Slamet

Bisa juga ditulis 'selamet'. Artinya sama persis dengan 'selamat'. Sering disematkan sebagai nama orang sekaligus menjadi doa.

Suami pengasuh anak saya, mbak Ifa, juga bernama Slamet. Usianya di bawah saya, kira-kira 27 - 28 tahun. Dia murah senyum yang menyiratkan ketulusan. Mbak Ifa mulai mengasuh Kaka sejak istri saya mulai kembali bekerja usai cuti-melahirkan Maret silam.

Sejak Kaka dimomong Mbak Ifa, sudah berulang-ulang mas Slamet mengulurkan buah tangan ke rumah kami. Buah tangan yang benar-benar berupa buah :)



Pertama melon, lalu potongan buah lengkap sambel rujak. Pernah juga mangga, semangka, dan jeruk bali.

Dua hari yang lalu pun ketika saya sedang meluruskan punggung di depan tivi, mas Slamet mengetuk pintu dengan pepaya utuh di tangannya. Kaka sedang tidur ditemani Bundanya di kamar. "Terimakasih ya..., matur nuwun," kata saya. Entah ucapan 'terimakasih' yang keberapa kemarin itu.

Dia sendiri memang menghidupi keluarganya dari berdagang buah. Bukan buah utuh seperti di pasar Palmerah atau Kramatjati tetapi berjualan potongan buah yang didinginkan dengan balok es di gerobaknya.

Meniti karir dari berkeliling, sekarang Mas Slamet sudah punya tempat tongkrongan, pabrik konveksi di Batusari, Jakarta Barat.

'Jam sibuk'-nya dimulai jam 12 siang. Yaitu, ketika pintu gerbang pabrik menghamburkan penjahit, pengobras, pemotong kain, hingga staf admin yang keroncongan. Buah dingin Mas Slamet menjadi teman yang sehat bagi gado-gado, lontong sayur, ketoprak, nasi rames dan rendang padang.

Tanpa bermaksud mensyukuri global warming, rejeki pedagang buah sepertinya menderas ketika Jakarta dipanggang oleh terik matahari. Bayangkan, segarnya semangka atau nanas yang nyaris beku seperti melambai-lambai di kotak kaca gerobak.

Sebaliknya, jika hujan turun deras dan menyelimuti ibukota dengan cuaca dingin, saya dan istri mendoakan agar rejeki dari-Nya tetap mengalir untuk mas Slamet.

Semoga pula, Allah SWT juga memberi mereka momongan yang telah dinantikan sedari dulu. Amien :)