deviantart |
Setiap kalender bergulung ke bulan April, selain soal peringatan hari lahir Ibu Kartini pada tanggal 21, kita bertemu pula dengan momentum April Mop. Tak jelas asal-usulnya seperti budaya urban lainnya yang memiliki beragam versi.
Intinya, menjelang April dan selama bulan itu berlangsung, kita bakal dikejutkan dengan aneka kabar. Mengejutkan, menarik perhatian khalayak dan lebih bersifat berseloroh untuk bercanda meski dibungkus keseriusan agar publik percaya.
Nah, April Mop di Indonesia ternyata tidak melulu di ranah dunia hiburan. Kejutan yang menggelitik tanda tanya ternyata datang juga dari sektor migas.
Satu hari sebelum April kemarin, Menteri Energi Darwin Zahedy Saleh mengungkapkan ide soal ’Bensin Miskin’ dalam acara Sosialisasi Pengendalian BBM Bersubsidi.
Intinya, istilah BBM Premium lebih baik diganti menjadi 'Bensin Miskin'. Sepertinya, Pak Menteri yang juga politisi Partai Demokrat itu ingin menyentil gengsi publik: jika sampeyan ingin disebut kaya dan ogah disebut miskin, belilah Pertamax yang harganya mengikuti dollar.
Tentu, kita sadari masyarakat Indonesia memang cenderung memperhatikan status sosial atau citra diri alias gengsi tadi. Sayangnya, Pak Menteri lupa bahwa masyarakat juga sensitif jika terkait biaya. Kita enggan mengeluarkan uang lebih untuk sesuatu yang kurang lebih sama.
Toh, apalah bedanya Pertamax dengan Premium jika sama-sama mampu meletupkan pembakaran mesin motor dan mobil.
Apalagi, program pengaturan alias pembatasan BBM bersubsidi yang bersifat mewajibkan kendaraan pribadi mengonsumsi Pertamax telah tenggelam. Gantinya adalah program Pengendalian BBM Bersubsidi tersebut yang hanya bersifat himbauan.
Di beberapa tempat strategis, terutama di SPBU kita temui spanduk berisi himbauan itu.
Namun, alih-alih menggunakan bahasa yang persuasif, Pak Menteri malah memilih istilah yang terkesan mengintimidasi, memojokkan dan merendahkan konsumen BBM. Bisa dibilang juga menjurus sarkastik.
Kita tahu, konsumen BBM Premium dipastikan memiliki kendaraan bermotor entah sepeda motor, mobil pribadi atau kendaraan niaga yang notabene sudah tidak bisa disebut miskin.
Jika memang ’miskin’, tentu hanya sanggup menggunakan kendaraan umum sebagai satu-satunya pilihan dan bukan karena alasan kesadaran.
Melihat sedikit ke belakang, rencana pembatasan BBM bersubsidi digulirkan karena beban subsidi bahan bakar terus membengkak. Selain karena harga minyak dunia terus meroket, juga konsumsi dalam negeri yang sulit direm.
Banyak kalangan mendesak pemerintah segera menaikkan harga Premium Rp 500- Rp 1000 per liter.
Sayang, Presiden SBY masih terus menimbang risiko politis kenaikan harga BBM.
Di tengah desakan menaikkan harga dan kebimbangan Presiden, lahirlah himbauan spekulatif. Siapa tahu ada yang sukarela mengeluarkan ongkos lebih banyak demi status bukan orang miskin dan ucapan terimakasih melalui spanduk.
Jikapun himbauan bak pepesan kosong, paling tidak meramaikan April Mop. Kena deh!*
Assalamualaikum bapake kaka selaat pagiii!!!
ReplyDeleteIya tuh, baru kemarin aku perhatikan ada sepanduk macam itu. Aku juga berpikir sama, kalau memang mau di sebut bensin miskin ya otomatis harusnya hanya untuk kendaraan umum bukan pribadi.
Kalau memang mau di tertibkan pemakaian bensin miskin, ya aturannya sekarang harus selektif.. misalnya premium hanya boleh untuk kendaraan umum, yg agak simpang siur ya ojek, nah ojek ini jg harus di bedakan dari kendaraan bermotor lainnya, bisa jadi plat nomor kendaraan ojek juga berwarna kuning.. hayooo.. pada mau ga ya.. hahaha (waduh.. lagakku dah kayak menteri saja-red)
klo aku sih jujur aja,, beli pertamax klo lg males antri saja.. wkwkwkwk... abis di pertamax ga pake antri.. hahaha
++ Ami: memang kebijakan yang tanggung, dibatalkan terlanjur sosialisasi. Dilanjutkan, pemerintah ragu-ragu dan ditolak publik :(
ReplyDeleteTetangga Betawi bilang: berabe dah :D