Kalimantan. Juga Sulawesi hingga Papua.

    Di Jawa juga ada di Banten, Pandeglang, Sukabumi dan kab Bogor. Di jawa diusahakan oleh PTPN.

    Sedangkan di luar Jawa, diusahakan semua segmen termasuk kita qe3 maksudnya bukan hanya perusahaan yang beribu-ribu ha.

    Lahan sawit dikenal dalam hitunan 1 kavling= 2 hektare/ha.

    Buku soal sawit termasuk kalkulasi bisnis banyak terdapat di toko buku. Kita bisa mengelola langsung atau dikelola penggarap atau lewat koperasi.

    banyak pula tawaran jual-beli lahan sawit dalam hitungan satuan kavling. harga bervariasi. Saya pernah dengar satu kavling ditawarkan Rp 60 juta. pernah juga ada lahanyang ditawar Rp 120 juta tapi tidak dilepas.

    Variabelnya tentu soal kualitas kebun, panenan dan lokasi.

    Salam blogger!

    ReplyDelete
  18. asswrwb...luar biasa...cerita yg sgt bgs mas....weehh kadang utk merubah haluan bisnis kita, dibutuhkan keberanian yg sgt2 bsr,krn kekhawatiran akn terjd kegagalan, apalagi stlh mengalami kegagalan berkali2.., jd tmbh berhati2 lg..But, cerita di ats bs memberikan dorongan keberanian uar biasa, dan pembuktian, bahwaTuhan tdk akn merubah nasib seseorang, apabila org tsb tdk mau/berusaha u merubahnya sndr...salut u mbah Muji, n yg terakhir...weleh2...empek2nya bikin ngiler...tes...tes..hehe

    ReplyDelete
  19. wow nice and helpful info, nice blog. good luck always
    sprei

    ReplyDelete
  20. thaks gan infonya bagus dan bermanfaat

    ReplyDelete
  21. Tulisannya sangaddd indhah, hehehe,
    saya sebagai generasi muda pribumi melayu jambi merasa malu dengan ribuan anak rantau yg berhasil sukses di ranah jambi ini,
    lha sementara saya seng n0tabenenya dari nenek m0yang orang melayu jambi asli, tpi belum sukses2 jg, hehe
    m0h0n d0anya. .

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, om Ones. Saya juga malu, lebih memilih merantau ke Ibukota, tapi saudara-saudara kita berani menyerusuk ke hutan dan kebun :) salam dari seberang Monas +_*

      Delete
    2. Amien, semoga om Ones sukses. Semangads :)

      Delete