Sunday, December 1, 2013

Ambon Manise!

















MENUTUP bulan November, saya main ke Ambon. Trip kali ini terbilang istimewa lantara pertama kali ke ibukota Provinsi Maluku. Juga perjalanan saya paling timur dari sebelum-sebelumnya. Tinggal Papua dan Papua Barat yang belum saya sambangi.

Di sana, waktu kunjungan selama tiga hari dua malam. Tepatnya, berangkat dari Jakarta di Kamis subuh 28 November 2013, jam 05.15 WIB dan baru mendarat di Bandara Pattimura pada 16.30 WIT. Ingat, ada selisih dua jam antara Jakarta dan Ambon. Riilnya, setelah delay hingga 3 jam (take off jam 08.16 WIB) dan transit 30 menit di Makassar, perjalanan udara menggunakan Sriwijaya Air terhitung sekitar enam jam.

Lepas dari agenda inti pekerjaan yang berlangsung sepanjang Jumat dan berlanjut pada Sabtu pagi hingga siang, saya menyempatkan waktu luang dengan keluyuran ke sebagian kecil sudut-sudut Ambon di hari pertama. 

Makan malam di RM Raja Gurih yang kaya dengan menu sea food lalu jalan-jalan ke arah simpang empat Masjid Al Fatah. Nyangking oleh-oleh berupa kue kenari lalu kembali jalan kaki ke Hotel Amaris, tempat menginap.


Hari kedua, sepanjang hari agendanya soal kerjaan. TKPnya di Islamic Center, tak jauh dari Pelabuhan Ambon dan berada di tepi pesisir Teluk Ambon. 

Numpang kapal feri demi lari pagi di Ambon
Lari dan Hunting Foto
Hari terakhir alias ketiga, sejatinya agenda liputan masih berlanjut dari jam 09.00 hingga 13.00, tapi saya sempatkan untuk lari pagi. Bersama mas @AgungPuma, awalnya kami naik becak ke Pelabuhan Ambon, berjarak sekitar 7 menit dengan ongkos Rp10ribu. Rencananya, saya lari sedangkan mas Agung hunting foto.

Olala, ternyata di sana nggak ada spot untuk lari maupun hunting. Setelah bertanya ke petugas loket pelabuhan, saya disarankan ke penyeberangan feri di Galala. Kali ini naik ojek selama 15 menit, lumayan jauh memang. Ongkosnya Rp 20 ribu per orang dan turun di depan pelabuhan.

Selain pelabuhan feri, di kawasan itu sedang dibangun Jembatan Merah Putih yang menghubungkan kedua sisi teluk Ambon yang memang berbentuk U, tepatnya Desa Galala, Kecamatan Sirimau, dengan Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon.

Rencanya panjang jembatan mencapai 1,06 km. Saat kami sampai sana, konstruksi kedua ujung sudah berdiri tetapi bagian tengahnya belum ada alias ya belum tersambung.

Jika rampung, maka perjalanan dari kota Ambon ke bandara Pattimura yang sebelumnya melingkar menyusuri garis pantai teluk Ambon selama 1 jam lebih, bakal terpangkas hanya maksimal 20 menit.

Ujung jembatan di sisi seberang dekat dengan Kampus Pattimura. Di situ pulalah mulut pelabuhan penyeberangan kapat feri. Kami lantas menumpang feri yang ongkosnya sangat murah, per kepala Rp 2000 perah, lebih murah daripada ongkos mikrolet dan metromini di Jakarta yang Rp 3000.

Tentu saja, tarifnya lebih tinggi jika membawa motor atau mobil.

Setelah 15 menit perjalanan feri, kami sampai di seberang. Awalnya kami tidak tahu kalau feri bakal bersandar di pelabuhan yang dekat dengan kampus Unpatti. Kami tahu hal itu setelah jalan kaki mengikuti naluri kami masing-masing: saya nyari jalur lari dan mas Agung dengan naluri mencari spot hunting foto.

Lima menit jalan kaki, kami membaca papan nama salah satu fakultas Unpatti, kalau tidak salah fakultas Pertanian. Baru deh kami ngeh.

Segera saya melakukan peregangan dan pemanasan. Lantas lari pagi melewati depan rektorat hingga simpang tiga monumen Dr Johannes Leimena. Setelah berbelok 500 meter ke kanan, masuk ke jalan raya yang nanti mengarah bandara Pattimura, saya berbalik kembali ke titik awal.

Disana mas Agung sudah selesai hunting foto. Belakangan, setelah saya ditunjukkan foto-foto jepretannya termasuk yang nampang di TL akun twiiter-nya, @AgungpumA, dia keluyuran di bibir pantai dan mengabadikan lanskap perairan teluk Ambon yang membiru, sebiru langit pagi.

Usai terbirit-birit 31 menit, kami pun kembali ke pelabuhan feri dan lanjut balik hotel. Tuntas sudah impian saya berkeringat di bumi Ambon Manise, salah satu mutiara Indonesia. Lain waktu, saya ingin menyambangi Tugu Pahlawan Nasional Christina Martha Tiahahu, di Karang Panjang. 

Di sana, menurut bang Poli, kenalan kami disana, lokasinya yang berada di ketinggian membuat kita menikmati pemandangan alam kota dan teluk Ambon. Apalagi jaraknya hanya sekitar 2 km dari pusat kota. 

Sampai jumpa lagi Ambon, city of music :)





















4 comments:

  1. Replies
    1. Trims Joe, lumayan lah spy nggak sumpek di kolong langit Jakarta :)

      Delete
  2. pemandangannya keren bgt gan......

    ReplyDelete
  3. yaps... itu trip paling ke timur selama ini. tinggal Papua dan Papua Barat yang belum. Langitnya biru banget, minim polusi sih ;))

    ReplyDelete