Wednesday, February 3, 2010

Hoiii... Gua Ndak Doyan Amplop!!!


Hoii... Aku tidak mau menerima uangmu!!!


Sebagian dari kita berani teguh di satu titik ketika dunia terus berputar.

Dua pekerja media duduk berhadapan menekur di depan netbook mereka. Meja lebar memanjakan mereka untuk menaruh cemilan dan fotokopian materi berita.

Di ruang yang sama, press room sebuah departemen di bilangan Kuningan, tiga kawan sejawat tekun menyimak Gayus Lumbuun berbalas kata melawan Ruhut Sitompul lewat TV Samsung 21 inchi.

Dua orang lagi sibuk dengan Communicator dan Blackberry. Sambil asyik dengan masing-masing layar gadget, mereka bertujuh ngobrol tanpa ujung pangkal, berceracau begitu saja. Tentu saja, tangan mereka tak lupa berminyak oleh 3 jenis cemilan: Happytos, Potato dan kerupuk bangka.

Salah satu wartawan ber netbook tadi, nyaring suaranya paling dominan di ruang 4x7meter itu. Tembok tanpa wallpaper mendengungkan suara altonya. Kebetulan, lengkingnya memang pas dengan media tempat ia bekerja: kritis dan galak.

Kawannya di seberang lebih banyak cekikikan dengan YMnya. Sesekali menimpali tapi terdiam begitu enam karibnya menyentil soal tayangan di TV. Skandal bank dan politik agak berjarak untuk mendapat perhatiannya sebagai reporter media online dan ngepos bukan di Lapangan Banteng atau Senayan.

Satu fragmen obrolan antara dua pekerja media yang asyik dengan laptop mininya tiba-tiba menarik disimak. Ketika itu, si wartawan bervokal alto berceloteh soal liputan bareng ke luar daerah Januari lalu. Kala itu liputan mereka atas undangan sebuah perusahaan multinasional rekanan departemen yang menggurita di Tanah Air.

Intinya, ia mengaku menolak mentah-mentah duit 'insentif liputan' atau lebih gampang disebut 'amplop' dari perusahaan itu. Karibnya, mendongak sesaat dari YMnya. Membenarkan dan menyebut uang semacam itu bikin masalah. Mending ditolak, katanya dan dibenarkan oleh temannya di seberang meja.

Mereka juga tahu jumlah rupiah di dalam amplop, bisa buat beli Blackberry Javelin atau Netbook HP plus modem. Wuihh... Bukan jumlah yang sedikit.

Yang mencolok, intonasi suara mereka meninggi ketika menyebut, 'mending ditolak', dan 'gak sudi makan duit mereka'. Seolah, gendang telinga penghuni pressroom harus jelas-jelas mendengar penyikapan mereka.

Sejurus dengan obrolan mereka berdua yang menyeruak di tengah obrolan soal Century, kelima kawan mereka terdiam.

Dua diantaranya yang membelakangi mereka, saling melirik dan nyengir. Satu lagi memperbaiki posisi duduknya yang sejatinya sudah posisi uennaaak. Gerah.

Dua sisanya saling menendang kaki satu sama lain di bawah meja dan memasang muka cuek.

Dua wartawan 'anti amplop' terus berkicau soal liputan ke luar kota tadi. Sinis makin terlihat di muka mereka.

Obrolan pun berujung pada soal, menurut mereka berdua, staf humas perusahaan terus saja mendekati mereka hingga hari terakhir liputan. Konon, mereka lebih memilih menghindar daripada terkontaminasi oleh kedekatan basa-basi sang staf.

Kali ini, kelima kawannya makin pintar bagaimana memasang ekspresi seolah tidak mendengar obrolan kritis dua teman seprofesi mereka yang berbeda media.


*** Senayan

Di ruang meeting eksklusif di sudut mall di bilangan Senayan, asap rokok memenuhi langit-langit. Empat redaktur duduk di sofa coklat terang. Dua di antara mereka adalah atasan reporter tadi.

Dua meja yang sebelumnya terpisah dijejer berhimpit untuk menopang tiga laptop mereka. Seorang tak membuka laptopnya, memilih tetap menyimpannya di tas Rei-nya.

Perbincangan santai soal progres plot pencitraan perusahaan yang diliput para reporter itu, di empat media tempat mereka bekerja: tiga media cetak dan satu stasiun televisi.

Tentu saja, salah satu bahasan adalah hasil liputan reporter mereka masing-masing Januari kemarin. Tampaknya, soal liputan itu bukan termasuk penting. Pokoknya, media yang mendapat plot pencitraan sudah sukses menunjukkan komitmen pada si klien, perusahaan farmasi itu, dengan mengirim reporter. Itu saja.

Tak ada bahasan soal materi liputan nan kritis yang didapat para reporter. Semua aman, kata salah satu redaktur. Maksudnya, berita yang mengulas runtut telah dimuat dan sudah ditunjukkan pada vice presiden perusahaan.

Tak sampai lima menit, obrolan berallih pada tema kampanye perusahaan yang bakal diusung sebagai step berikutnya.


***Salut

Di bawah langit Jakarta dengan tebaran kabar berita, dua wartawan melangkah mantap di lobby sebuah departemen di bilangan Kuningan.

Secara individu, idealisme profesi mereka panggul kuat-kuat, ketika tanpa mereka tahu, media tempat bekerja telah terbeli. Atau, mereka memilih tutup mata.***

Salam dari Kebayoran, tabik hormat untukmu kawan!

No comments:

Post a Comment