Sunday, September 7, 2008

Kucing Garong Nyaris Dapet Tongkol

Layar kaca Sharp berkedip-kedip sejurus jemariku memencet remote control. Seorang kawan laki-laki melintas di ruang tengah dan bertanya basa-basi.

“Lagi santai nih?” tanyanya melambatkan langkahnya menuju ruang sebelah.

“Iya nih. Tapi acara TV-nya nggak ada yang menarik,” jawabku tanpa menoleh.

“Metro dong, presenternya cantik-cantik,” katanya menyentil seleraku.

“Lagi nggak cari yang cantik. Yang manis saja, kayak yang disini nih,” kataku merujuk pada gadis manis yang dari tadi membaca koran di samping depanku, membelakangi layar kaca, sama-sama duduk lesehan di ruang tv ini. Ia sekarang di desk ekonomi sedangkan aku di desk sosial budaya.

Kawan laki-lakiku segera berlalu setelah sebelumnya menyeru, halah! Aku terkekeh.

Si gadis manis mengangkat dagunya. Memandangku sejenak dan meruncingkan bibir seksinya seperti biasa jika ia akan mulai bicara. Cumipok, kata orang. Menggoda untuk dicium, kira-kira begitu artinya. Jangan coba mencari arti baku di kamus. Kalau primbon mungkin ada.

“Sudahlah Mas!” katanya. Matanya seperti menusuk lembut. Mau tak mau, tidak bisa tidak, aku memainkan sudut mata ke arahnya. Mulutku menyeringai siap membalasnya dengan godaan atau lebih tepatnya rayuan, seperti biasanya.

Rupanya ia lebih sigap dan mendahului gerakan bibirku.

“Sudahlah,” ulangnya lagi, “Enggak usah kucing-kucingan lagi!”

Aku tidak menanggapinya dengan verbal. Bibirku menyungging dengan sedikit menarik bibir bawah ke dalam yang membuat bibir atas terdorong maju sedikit. Memonyong, menirukan gerakan bibirnya tadi. Ia balas tersenyum. Seolah tak peduli, kembali membaca koran yang ia letakkan di karpet. Memberi kesempatan mata laki-lakiku mengelus rambut lebatnya yang berbando merah. Juga, menuntun bola mataku sekilas menelusuri belahan di balik kaosnya begitu ia menunduk. Tanpa mengangkat dagu, menegakkan punggungnya sebentar, dan seperti mampu membaca isi kepalaku, ia melirihkan suaranya, “Nggak ah. Kata ... (sekarang akuntan publik di Malang), kamu jalang. Cape deh!”

Aku terkekeh menutupi kaget campur gondok. Seperti kucing nemu tongkol keburu ketahuan empunya. Demikian AW, karibku berkisah ‘nasib malangnya’ jelang sahur tadi.***

2 comments: