Salah satu kegembiraan, juga menjadi keriuhan ketika mudik adalah momen kumpul bocah.
Pun di kala pulang kampung Lebaran 1435H/ 2014 ini, rumah mbah Sami di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, jadi ajang hiruk-pikuk sepupu-sepupunya Kaka.
Untuk foto paling atas, dari kiri ke kanan, yang duduk di tepi spring-bed adalah Lira (usia SMP kelas 1), Kaka (3th 8bl), Oliv (10th), dan Athia (9th). Duduk di lantai ialah Fahran (4th, adik Athia) dan Aira (5th, adik Oliv).
Kesempatan berkumpul dan bersua keluarga besar ini sejatinya juga momen emas mendokumentasikan kebersamaan.
Saya pribadi, perlu berterimakasih pada kemajuan teknologi alat komunikasi seperti HP berkamera dan terintegrasi dengan internet serta mengantarkan pada beragam media sosial.
Mangkanye ye, saya maksimalkan betul-betul gadget sederhana yang ada di tangan saya ini: BB Curve 9220 yang bolehlah dibilang kuno dibanding Blackberry seri Q3, Z3, Q10 atau apalah namanya.
Spek kamera gadget saya ini juga jauh tertinggal dibanding kamera yang tertanam di Samsung Duos, Galaxy, atau Oppo, Lenovo, Nokia, Sony hingga iPhone.
Dengan kamera standar 2 MP tanpa fasilitas lampu flash, momen keluarga yang tidak akan terulang saya abadikan. Lantas share ke FB, twitter dan saya sematkan dalam rangkaian cerita seperti postingan ini.
Nah, justru disinilah, di pendokumentasian seperti inilah, tampak perbedaan bagaimana teknologi dimanfaatkan. Jadi bukan soal bagaimana canggihnya gadget sampeyan atau seberapa mahal harganya.
Mosok ya gadget harga Rp 4-7 juta berkamera resolusi tinggi, hanya untuk chatting dan ngerumpi serta selfie. ^^
Mulailah berbagi, bukan maksud saya menyarankan berbagi pulsa hehehe tapi maksimalkan gadget kita untuk mengabadikan kehangatan dan kebahagiaan sekitar.
Hanya dengan foto? Saya jawab iya.
Foto di atas, sebagai contoh, memoribilia-nya memang tidak akan terasa untuk rentang sebulan hingga setahun ke depan.
Tapi percayalah, orang-orang yang memiliki ikatan dengan foto iti akan terhenyak ketika menerawang foto itu dalam-dalam setelah dua-tiga, empat, tujuh, sepuluh, empatbelas, dua puluh, tigapuluh tahun kedepan. :)
Misalnya, Athia yang kini berumur 9 tahun (kebetulan banget kemarin dia ultah), lima tahun lagi atau ketika dia SMP, atau SMA akan tersenyum melihat kembali foto itu.
Saya yakin, foto juga bakal menyambung kembali jejak langkah kekerabatan. "Ohhh ini si Aira, gimana ya kabarnya sekarang..." Lalu tangannya menjentikkan ke gadget (seberapa canggih ya gadget belasan tahun lagi :) ) untuk menelpon Aira. Atau lantas chatt dengan Kaka, Lira, atau Oliv.
+++
Untuk saya sendiri, memotret moment kebersamaan kadang tak cukup. Bahkan merasa kurang meski telah mengunggah dan menge-tag beberapa orang di Facebook.
Mengapa? Karena saya merasa FB, twitter atau sosial media lainnya belum mampu memberikan konteks atau narasi yang dalam.
Saya perlu menyematkan frame demi frame tadi dalam tuturan cerita.
Seperti novel? Tentu tidak sebegitunya. Cukup 5W + 1H saja dan dibumbui detail pada unsur H-nya. Serta diperkaya unsur personalnya.
Sehingga sebuah foto memiliki konteks lantaran tergambar who, what, when, where, why dan how :) *bekal jurnalistik memang dapat dimanfaatkan secara universal ya :)
Kelak, Kaka atau siapa saja yang ada di frame itu dapat menyelami cerita yang menyertai moment dalam sebuah jepretan.
Cerita dalam hal ini, laksana keterangan foto pada koran atau media massa lainnya. Foto menjadi lebih bernyawa dan berwarna. *ciieeee.... ^^
Narasi satu dengan narasi berikutnya juga bakal sambung menyambung. Seperti yang saya rasakan saat ini, karena pada 2010 silam saya menulis postingan soal "Atia dari Linggau" di blog ini juga.
Saat itu, Atia berumur lima tahun dan adiknya si Fahran masih dalam kandungan. Dalam postingan itu, ada foto saya menggendong Atia yang ngelendot manja di pundak :)
Sekarang ini nih, pas ketemu lagi di mudik lebaran 2014, Atia sudah malu-malu ketemu om-nya ini heheheheeee
+++
Penutup kata dari cerita saya ini, yang ngalor ngidul nggak jelas ujung pangkalnya ini adalah: biasakan menjepret apa yang terjadi didepan Anda.
Sepertinya hiperbolik ya. Tapi itulah terapinya karena bawaan kita cenderung males/malu sedikit-sedikit memotret.
Justru lewat proses ini, sense kita akan terasah. Kita akan terkondisi dalam posisi stand-by. Dan bakal bijak kapan waktunya memotret dan kapan tidak.
Juga akan terasah bagaimana menyesalnya kita ketika tidak mengabadikan suatu kesempatan hanya karena 'males membawa kamera/gadget' atau 'males mengeluarkan gadget dari saku'.
Saya sih pernah mengalaminya, lalu menyesal, tapi lantas belajar untuk tidak mengulanginya. Dan mulai jeprat-jepret jeprat-jepret, unduh ke hard-disk, diarsipkan, unggah ke media sosial, dan sisipkan ke artikel blog.
Itu akan terus saya lakukan dan sebaiknya juga Anda lakukan. Dan saya yakin Anda setuju dengan saya.
Kenapa? Karena saya yakin Anda sepintar, bahkan lebih cerdas nan bijak dari smartphone yang Anda genggam saat ini. *inimemangprovokasikawan! Hehehe
Selamat malam Nusantara, salam jepret dan keep blogging dari Bumi Sriwijaya :)
@inung_gnb
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments:
Post a Comment