Hari ini Omm Janu memanggil anak-anak lagi. Pesannya singkat: Manggala Wanabakti, Minggu, 5 Februari 1989, jam 7 malam. Standby jam 5.
"Jangan telat dan baju bersih," ujar Teguh mengingatkanku lisan.
Asyikkk... Batinku terpekik. Job jadi pelayan di acara resepsi minggu ini akhirnya terisi. Aku sempat khawatir karena sampai Jumat ini tidak ada kabar baik.
Apalagi, Manggala, gedung yang di kompleks Departemen Kehutanan itu, salah satu tempat favorit anak-anak. Bukan soal auditoriumnya yang luas dan fasilitasnya komplit. Itu mah urusannya si penyewa gedung.
Buat kami gedung seperti Manggala yang memiliki banyak sudut-sudut tersembunyi dan banyak ruangan lah yang masuk kriteria favorit.
Di tengah acara resepsi, kami sering atau sebut aja kadang kala, menghindar dari tanggung jawab: kabur ke teras masjid yang berjarak 2 unit gedung sambil mengunyah lemper atau menenteng nasi kuning plus ayam goreng garing sebelumnya.
Jangan tanya ayam crispy atau french fries karena waktu itu baru ada ayam tepung dan perkedel.
Kalau mau jujur, bolehlah disebut kami bandel. Cuma, kalau boleh pake alasan, yah gimana kami tidak 'iseng' kalau berangkat dari Ciputat perutku kosong dari pagi.
Atau, seperti Abduh yang tersuruk-suruk kelaparan dari Depok, lantas mengantar nasi, sayur sop sampai ice cream untuk tetamu. Si perut yang keroncongan, demi melihat sang tangan mengulurkan hidangan pasti berteriak soal keadilan.
Jadilah kami menunduk-nunduk mengunyah yang sempat kami embat di sekitar tempat acara.
Oh ya, kalau disebut kami meninggalkan tanggung jawab, sejatinya kami tetap melakukan kewajiban. Hari Minggu itu aku dan kawan-kawan sudah datang ke Manggala sejak jam setengah 4.
Okelah kalau dibilang rajin. Jujur saja, lebih karena awan mendung di atas Jakarta yang terlihat dari arah selatan. Prinsipnya, kami harus mendahului hujan. Kalaupun kehujanan, dengan datang lebih awal, kami bisa menyiasati kemacetan.
Juga, kami tahu persis kerepotan Omm Janu kalau air turun dari langit. Tempat menaruh makanan, perangkat piring dan gelas harus bergeser. Kalau sudah begini, tenda atau terpal mesti dipasang di bagian belakang gedung.
Meski tugas pokok cuma mengantar hidangan dan beberes alat makan, kami mesti berbuat lebih untuk orang sebaik Omm Janu.
Terpal biru pun kami bentangkan di celah-celah tembok belakang. Bukan cuma air hujan, tempias juga haram terpercik masuk ke kuali sop apalagi terkena kerupuk udang.
Setelah itu kami tetap solo-bandung alias standby.
Untunglah, Bu Munji memberi isyarat pada Antok. Tak perlu menunggu nanti malam, sore itu kami berlima belas makan nasi putih plus telur bumbu komplit dengan tempe dan sambal kering. Jangan bayangkan banyaknya melimpah.
Masing-masing 10 suapan nasi sudah lumayan buat mengganjal perut. Tak berpiring dan tanpa sendok, nasi digelar di 3 nampan besar. Makan keroyokan di selasar pun sama nikmatnya dengan di aula Manggala.
Jam 7 kurang seperempat kami sudah merapik an diri dan bersiap di pintu. Setelah itu semua berjalan begitu mekanis: hilir mudik mengantar 6 piring dan kembali ke belakang membawa hidangan untuk tamu yang lain.
Meski sore tadi sudah makan, tabiat kami malam itu tak juga berubah. Memang sih tidak terlalu lapar tapi, ah lagi-lagi pembelaan diri, menu kali ini super istimewa. Sayang kalau anak-anak tidak kecipratan enaknya.
Selain menu standar ala nasi sop, juga komplit dengan sate ayam dan kambing. Minumnya bukannya cuma sirup atau coke, tapi juga koktail. Ice creamnya bukan buatan rumahan tapi Tip Top Cipete.
Begitulah. Jam 9 kurang seperempat, menunggu tetamu menghabiskan menu terakhir, anak-anak sukses mengendap ke masjid Manggala. Di teras sebelah tempat wudlu yang remang-remang, aroma sate menguar diiringi cekikikan kami. "Hebring dah...," Desis Antok terkekeh.
Waktu kami cuma 20-an menit. Kalau kelamaan, Omm Janu pasti sudah kebingungan mencari kami untuk menyuruh beres-beres. Jangan sampai ia menyadari kalau anak-anak tidak ada di dapur.
Ceban
Jam sepuluh tugas kami selesai sudah. Upah yang kudapat sama dengan yang lain, seperti biasa, Rp 10.000. Duit segitu lumayan bagiku. Ongkos metromini Rp 100 alias cepek. Makan nasi telur cukup Rp 500 atau kalau mau sepotong daging ayam, cuma Rp 700.
Itulah kalkulator biaya hidupku.
Pulang dari Manggala, tubuh lelah kurebahkan sesampai Ciputat. Esok ada kuliah pagi-pagi di kampus IAIN Ciputat.
Untungnya, kelas Sejarah Dialektika Modern di Driyarkara hari ini jadi kelas diskusi. Artinya, aku tidak harus belajar khusus. Cukup datang, duduk, ikutin alur. Aman meski terkantuk-kantuk.
Aku memang kuliah di dua jurusan di dua kampus yang jaraknya tak terhitung kilometernya. Yang terbilang cuma waktu tempuh antara keduanya, naik Patas 65 Ciputat-Senen butuh waktu 1 sampai satu setengah jam.
Turun di Salemba, depan persis UI, lalu menyeberang ke ujung jalan Percetakan Negara, 15 menit jalan kaki bisalah sampai ke kampus yang bikin Ibuku geleng-geleng.
Pertama, filsafat itu apa. Kedua, bisa kerja apa. Ketiga, masih lebih jelas di IAIN: "Habis lulus, bisa kerja di Departemen Agama. Atau jadi guru di Madrasah Aliyah pamanmu di Cimahi," begitu beliau memetakan masa depanku.
Meski tak pernah bilang tidak merestui, toh ia diam saja aku kuliah filsafat. Uang kuliah dan transport ia penuhi. "Gak ada uang jajan!" Tegasnya sebelum aku bertanya. Nah dari job resepsian itulah aku bisa sedikit merasakan makan enak.
Imbas kampus istimewa
Keraguan Ibu ternyata membawa sinyal apes. Berkali-kali, kalau tidak salah ingat, aku kedapatan sial gara-gara menyandang status mahasiswa Driyarkara.
Satu, anak-anak sekitar rumah mencap aku sombong. Ini sejatinya konsekuensi kuliah double. Tapi memang aku jadi jarang nongkrong sejak wira-wiri Ciputat-Salemba.
Dua, teman kuliah salut padaku. Cuma, karena referensi yang berbeda maka obrolan dan diskusi di Ciputat sering mandeg. Aku sih easy going, tapi mereka lebih memilih terdiam dan pasif, tidak serulah kalau dialog bergeser jadi monolog.
Tiga, ini yang konyol. Pernah aku dikerjain kernet 65 sepulang dari Driyarkara. Saling kenal wajah, ia pun mahfum juga kalau aku kuliah di kampus filsafat. Mungkin ia bisa mengenali mana tampang UI, mana wajah Driyarkara. Hanya dia yang tahu rumusnya.
Kuliah malam hari Kamis yang kelar jam 8 membuatku terkantuk sejak Megaria. Begitu bis besar itu berbelok masuk ke Sudirman, bablaslah tertidur pulas.
Bangsat memang. Ketika sampai kampus IAIN bahkan pasar Ciputat tak juga ia membangunkanku. Kubayangkan ia pasti kongkalingkong dengan sopir bergigi ompong itu.
Aku akhirnya bangun ketika nyamuk berdenging dan menggigiti kakiku. Plak, plak, plak. Tanganku sibuk menabok dengan mata tak penuh membuka. Tak ada jejak darah di tanganku. Sableng.
Wakksss... Aku terpekik ketika merasakan tak ada getaran mesin bis yang gemetar. Pertama kali, kusangka bis mogok. Sedetik dua detik panik membayangkan masih berapa jauh dari Ciputat.
Lho, kok remang-remang dan hanya aku sendirian di dalam bis. Kutengok kaca jendela, mataku terpicing oleh lampu merkuri di kejauhan yang membentuk siluet deretan badan bis yang membeku.
Anjriiitttt... Aku di pool. Kernet-sopir gemblung itu mengerjaiku. Benar saja. Terhuyung-huyung turun dari bis karena gelap, mereka menyambutku dengan sahutan dari lapak pinggir pool.
"Hoi, profesor! Keterusan nglamun sampe pool yee...?" Ledek salah satu dari mereka sambil membanting kartu domino. "Sini aje Jang! Gabuuung!" sambung yang lain dengan tangan melambaikan botol pipih.
Huhhh!***
No comments:
Post a Comment