Friday, February 19, 2010

New York-New York

Di selasar bandara Juanda, Surabaya, kita bersua lagi. Aku, perempuan dari masa lalumu, bersirobok denganmu yang dulu kujatuh cintai. Dengan terbahak.

Ya dengan terbahak aku mencintaimu. Konyol, orang bilang. Luweh, kataku! Biarin.

Ya, kutulis di topi kertas Ospekmu.
Tentu, dengan spidol hitam Snowman.
Pasti, kau masih ingat itu.
Mungkin, kita lupa tanggalnya.
Yang jelas, hari terakhir inagurasi di GSP UGM

"Ina love Oji, miracle in 3 days!"

Dan, kau terbelalak membacanya. Kita pun sama-sama terbahak sesudahnya.

Lima belas tahun kemudian, minggu pertama Februari kemarin, kita kembali terbahak.


Dulu dan kini

Kubilang kau masih seperti dulu. Kau jawab, aku sudah berubah.

Okelah, kita berbalas komen. Lisan tak perlu membuka FB untuk berceloteh di wall.

Kau tampak muda. Tepatnya segar dan tetap saja sumringah. Sepertinya kau dilahirkan untuk tersenyum setiap bertutur.

Kau bilang dirimu seorang wartawan. Oh, kataku, bisa jadi karena itulah kau selalu luwes. Terbiasa bertemu orang. Tuh kan, kau menjawabnya dengan senyuman meringis garing.

Ah, kau tak tahu, senyuman dan perlakuanmu itu yang membuatku kedanan. Tergila-gila. You drive me crazy, rutuk batinku dulu dan kini.

Gantian kamu. Menurutmu, seorang Ina semasa masih mahasiswi Hubungan Internasional jauh berbeda dengan Ina yang kini diplomat.

Apanya, tanyaku, sambil mencodongkan mukamu ke arahmu. Daguku kini tepat di atas tengah meja Dunkin Donuts yang sejatinya sudah tak begitu lebar.

Tak kau perhatikan kan, kedua tanganku bersedakep terlipat di bibir meja. Bolehlah kubilang, itu untuk mengimbangi degupku.

Katamu, aku kini begitu berwibawa, matang dan berparas teduh. Mungkin bawaan kerjaan.

Aku sedikit membelokkan pandangan ke langit-langit. Sedikit tersanjung. Dasar perempuan.

Lalu, menurutmu, ada satu hal padaku yang tak juga berubah. Kau katakan itu dengan menggeleng-gelengkan kepalamu. Ada raut kecewa disitu. Bola mataku membinar, seolah bertanya: apanya?

Selaluuuu cantikkkkk!

Ha-ha-ha... Aku terbahak. Kukira kau akan berkata tentangku yang sudah tidak asyik lagi.

Aku tertawa untuk dua hal. Pertama, ya tadi itu, karena lega.

Kedua, lima belas tahun yang lalu, kau pernah merayuku dengan kata-kata dan bahasa tubuh yang persis. Kau menjebakku untuk kedua kalinya. Dan aku menikmatinya. Uhh...

Limabelas menit lagi aku harus boarding. Dan kau sudah dua tiga kali melirik jam tangan.


Present of us

Tak ada obrolan tentang masa lalu selama sisa waktu itu. Kita sama-sama bertukar kabar gembira tentang orang-orang yang kita cintai.

Anakku sudah masuk TK, kindergarten gitu deh. Suamiku mengajar. Gelar master dari Princeton membantunya menjadi dosen di Philadelphia. Sementara aku jadi orang kantoran di Kedutaan RI di New York.

Dan kau, istrimu telah memberimu dua buah hati. Ketemu dimana, tanyaku tak kuasa menahan penasaran. Brastagi, Sumatera Utara.

Garuda yang hendak membawaku ke Jakarta telah merapat. Belalai garbarata pun melekat di pintunya.

Kau kembali melirik arloji dan pamit sebentar menjawab telepon. Kita pun akhirnya saling berpamitan di tengah suara gemuruh mbak-mbak mengumumkan agar penumpang tujuan Jakarta segera masuk ke perut pesawat.

Menghitung mundur, siang ini aku sudah harus sampai di Cengkareng dan langsung ke Deplu di Gambir.

Esok harinya, aku melintas di atas Lautan Pasifik menuju negeri Paman Sam. Di sana, kata suamiku, anakku Raya tengah sibuk melukis dengan pastel pemandangan taman-taman di New York.

Di atas barisan pohon oak, di antara mega-mega, ia menulis: I love u, Mom.***

19022010

No comments:

Post a Comment